Top! Sri Mulyani, Sang Menteri Empat Kabinet

Sosok menteri yang satu ini mungkin bisa dibilang memiliki CV yang paling komplit jika dibandingkan dengan koleganya di Kabinet Kerja (kabinet periode satu Jokowi).
Sri Mulyani makan asam garam di 4 kabinet: Kabinet SBY-JK atau Kabinet Indonesia Bersatu, Kabinet SBY-Boediono yakni Indonesia Bersatu II, kemudian Kabinet Jokowi-JK yakni Kabinet Kerja, dan akhirnya berlabuh di Kabinet Jokowi-Ma'ruf.
![]() |
"Pak Presiden minta saya sampaikan ke media untuk tetap menjadi Menteri Keuangan," kata Sri Mulyani di Istana Negara, Selasa (22/10/2019).
Sri Mulyani menambahkan, jika dirinya diminta untuk menggunakan seluruh kebijakan untuk menjaga ketahanan ekonomi. "Bekerja sama dengan menko perekonomian dalam rangka membangun ekonomi lebih baik," kata Sri Mulyani.
Di kawasan Asia Pasifik, bukan dua kali, namun tiga kali secara beruntun (2017-2019) Sri Mulyani menyabet gelar sebagai menteri keuangan terbaik dari FinanceAsia.
Sebelum membahas mengenai Sri Mulyani lebih jauh, patut diketahui bahwa posisi menteri keuangan merupakan salah satu posisi yang paling krusial bagi sebuah perekonomian, tak terkecuali Indonesia.
Maklum saja, menjadi menteri keuangan berarti menjadi arsitek keuangan dari sebuah negara. Optimalisasi dari setiap penerimaan yang dikumpulkan oleh pemerintah berada di tangan seorang menteri keuangan.
Maju-tidaknya sebuah negara, sejahtera-tidak rakyatnya, akan sangat ditentukan oleh kebijakan yang diambil oleh seorang menteri keuangan.
Kembali ke Sri Mulyani yang sempat menjadi Direktur Pelaksana Bank Dunia, tak bisa dipungkiri bahwa dirinya merupakan sosok penghuni Kabinet Kerja yang paling banyak diterpa nyinyiran masyarakat.
Salah satu sorotan yang banyak diberikan masyarakat ke Sri Mulyani adalah terkait dengan utang. Maklum, tambahan utang pemerintah di era Jokowi terbilang pesat jika dibandingkan dengan era pemerintahan sebelumnya.
Pada periode satu Presiden SBY (2005-2009), tercatat tambahan utang pemerintah pusat adalah senilai Rp 291 triliun. Beralih ke periode satu Presiden Jokowi (2015-2019), tambahan utang pemerintah pusat meroket menjadi Rp 2.071 triliun. Data untuk tahun 2019 yang digunakan barulah data hingga Agustus 2019. Dipastikan sampai akhir tahun 2019, tambahan utang di periode satu Jokowi akan semakin besar.
Nyinyiran ke arah Sri Mulyani tak hanya datang dari kalangan masyarakat biasa, namun juga politisi. Bahkan, Prabowo Subianto yang merupakan lawan dari Jokowi dalam kontestasi Pilpres 2014 dan 2019 sempat melabeli Sri Mulyani dengan julukan Menteri Pencetak Utang.
"Kalau menurut saya, jangan disebut lagi-lah ada Menteri Keuangan, mungkin Menteri Pencetak Utang. Bangga untuk utang, yang suruh bayar orang lain," ujar Prabowo pada Januari silam kala dirinya sedang bertarung dalam kontestasi Pilpres 2019.
Namun, justru besarnya tambahan utang tersebut yang membuat Tim Riset CNBC Indonesia mengapresiasi kinerja Sri Mulyani.
HALAMAN SELANJUTNYA >> Utang dan Sri Mulyani (NEXT)
Sebelum membahas lebih dalam mengenai apresiasi Tim Riset CNBC Indonesia terhadap tambahan utang di era Sri Mulyani, ada baiknya kita memahami bagaimana dunia ini beroperasi. Saat ini, bahkan sudah sedari dulu, dunia ini berjalan dengan yang namanya defisit fiskal.
Defisit fiskal merupakan kondisi di mana penerimaan negara lebih kecil ketimbang pengeluarannya, sehingga negara harus meminjam ke pihak lain guna mencukupi kebutuhan belanja, baik itu dalam bentuk pinjaman ataupun penerbitan obligasi.
Sejauh ini, AS merupakan negara dengan nilai perekonomian terbesar di dunia. Mengutip halaman US Debt Clock.org, total utang pemerintah AS saat ini berada di level US$ 22,8 triliun. Jika dikonversi ke rupiah menggunakan kurs di pasar spot saat berita ini ditulis yakni Rp 14.160/dolar AS, nilainya adalah Rp 322.848 triliun.
Di urutan kedua dari negara dengan nilai perekonomian terbesar di dunia, ada China yang kini sedang terlibat perang dagang dengan AS. Melansir halaman US Debt Clock.org, total utang pemerintah China adalah senilai US$ 9,7 triliun atau setara dengan Rp 137.352 triliun.
Di posisi tiga dari negara dengan nilai perekonomian terbesar di dunia, ada Negeri Sakura alias Jepang. Di posisi empat hingga 10 secara beruntun, ada Jerman, Inggris, India, Prancis, Italia, Brasil, dan Kanada.
Apakah ada yang bebas utang? Tidak. Semuanya punya utang.
Kalau dibandingkan dengan posisi utang pemerintah Indonesia per Agustus 2019 yang senilai Rp 4.680 triliun, utang Indonesia menjadi sangat-sangat kecil.
Namun, memang membandingkan posisi utang sebuah negara tak bisa hanya melalui nominalnya semata. Pasalnya, nilai perekonomian setiap negara berbeda-beda, sehingga kapasitasnya dalam melunasi utangnya juga berbeda-beda.
Di dunia ekonomi, biasanya rasio utang terhadap Produk Domestik Pruto (PDB) atau debt to GDP ratio merupakan indikator yang dipakai untuk menentukan sehat-tidaknya tingkat utang sebuah negara. Semakin tinggi rasio utang terhadap PDB, maka tingkat utang sebuah negara bisa dibilang semakin tidak sehat.
Melansir data dari Trading Economics, per tahun 2018 rasio utang terhadap PDB dari AS adalah 106%. Untuk China dan Jepang, rasio utang terhadap PDB-nya adalah masing-masing sebesar 50,5% dan 238%.
Bagaimana dengan Indonesia?
Ternyata, walau secara sepintas total utang pemerintah pusat yang senilai Rp 4.604 triliun terlihat besar, jika dilihat dari kacamata yang benar akan menjadi rendah.
Bahkan jika dibandingkan negara-negara Asia lainnya, rasio utang terhadap PDB Indonesia yang sebesar 29,8% merupakan yang terendah.
Dalam kondisi saat ini, tambahan utang memang diperlukan lantaran perekonomian Indonesia sedang lesu dan membutuhkan stimulus guna membuatnya bergairah seperti dulu.
Pada periode satu pemerintahan SBY, secara rata-rata perekonomian Indonesia tumbuh sebesar 5,94%, sementara dalam empat tahun pertama pemerintahan Jokowi, secara rata-rata perekonomian Indonesia hanya tumbuh sebesar 5,01%.
Ada faktor eksternal di sini.
Semasa periode satu SBY, perekonomian global tumbuh lebih pesat, yakni 3,78% secara rata-rata. Sementara di era Jokowi (2015-2018), perekonomian global tumbuh melambat seiring dengan ketidakpastian yang membayangi perekonomian negara-negara dengan nilai raksasa. Jika dirata-rata, pertumbuhan ekonomi global dalam periode 2015-2018 adalah sebesar 3,55%.
Di AS dan China, kedua negara sudah lebih dari satu setengah tahun terlibat dalam perang dagang yang begitu panas. Di Inggris, kini potensi No-Deal Brexit alias perceraian antara Inggris dengan Uni Eropa tanpa kesepakatan terbuka dengan sangat lebar.
Dengan pertumbuhan ekonomi dunia yang lesu, masuk akal jika penerimaan negara menjadi kurang maksimal. Untuk diketahui, mayoritas penerimaan negara Indonesia datang dari penerimaan perpajakan, disusul oleh Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), lalu kemudian penerimaan hibah.
Di era Jokowi, pertumbuhan ekonomi global yang relatif lesu (yang pada akhirnya membuat perekonomian Indonesia juga lesu) telah mengakibatkan penerimaan perpajakan menjadi relatif lemah, yang pada akhirnya membuat penerimaan negara secara keseluruhan ikut menjadi rendah juga.
Jika dirata-rata, realisasi penerimaan perpajakan di periode satu SBY adalah sebesar 99,6% dari target. Untuk penerimaan negara secara keseluruhan, nilainya adalah 99,5%. Beralih ke era Jokowi, secara rata-rata dalam periode 2015-2018, realisasi penerimaan perpajakan hanya mencapai 88%, sementara realisasi penerimaan negara secara keseluruhan hanya 92,8%.
Implikasinya, ya mau tak mau pemerintah harus berutang kalau tak mau belanjanya dipangkas. Untuk diketahui, realisasi belanja di era Jokowi tak kalah jauh dari realisasi di periode satu SBY.
Secara rata-rata, realisasi belanja negara di periode satu SBY tercatat sebesar 95,9% dari target. Di era Jokowi, angkanya hanya turun tipis menjadi 93,6%. Padahal kalau melihat realisasi penerimaan, Jokowi tertinggal jauh dari SBY.
Kalau Sri Mulyani tak mengambil keputusan yang berani untuk mengambil utang dalam jumlah yang besar, dipastikan perekonomian Indonesia akan lebih tertekan lagi. Bagi Indonesia yang masih masuk ke kategori negara berkembang, pertumbuhan ekonomi memang harus dijaga di level yang relatif tinggi.
Alasannya: kesejahteraan masyarakat. Kala perekonomian tumbuh dengan pesat, penciptaan lapangan pekerjaan akan tumbuh dengan pesat pula sehingga pengangguran menjadi lebih mudah diberantas. Selain itu, upaya pengentasan kemiskinan juga akan lebih mudah dilakukan.
Berbicara mengenai pengangguran, tingkat pengangguran di Indonesia terbilang tinggi jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga. Dari beberapa negara di kawasan Asia yang kami kumpulkan datanya, tingkat pengangguran di Indonesia merupakan yang tertinggi ketiga.
Walaupun secara gencar menambah utang, patut diingat bahwa Sri Mulyani tak melupakan yang namanya prinsip kehati-hatian. Semenjak kembali ke Indonesia untuk menjadi menteri keuangan di pemerintahan Jokowi, defisit fiskal selalu dijaga di level yang rendah. Untuk diketahui, undang-undang membatasi defisit fiskal di level 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Pada tahun 2015 kala posisi menteri keuangan masih dipegang oleh Bambang Brodjonegoro, defisit fiskal Indonesia tercatat berada di level 2,58% dari PDB, menandai defisit terbesar dalam setidaknya tujuh tahun.
Selepas itu, defisit fiskal berangsur-angsur menipis. Pada tahun 2018, defisit fiskal bahkan bisa ditekan hingga ke level 1,76% dari PDB, menandai defisit fiskal terendah dalam delapan tahun.
Seiring dengan pengelolaan APBN yang ekspansif namun tetap prudent di bawah tangan dingin Sri Mulyani, lembaga pemeringkat kenamaan dunia pun beramai-ramai menaikkan peringkat surat utang Indonesia.
Teranyar, menjelang libur panjang Idul Fitri, Standard and Poor's (S&P) ikut memutuskan untuk menaikkan peringkat surat utang jangka panjang Indonesia.
"S&P menaikkan peringkat pemerintah Indonesia ke BBB dengan alasan prospek pertumbuhan yang kuat dan kebijakan fiskal yang prudent," tulis S&P dalam keterangan resminya.
Dalam laporannya, S&P menulis bahwa perekonomian Indonesia berhasil tumbuh lebih tinggi dibandingkan rekan-rekannya di tingkat pendapatan yang sama. Pertumbuhan riil Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita Indonesia mencapai 4,1% (rata-rata tertimbang 10 tahun), sedangkan negara-negara lain dengan tingkat pendapatan yang sama rata-rata hanya tumbuh 2,2%. Menurut lembaga yang bermarkas di New York, Amerika Serikat (AS) tersebut, hal itu merupakan sebuah prestasi yang mengesankan.
Jadi, bukan tanpa alasan seorang Sri Mulyani bisa mendapatkan posisi prestigius di empat kabinet. Rekam jejaknya memang begitu ciamik. Bahkan kalau berbicara mengenai posisi menteri keuangan, rasanya memang tak ada yang lebih capable dari wanita kelahiran 26 Agustus 1962 tersebut.
(dru/dru) Next Article Bangga! Sri Mulyani Bawa Pulang Penghargaan Internasional
