Pak Jokowi, Minta Tolong Sri Mulyani Jangan Diganti ya!

Jakarta, CNBC Indonesia - Pelantikan Joko Widodo (Jokowi) sudah kian dekat. Pada siang hari ini, Minggu (20/10/2019), Jokowi akan dilantik dan resmi menjalani periode keduanya sebagai pemimpin tertinggi di republik ini, bersama dengan wakilnya yang baru yakni Ma'ruf Amin.
Menjelang pelantikan, salah satu isu yang paling ramai dibicarakan masyarakat adalah terkait dengan susunan kabinet yang akan membantu Jokowi mengarungi pemerintahan dalam 5 tahun ke depan.
Sejauh ini, ada banyak sekali isu yang berseliweran terkait dengan komposisi kabinet baru Jokowi. Wakil Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) misalnya, disebut-sebut akan menjadi salah satu menteri dalam kabinet Jokowi-Ma'ruf.
Kemudian, Sandiaga Uno yang merupakan lawan dari Jokowi-Ma'ruf dalam kontestasi pemilihan presiden (Pilrpres) 2019 ikut disebut akan meramaikan kabinet Jokowi. Lebih lanjut, ada juga Nadiem Makarim selaku CEO Go-Jek yang dikabarkan kian dekat merapat ke Istana.
Namun, mari kita lupakan sejenak hiruk pikuk pemberitaan tentang nama-nama baru di kabinet Jokowi. Pasalnya, ada nama lama yang menurut Tim Riset CNBC Indonesia wajib dipertahankan oleh Jokowi, yakni Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.
Seperti yang diketahui, sebelum kembali ke Indonesia karena diminta Jokowi untuk menjadi Menteri Keuangan lagi, Sri Mulyani sempat menjabat posisi yang sama di masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Sosok menteri yang satu ini mungkin bisa dibilang memiliki CV yang paling komplit jika dibandingkan dengan koleganya di Kabinet Kerja (kabinet periode satu Jokowi).
Pada tahun 2019, majalah The Banker menobatkan Sri Mulyani sebagai menteri keuangan terbaik dunia. Di kawasan Asia Pasifik, bukan dua kali, namun tiga kali secara beruntun (2017-2019) Sri Mulyani menyabet gelar sebagai menteri keuangan terbaik dari FinanceAsia.
Sebelum membahas mengenai Sri Mulyani lebih jauh, patut diketahui bahwa posisi menteri keuangan merupakan salah satu posisi yang paling krusial bagi sebuah perekonomian, tak terkecuali Indonesia.
Maklum saja, menjadi menteri keuangan berarti menjadi arsitek keuangan dari sebuah negara. Optimalisasi dari setiap penerimaan yang dikumpulkan oleh pemerintah berada di tangan seorang menteri keuangan. Maju-tidaknya sebuah negara, sejahtera-tidak rakyatnya, akan sangat ditentukan oleh kebijakan yang diambil oleh seorang menteri keuangan.
Kembali ke Sri Mulyani yang sempat menjadi Direktur Pelaksana Bank Dunia, tak bisa dipungkiri bahwa dirinya merupakan sosok penghuni Kabinet Kerja yang paling banyak diterpa nyinyiran masyarakat.
Salah satu sorotan yang banyak diberikan masyarakat ke Sri Mulyani adalah terkait dengan utang. Maklum, tambahan utang pemerintah di era Jokowi terbilang pesat jika dibandingkan dengan era pemerintahan sebelumnya.
Pada periode satu Presiden SBY (2005-2009), tercatat tambahan utang pemerintah pusat adalah senilai Rp 291 triliun. Beralih ke periode satu Presiden Jokowi (2015-2019), tambahan utang pemerintah pusat meroket menjadi Rp 2.071 triliun.
Data untuk tahun 2019 yang digunakan barulah data hingga Agustus 2019. Dipastikan sampai akhir tahun 2019, tambahan utang di periode satu Jokowi akan semakin besar.
Nyinyiran ke arah Sri Mulyani tak hanya datang dari kalangan masyarakat biasa, namun juga politisi. Bahkan, Prabowo Subianto yang merupakan lawan dari Jokowi dalam kontestasi Pilpres 2014 dan 2019 sempat melabeli Sri Mulyani dengan julukan Menteri Pencetak Utang.
"Kalau menurut saya, jangan disebut lagi-lah ada Menteri Keuangan, mungkin Menteri Pencetak Utang. Bangga untuk utang, yang suruh bayar orang lain," ujar Prabowo pada Januari silam kala dirinya sedang bertarung dalam kontestasi Pilpres 2019.
Namun, justru besarnya tambahan utang tersebut yang membuat Tim Riset CNBC Indonesia mengapresiasi kinerja Sri Mulyani.
BERLANJUT KE HALAMAN 2 -> Tak Ada yang Tak Defisit
Sebelum membahas lebih dalam mengenai apresiasi Tim Riset CNBC Indonesia terhadap tambahan utang di era Sri Mulyani, ada baiknya kita memahami bagaimana dunia ini beroperasi. Saat ini, bahkan sudah sedari dulu, dunia ini berjalan dengan yang namanya defisit fiskal.
Defisit fiskal merupakan kondisi di mana penerimaan negara lebih kecil ketimbang pengeluarannya, sehingga negara harus meminjam ke pihak lain guna mencukupi kebutuhan belanja, baik itu dalam bentuk pinjaman ataupun penerbitan obligasi.
Sejauh ini, AS merupakan negara dengan nilai perekonomian terbesar di dunia. Mengutip halaman US Debt Clock.org, total utang pemerintah AS saat ini berada di level US$ 22,8 triliun. Jika dikonversi ke rupiah menggunakan kurs di pasar spot saat berita ini ditulis yakni Rp 14.160/dolar AS, nilainya adalah Rp 322.848 triliun.
Di urutan kedua dari negara dengan nilai perekonomian terbesar di dunia, ada China yang kini sedang terlibat perang dagang dengan AS. Melansir halaman US Debt Clock.org, total utang pemerintah China adalah senilai US$ 9,7 triliun atau setara dengan Rp 137.352 triliun.
Di posisi tiga dari negara dengan nilai perekonomian terbesar di dunia, ada Negeri Sakura alias Jepang. Di posisi empat hingga 10 secara beruntun, ada Jerman, Inggris, India, Prancis, Italia, Brasil, dan Kanada.
Apakah ada yang bebas utang? Tidak. Semuanya punya utang.
Kalau dibandingkan dengan posisi utang pemerintah Indonesia per Agustus 2019 yang senilai Rp 4.680 triliun, utang Indonesia menjadi sangat-sangat kecil.
Namun, memang membandingkan posisi utang sebuah negara tak bisa hanya melalui nominalnya semata. Pasalnya, nilai perekonomian setiap negara berbeda-beda, sehingga kapasitasnya dalam melunasi utangnya juga berbeda-beda.
Di dunia ekonomi, biasanya rasio utang terhadap Produk Domestik Pruto (PDB) atau debt to GDP ratio merupakan indikator yang dipakai untuk menentukan sehat-tidaknya tingkat utang sebuah negara. Semakin tinggi rasio utang terhadap PDB, maka tingkat utang sebuah negara bisa dibilang semakin tidak sehat.
Melansir data dari Trading Economics, per tahun 2018 rasio utang terhadap PDB dari AS adalah 106%. Untuk China dan Jepang, rasio utang terhadap PDB-nya adalah masing-masing sebesar 50,5% dan 238%.
Bagaimana dengan Indonesia?
Ternyata, walau secara sepintas total utang pemerintah pusat yang senilai Rp 4.604 triliun terlihat besar, jika dilihat dari kacamata yang benar akan menjadi rendah.
Bahkan jika dibandingkan negara-negara Asia lainnya, rasio utang terhadap PDB Indonesia yang sebesar 29,8% merupakan yang terendah.
Dalam kondisi saat ini, tambahan utang memang diperlukan lantaran perekonomian Indonesia sedang lesu dan membutuhkan stimulus guna membuatnya bergairah seperti dulu.
Pada periode satu pemerintahan SBY, secara rata-rata perekonomian Indonesia tumbuh sebesar 5,94%, sementara dalam empat tahun pertama pemerintahan Jokowi, secara rata-rata perekonomian Indonesia hanya tumbuh sebesar 5,01%.
Ada faktor eksternal di sini.
Semasa periode satu SBY, perekonomian global tumbuh lebih pesat, yakni 3,78% secara rata-rata. Sementara di era Jokowi (2015-2018), perekonomian global tumbuh melambat seiring dengan ketidakpastian yang membayangi perekonomian negara-negara dengan nilai raksasa. Jika dirata-rata, pertumbuhan ekonomi global dalam periode 2015-2018 adalah sebesar 3,55%.
Di AS dan China, kedua negara sudah lebih dari satu setengah tahun terlibat dalam perang dagang yang begitu panas. Di Inggris, kini potensi No-Deal Brexit alias perceraian antara Inggris dengan Uni Eropa tanpa kesepakatan terbuka dengan sangat lebar.
Dengan pertumbuhan ekonomi dunia yang lesu, masuk akal jika penerimaan negara menjadi kurang maksimal. Untuk diketahui, mayoritas penerimaan negara Indonesia datang dari penerimaan perpajakan, disusul oleh Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), lalu kemudian penerimaan hibah.
Di era Jokowi, pertumbuhan ekonomi global yang relatif lesu (yang pada akhirnya membuat perekonomian Indonesia juga lesu) telah mengakibatkan penerimaan perpajakan menjadi relatif lemah, yang pada akhirnya membuat penerimaan negara secara keseluruhan ikut menjadi rendah juga.
Jika dirata-rata, realisasi penerimaan perpajakan di periode satu SBY adalah sebesar 99,6% dari target. Untuk penerimaan negara secara keseluruhan, nilainya adalah 99,5%. Beralih ke era Jokowi, secara rata-rata dalam periode 2015-2018, realisasi penerimaan perpajakan hanya mencapai 88%, sementara realisasi penerimaan negara secara keseluruhan hanya 92,8%.
Implikasinya, ya mau tak mau pemerintah harus berutang kalau tak mau belanjanya dipangkas. Untuk diketahui, realisasi belanja di era Jokowi tak kalah jauh dari realisasi di periode satu SBY.
Secara rata-rata, realisasi belanja negara di periode satu SBY tercatat sebesar 95,9% dari target. Di era Jokowi, angkanya hanya turun tipis menjadi 93,6%. Padahal kalau melihat realisasi penerimaan, Jokowi tertinggal jauh dari SBY.
Kalau Sri Mulyani tak mengambil keputusan yang berani untuk mengambil utang dalam jumlah yang besar, dipastikan perekonomian Indonesia akan lebih tertekan lagi. Bagi Indonesia yang masih masuk ke kategori negara berkembang, pertumbuhan ekonomi memang harus dijaga di level yang relatif tinggi.
Alasannya: kesejahteraan masyarakat. Kala perekonomian tumbuh dengan pesat, penciptaan lapangan pekerjaan akan tumbuh dengan pesat pula sehingga pengangguran menjadi lebih mudah diberantas. Selain itu, upaya pengentasan kemiskinan juga akan lebih mudah dilakukan.
Berbicara mengenai pengangguran, tingkat pengangguran di Indonesia terbilang tinggi jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga. Dari beberapa negara di kawasan Asia yang kami kumpulkan datanya, tingkat pengangguran di Indonesia merupakan yang tertinggi ketiga.
BERLANJUT KE HALAMAN 3 -> Kokohkan Pondasi
Tambahan utang di era Jokowi yang begitu pesat banyak dialokasikan untuk membangun infrastruktur, sebuah faktor yang sangat krusial dalam memajukan sebuah perekonomian.
Pada tahun 2014, pemerintah mengalokasikan anggaran senilai Rp 154,7 triliun untuk pembangunan infrastruktur.
Ingat, anggaran untuk tahun 2014 masih disusun oleh SBY dan bukan Jokowi lantaran Jokowi baru menjabat pada bulan Oktober atau hanya beberapa bulan sebelum tutup tahun. Selepas tahun 2014, anggaran untuk pembangunan infrastruktur terus melejit.
Selain anggarannya yang besar, pembangunan infrastruktur yang dieksekusi Jokowi juga terbukti tak Jawa-sentris. Dari Sabang sampai Merauke, jalan, jalan tol, tol laut, jembatan, pelabuhan, hingga bandara dieksekusi dengan begitu gesit oleh Jokowi menggunakan dana yang sudah dialokasikan oleh Sri Mulyani.
Terhitung selama SBY menjabat sebagai presiden selama 10 tahun (2005-2014), total infrastruktur yang dibangun menggunakan dana pemerintah pusat adalah senilai Rp 343,7 triliun.
Sementara itu, dalam tiga tahun pertama kepemimpinan Jokowi (2015-2017), dana yang dikeluarkan sudah mencapai Rp 235,5 triliun atau setara dengan 69% dari yang dicatatkan SBY selama 10 tahun.
Sebagai catatan, tahun 2004 tak dihitung masuk periode SBY karena dirinya baru menjabat presiden pada Oktober atau kurang dari 3 bulan sebelum tutup tahun. Hal yang sama juga berlaku untuk Jokowi, tahun 2014 tak dimasukkan.
Dari total infrastruktur yang dibangun dengan dana pemerintah pusat di zaman SBY senilai Rp 343,7 triliun, sebanyak Rp 169,2 triliun atau setara dengan 49,2% dialokasikan untuk Provinsi DKI Jakarta, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat. Tak ayal jika pembangunan zaman SBY sering disebut sebagai Jawa-sentris.
Alokasi dana ke provinsi DKI Jakarta merupakan yang paling besar di zaman SBY, yakni senilai Rp 85,2 triliun atau setara dengan 24,8%.
Beralih ke era Jokowi, terlihat pemerintah sudah tak lagi Jawa-sentris. Sepanjang 2015-2017, pemerintah pusat hanya mengalokasikan 33,8% anggaran untuk membangun infrastruktur di DKI Jakarta, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat. Sementara sisanya (Rp 156 triliun atau 66,2%) dialokasikan ke provinsi-provinsi lain di Indonesia.
Dalam 3 tahun, anggaran pemerintah pusat untuk membangun infrastruktur di provinsi DKI Jakarta adalah Rp 38,4 triliun atau setara dengan 16,3% saja, jauh lebih rendah dibandingkan SBY yang mengalokasikan dana sebesar nyaris 25% untuk ‘memanjakan’ ibu kota.
Dalam RAPBN 2020, belanja negara ditargetkan berada di angka Rp 2.528,8 triliun, naik 7,99% jika dibandingkan dengan outlook untuk tahun 2019 yang senilai Rp 2.341,6 triliun.
Dari anggaran belanja senilai lebih dari Rp 2.500 triliun tersebut, sebanyak Rp 419,2 triliun dialokasikan untuk membangun infrastruktur.
BERLANJUT KE HALAMAN 4 -> Tetap Prudent, Peringkat Surat Utang Indonesia Naik Terus
Walaupun secara gencar menambah utang, Sri Mulyani tak melupakan yang namanya prinsip kehati-hatian.
Semenjak kembali ke Indonesia untuk menjadi menteri keuangan di pemerintahan Jokowi, defisit fiskal selalu dijaga di level yang rendah. Untuk diketahui, undang-undang membatasi defisit fiskal di level 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Pada tahun 2015 kala posisi menteri keuangan masih dipegang oleh Bambang Brodjonegoro, defisit fiskal Indonesia tercatat berada di level 2,58% dari PDB, menandai defisit terbesar dalam setidaknya tujuh tahun.
Selepas itu, defisit fiskal berangsur-angsur menipis. Pada tahun 2018, defisit fiskal bahkan bisa ditekan hingga ke level 1,76% dari PDB, menandai defisit fiskal terendah dalam delapan tahun.
Seiring dengan pengelolaan APBN yang ekspansif namun tetap prudent di bawah tangan dingin Sri Mulyani, lembaga pemeringkat kenamaan dunia pun beramai-ramai menaikkan peringkat surat utang Indonesia.
Pada akhir 2017, Fitch Ratings menaikkan peringkat surat utang jangka panjang Indonesia dari BBB- menjadi BBB, menjadikan Indonesia setara dengan Filipina dan Portugal yang telah lebih dulu mendapatkan kenaikan peringkat ke BBB pada pertengahan Desember 2017.
Kemudian pada April 2018, Moody’s memutuskan untuk mengerek peringkat surat utang jangka panjang Indonesia sebanyak 1 tingkat ke level Baa2, dari yang sebelumnya Baa3.
Dalam keterangannya tertulisnya, Moody's menyebut bahwa kebijakan fiskal dan moneter yang prudent serta ketahanan sektor finansial membuatnya pihaknya yakin bahwa Indonesia memiliki modal yang cukup dalam menghadapi guncangan-guncangan yang mungkin terjadi.
Teranyar, menjelang libur panjang Idul Fitri, Standard and Poor's (S&P) ikut memutuskan untuk menaikkan peringkat surat utang jangka panjang Indonesia.
"S&P menaikkan peringkat pemerintah Indonesia ke BBB dengan alasan prospek pertumbuhan yang kuat dan kebijakan fiskal yang prudent," tulis S&P dalam keterangan resminya.
Dalam laporannya, S&P menulis bahwa perekonomian Indonesia berhasil tumbuh lebih tinggi dibandingkan rekan-rekannya di tingkat pendapatan yang sama. Pertumbuhan riil Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita Indonesia mencapai 4,1% (rata-rata tertimbang 10 tahun), sedangkan negara-negara lain dengan tingkat pendapatan yang sama rata-rata hanya tumbuh 2,2%. Menurut lembaga yang bermarkas di New York, Amerika Serikat (AS) tersebut, hal itu merupakan sebuah prestasi yang mengesankan.
Dinaikannya peringkat surat utang oleh lembaga pemeringkat kenamaan dunia tentu akan berimbas pada turunnya imbal hasil (yield) obligasi terbitan pemerintah Indonesia yang pada akhirnya akan membuat penerbitan surat utang baru menjadi lebih murah. Selain itu, biaya yang harus ditanggung korporasi kala ingin menerbitkan surat utang baru juga akan menjadi bisa ditekan.
Lebih lanjut, dikerek naiknya peringkat surat utang sukses mendorong investor asing untuk menanamkan dananya di obligasi terbitan pemerintah Indonesia. Pada tahun 2017, investor asing membukukan beli bersih senilai Rp 170,4 triliun di pasar obligasi, menandai beli bersih tahunan terbesar dalam setidaknya lima tahun.
Pada tahun 2018, beli bersih investor asing di pasar obligasi adalah senilai Rp 57,1 triliun. Untuk tahun 2019, hingga tanggal 15 Oktober investor asing sudah membukukan beli bersih senilai Rp 138,8 triliun.
Pada akhirnya, aliran modal investor asing ke pasar obligasi ikut berkontribusi dalam menopang kestabilan rupiah.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/tas) Next Article 'Di Kondisi Ini Memang Butuh Menteri Handal Sri Mulyani'
