Polling CNBC Indonesia

Sedih, Pertumbuhan Ekonomi RI Diramal Melambat ke 5,02%

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
04 November 2019 10:54
Sedih, Pertumbuhan Ekonomi RI Diramal Melambat ke 5,02%
Ilustrasi Aktivitas di Pelabuhan (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Ekonomi Indonesia diperkirakan tumbuh melambat pada kuartal III-2019. Ekspor sepertinya masih menjadi faktor pemberat pertumbuhan ekonomi, bukannya memberi kontribusi.

Badan Pusat Statistik (BPS) dijadwalkan merilis data pertumbuhan ekonomi kuartal III-2019 esok hari. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan ekonomi sepanjang Juli-September tumbuh 5,02% secara tahunan, melambat dibandingkan kuartal sebelumnya yaitu 5,05%.

Institusi

Pertumbuhan Ekonomi QoQ (%)

Pertumbuhan Ekonomi YoY (%)

Pertumbuhan Ekonomi 2019 (%YoY)

Maybank Indonesia

3.06

5.02

5.03

Bank Permata

3.05

5.01

-

Danareksa Research Institute

3.08

5.04

5.05

ING

-

5.15

-

Bank Danamon

3.06

5.02

5.05

Moody's Analytics

-

5.1

-

Citi

3

4.96

-

Bank Mandiri

-

5

5.06

Trimegah Sekuritas

3

4.96

-

BNI Sekuritas

3.06

5.02

-

DBS

-

4.94

-

MEDIAN

3.06

5.02

5.05


"Pertumbuhan ekonomi secara umum akan melambat menyusul penurunan ekspor, utamanya karena melambatnya pertumbuhan ekonomi dunia akibat perang dagang. Sementara investasi juga akan melambat (terutama Penanaman Modal Asing/PMA) karena melambatnya pertumbuhan ekonomi dunia. Jadi motor pertumbuhan ekonomi Indonesia pada akan ditopang oleh konsumsi rumah tangga dan konsumsi pemerintah," papar Damhuri Nasution, Ekonom BNI Sekuritas.

Damhuri menilai konsumsi rumah tangga masih akan tumbuh cukup baik, meski momentum Ramadan-Idul Fitri sudah lewat. Kuatnya konsumsi dicerminkan oleh inflasi yang terkendali dan Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) yang kuat.

Sepanjang kuartal III-2019, rata-rata inflasi nasional adalah 3,4% year-on-year (YoY). Masih berada di titik tengah-bawah target Bank Indonesia (BI) yaitu 2,5-4,5%.

Sementara IKK, meski terus melambat, tetapi masih di atas 100. Artinya, konsumen masih pede menghadapi kondisi perekonomian saat ini dan masa mendatang.

 

Seperti kata Damhuri, risiko utama yang membayangi perekonomian dunia saat ini adalah perang dagang, utamanya yang melibatkan Amerika Serikat (AS) dan China. Perang dagang dua kekuatan ekonomi terbesar di planet bumi ini sudah terjadi lebih dari setahun terakhir.

Kala AS dan China saling hambat perdagangan, maka dunia usaha di kedua negara tentu terkena dampaknya. AS adalah mitra dagang yang penting bagi China, demikian pula sebaliknya.

Sepanjang Januari-Agustus, nilai ekspor AS tercatat US$ 1,09 triliun. Dari jumlah tersebut, China menempati urutan ketiga negara tujuan ekspor utama AS dengan nilai US$ 70,2 miliar (6,4%).


Sementara di sisi China, nilai ekspor Negeri Tirai Bambu pada September adalah US$ 218,12 miliar. AS adalah negara tujuan ekspor nomor satu dengan nilai US$ 37,3 miliar.


Saat AS kesulitan mengekspor ke China dan sebaliknya, maka industriawan di kedua negara merespons dengan mengurangi produksi. Pada September, output manufaktur AS turun 0,5% dibandingkan bulan sebelumnya. Sedangkan output manufaktur di China masih tumbuh 4,2% YoY, tetapi merupakan laju terlemah setidaknya sejak 2006.

Kala pengusaha di AS dan China mengurangi produksi, permintaan bahan baku dan barang modal dari negara-negara lain ikut turun. Padahal AS dan China adalah negara tujuan ekspor utama bagi banyak negara, termasuk Indonesia. Inilah sebabnya ekspor Indonesia mengalami kontraksi selama 11 bulan beruntun.

 
Saat ekspor tidak bisa diharapkan sebagai mesin pendorong pertumbuhan ekonomi, maka tidak heran terjadi perlambatan. Tidak hanya di Indonesia, perlambatan pertumbuhan ekonomi (bahkan sampai kontraksi) adalah fenomena global. Semua gara-gara perang dagang AS-China.


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular