
Lima Tahun Berkuasa, Ini Loh yang Kurang dari Jokowi

Kekurangan Jokowi yang kedua adalah kurang matang. Bukan pribadinya Jokowi yang Tim Riset CNBC Indonesia pandang kurang matang, namun sikapnya dalam meluncurkan sebuah kebijakan lah yang kurang matang.
Dalam lima tahun dirinya memerintah, banyak kebijakan maju-mundur yang membuat geleng-geleng kepala. Padahal, kepastian hukum dan perundangan merupakan salah satu faktor terpenting yang menjadi dasar pertimbangan investor asing dalam menentukan lokasi investasi.
Bank Dunia (World Bank) melakukan survei kepada 754 perusahaan internasional dan hasilnya dituangkan dalam publikasi berjudul Foreign Investor Perspectives and Policy Implications 2017/2018.
Kestabilan politik dan keamanan diketahui menjadi faktor utama bagi investor dalam menentukan lokasi penanaman modal. Sebanyak 50% responden menyebut bahwa kestabilan politik dan keamanan sangatlah penting bagi mereka, sementara 37% menilainya sebagai faktor yang penting.
Di posisi dua dari deretan faktor yang mempengaruhi keputusan investor dalam menentukan lokasi penanaman modal, ada poin kepastian hukum dan perundangan. Sebanyak 40% responden mengganggap bahwa kepastian hukum merupakan faktor yang sangat penting bagi mereka, sementara 46% menilanya sebagai faktor penting.
Pada tahun 2015, Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan mengumumkan bahwa pengguna jalan tol akan dikenakan pajak pertambahan nilai (PPN) dengan tarif sebesar 10%. Kebijakan ini rencananya akan mulai berlaku pada 1 April 2015.
Kebijakan ini tertuang dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak PER/10/PJ/2015 tentang Tata Cara Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai atas Penyerahan Jasa Jalan Tol.
Namun, satu hari pasca kebijakan tersebut dikemukakan ke publik, pemerintah justru membatalkan kebijakan tersebut pasca menggelar rapat koordinasi.
Kemudian pada November 2016, pemerintah secara resmi meluncurkan paket kebijakan ekonomi jilid 16 yang diarahkan untuk mengatasi permasalahan defisit transaksi berjalan/current account deficit (CAD). Salah satu poin dari paket kebijakan tersebut adalah revisi Daftar Negatif Investasi (DNI).
Kala itu, aturan turunan dari kebijakan tersebut belum diterbitkan. Namun, paket kebijakan tersebut menuai protes dari para politisi, pelaku usaha, hingga masyarakat umum. Pasalnya, investor asing rencananya diberi keleluasaan untuk mengakusisi usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) hingga 100%.
“Saya minta diganti. UMKM kan penyangga ekonomi kita jadi harus dilindungi. Masa sih urusan membersihkan umbi-umbian, warnet, mesti asing? Gak usahlah, itu UMKM aja,” tegas Maruarar Sirait yang merupakan Anggota Komisi XI DPR kala itu.
Pada akhirnya, pemerintah pun meralat kebijakan relaksasi DNI, terutama di sektor UMKM.
Kebijakan maju-mundur Jokowi lainnya terjadi juga pada Oktober 2018. Bahkan, ini bisa dibilang yang paling absurd. Kala itu, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan mengumumkan kenaikan harga bensin jenis premium. Kacaunya, kebijakan sepenting ini seolah-olah menjadi ‘mainan’ bagi pemerintah.
Selang satu jam dari pengumuman kenaikan harga, Kementerian ESDM mengumumkan bahwa rencana kenaikan harga bensin jenis premium tersebut batal dieksekusi.
"Sesuai arahan bapak Presiden rencana kenaikan harga premium di Jamali menjadi Rp 7.000 dan di luar Jamali menjadi Rp 6.900, secepatnya pukul 18.00 hari ini, agar ditunda dan dibahas ulang sambil menunggu kesiapan PT Pertamina," ujar Jonan dalam keterangan tertulisnya.
Di tahun ini, kebijakan maju-mundur era Jokowi dieksekusi oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Sebelumnya, Sri Mulyani sempat mengarahkan supaya pelaku usaha digital dipajaki dengan meneken PMK-210/PMK.010/2018 mengenai Perlakuan Perpajakan atas Transaksi Perdagangan melalui Sistem Elektronik (e-Commerce) yang ditetapkan dan diundangkan di Jakarta pada tanggal 31 Desember 2018 lalu.
Namun kacaunya, kebijakan itu ditarik hanya beberapa hari menjelang penerapan.
"Saya ingin sampaikan pengumuman pada media, pertama selama ini banyak yang memberitakan soal PMK 210 seolah-olah pemerintah buat pajak baru," kata Sri Mulyani di Kantor Pajak Tebet, Jumat (29/3/2019).
"Begitu banyak simpang siur. Kami sudah koordinasi dengan Kementerian/Lembaga dan banyak yang collect info dari perusahaan marketplace. Dengan simpang siur kami anggap perlu sosialisasi lebih lagi pada seluruh stakeholder, masyarakat, perusahaan, memahami seluruhnya."
"Saya memutuskan menarik PMK 210/2018. Itu kita tarik dengan demikian yang simpang siur tanggal 1 April ada pajak e-commerce itu nggak benar, kami putuskan tarik PMK-nya," kata Sri Mulyani.
Apapun alasannya, intinya sama saja: pemerintah maju-mundur. Menjelang eksekusi, pemerintah gamang dengan menarik lagi kebijakan yang sebelumnya sudah diteken dan disosialisasikan.
Bagi investor, tentu sikap maju-mundur yang kerap kali ditunjukkan oleh pemerintah membawa sebuah ketidakpastian yang besar. Bagaimana kalau nantinya kegamangan pemerintah dalam mengeksekusi sebuah kebijakan berdampak langsung bagi bisnis mereka?
Kebijakan maju-mundur seperti ini perlu diminimalisir oleh Jokowi di periode dua, idealnya justru harus disetop. Kalau dibiarkan terus terjadi, kepercayaan investor terhadap Indonesia bisa memudar dan akan menjadi sangat sulit untuk mengembalikannya.
TIM RISET CNBC INDONESIA