
Curhat Menperin: Sempat Usul Batik Wajib di DPR, Tapi Ditolak
Efrem Siregar, CNBC Indonesia
28 October 2019 14:43

Jakarta, CNBC Indonesia - Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang menilai kesadaran masyarakat Indonesia terhadap batik ternyata masih kurang, termasuk para pejabat negara.
Keadaan itu menjadi perhatian Agus Gumiwang. Semasa menjadi anggota DPR RI Fraksi Golkar, ia menyampaikan surat kepada pimpinan DPR RI pada Maret 2012. Surat itu dikirimkan kepada Ketua DPR RI.
Dalam surat tersebut, terungkap bahwa Agus Gumiwang mengusulkan agar anggota DPR RI wajib mengenakan batik sebagai seragam resmi dalam acara resmi.
Berikut petikan surat Agus Gumiwang yang disampaikannya kepada Marzuki Ali yang dibacakannya kembali dalam Peringatan HUT ke-25 Yayasan Batik Indonesia di ruang Garuda Kementerian Perindustrian, Jakarta, Senin (28/10/2019).
"Dengan hormat, Ketua DPR RI. Sebagaimana diketahui bersama dalam setiap rapat resmi atau acara kenegaraan yang diselenggarakan oleh DPR RI, setiap anggota DPR RI berkewajiban untuk menggunakan pakaian yang sopan, rapi dan resmi seperti yang diatur dalam Tata Tertib DPR RI pasal 253. Namun dalam praktiknya, penggunaan pakaian resmi yang digunakan DPR RI dalam setiap rapat selalu diidentikkan dengan jas dan dasi atau pakaian sipil lengkap sebagai busana nasional. Saya berpandangan bahwa penggunaan pakaian jas dan dasi harus dikaji ulang.
Hal ini didasari beberapa alasan antara lain penggunaan pakaian jas dan dasi sesungguhnya tidak memiliki akar budaya Indonesia. Pakaian Jas dan dasi seperti diketahui bersama merupakan busana yang berasal dari budaya barat.
Yang kedua, apabila budaya nasional tidak berakar pada budaya kita sendiri hal ini berarti kita tidak menghargai dan tidak memiliki kebanggaan terhadap budaya bangsa Indonesia yang sesungguhnya sangat kaya.
Yang ketiga, seperti kita ketahui bersama, setiap negara memiliki busana khas sesuai budaya bangsa masing-masing. Contohnya negara Malaysia memiliki busana nasional dan selalu digunakan dalam acara resmi negara baik nasional maupun internasional. Begitu juga dengan negara-negara lain yang memakai busana nasional yang berasal dari akar budaya mereka sendiri.
Penggunaan pakaian jas dan dasi tidak sesuai dengan iklim tropis Indonesia, jika dipergunakan, maka dibutuhkan alat pendingin atau air conditioner (AC) sehingga bertolak belakang dengan upaya kita bersama dalam menerapkan gerakan hemat energi listrik.
Oleh karena itu, atas pertimbangan di atas, perkenankan saya mengusulkan agar kebijakan penggunaan jas dan dasi sebagai busana resmi nasional diubah dengan batik sebagai busana resmi nasional yang wajib dipergunakan dalam setiap rapat resmi atau acara kenegaraan yang diselenggarakan DPR RI."
Surat itu telah diterima pimpinan DPR RI. Namun, respons yang diberikan tidak sesuai harapan.
"Jawabannya sederhana, tidak sesuai aturan," kata Agus.
Meski begitu, Agus mengajak para pengurus Yayasan Batik Indonesia tidak menyerah untuk mengenalkan batik. Kementerian Perindustrian akan mendukung upaya pengenalan batik agar masyarakat bangga mengenakan batik.
"Saya mencoba tahun 2012, saya sudah coba, tapi tentu kita tidak boleh menyerah. Karena itu PR kita untuk menjadikan manusia Indonesia bangga memakai batik," ucap mantan Menteri Sosial ini.
(hoi/hoi) Next Article Benarkah 'Batik' China Masih Merajalela?
Keadaan itu menjadi perhatian Agus Gumiwang. Semasa menjadi anggota DPR RI Fraksi Golkar, ia menyampaikan surat kepada pimpinan DPR RI pada Maret 2012. Surat itu dikirimkan kepada Ketua DPR RI.
Dalam surat tersebut, terungkap bahwa Agus Gumiwang mengusulkan agar anggota DPR RI wajib mengenakan batik sebagai seragam resmi dalam acara resmi.
"Dengan hormat, Ketua DPR RI. Sebagaimana diketahui bersama dalam setiap rapat resmi atau acara kenegaraan yang diselenggarakan oleh DPR RI, setiap anggota DPR RI berkewajiban untuk menggunakan pakaian yang sopan, rapi dan resmi seperti yang diatur dalam Tata Tertib DPR RI pasal 253. Namun dalam praktiknya, penggunaan pakaian resmi yang digunakan DPR RI dalam setiap rapat selalu diidentikkan dengan jas dan dasi atau pakaian sipil lengkap sebagai busana nasional. Saya berpandangan bahwa penggunaan pakaian jas dan dasi harus dikaji ulang.
Hal ini didasari beberapa alasan antara lain penggunaan pakaian jas dan dasi sesungguhnya tidak memiliki akar budaya Indonesia. Pakaian Jas dan dasi seperti diketahui bersama merupakan busana yang berasal dari budaya barat.
Yang kedua, apabila budaya nasional tidak berakar pada budaya kita sendiri hal ini berarti kita tidak menghargai dan tidak memiliki kebanggaan terhadap budaya bangsa Indonesia yang sesungguhnya sangat kaya.
Yang ketiga, seperti kita ketahui bersama, setiap negara memiliki busana khas sesuai budaya bangsa masing-masing. Contohnya negara Malaysia memiliki busana nasional dan selalu digunakan dalam acara resmi negara baik nasional maupun internasional. Begitu juga dengan negara-negara lain yang memakai busana nasional yang berasal dari akar budaya mereka sendiri.
Penggunaan pakaian jas dan dasi tidak sesuai dengan iklim tropis Indonesia, jika dipergunakan, maka dibutuhkan alat pendingin atau air conditioner (AC) sehingga bertolak belakang dengan upaya kita bersama dalam menerapkan gerakan hemat energi listrik.
Oleh karena itu, atas pertimbangan di atas, perkenankan saya mengusulkan agar kebijakan penggunaan jas dan dasi sebagai busana resmi nasional diubah dengan batik sebagai busana resmi nasional yang wajib dipergunakan dalam setiap rapat resmi atau acara kenegaraan yang diselenggarakan DPR RI."
Surat itu telah diterima pimpinan DPR RI. Namun, respons yang diberikan tidak sesuai harapan.
"Jawabannya sederhana, tidak sesuai aturan," kata Agus.
Meski begitu, Agus mengajak para pengurus Yayasan Batik Indonesia tidak menyerah untuk mengenalkan batik. Kementerian Perindustrian akan mendukung upaya pengenalan batik agar masyarakat bangga mengenakan batik.
"Saya mencoba tahun 2012, saya sudah coba, tapi tentu kita tidak boleh menyerah. Karena itu PR kita untuk menjadikan manusia Indonesia bangga memakai batik," ucap mantan Menteri Sosial ini.
(hoi/hoi) Next Article Benarkah 'Batik' China Masih Merajalela?
Most Popular