Pemenang Nobel Ekonomi 2019 Kerap Teliti RI, Ini Buktinya

Rehia Sebayang, CNBC Indonesia
17 October 2019 16:11
Pemenang Nobel Ekonomi 2019 Kerap Teliti RI, Ini Buktinya
Foto: foto : Thomson Reuters,
Jakarta, CNBC Indonesia - Tiga ekonom Amerika mendapatkan Penghargaan Ekonomi Nobel (Nobel Economics Prize) ke 51 dari Royal Swedish Academy of Sciences pada Senin (14/10/19).

Penghargaan diberikan karena ketiga ekonom itu karena mereka berhasil melahirkan pendekatan baru dalam hal pendidikan dan kesehatan untuk memerangi kemiskinan.


Ketiga ekonom itu adalah warga Amerika Serikat (US) Abhijit Banerjee, istrinya Esther Duflo, dan Michael Kremer.

Duflo merupakan pemenang termuda dan wanita penerima Nobel Economics Prize kedua sepanjang sejarah penghargaan ini. Wanita pertama yang menerima penghargaan adalah Elinor Ostrom pada 2009. Sejak awal pembentukan pada 1969, ada 84 orang yang telah menerima penghargaan.

Memenangkan hadiah nobel berarti ketiga ekonom itu akan mendapatkan uang senilai total sembilan juta kronor Swedia atau setara US$ 914.000 (Rp 12,7 miliar, kurs Rp 14.000).

Ketiganya juga akan menerima penghargaan dari Raja Carl XVI Gustaf pada upacara formal di Stockholm pada 10 Desember, bertepatan dengan peringatan kematian Alfred Nobel yang meninggal pada tahun 1896.

"Kami sangat senang dan rendah hati," kata Duflo kepada MIT News setelah mengetahui penghargaan itu. "Kami merasa sangat beruntung melihat pekerjaan seperti ini diakui."

Lalu, apa saja hasil penelitian Duflo dan kawan-kawan di Indonesia? Berikut rinciannya:



BERLANJUT KE HAL 2>>>>

Duflo pernah melakukan penelitian terkait Sekolah Dasar (SD) Instruksi presiden (Inpres) yang nge-tren pada era Order Baru (Orba). Duflo meneliti apakah ada pengaruh kebijakan pembangunan infrastruktur sekolah dasar terhadap perekonomian Indonesia.

Dalam salah satu penelitiannya yang berjudul "Dampak Jangka Menengah Ekspansi Pendidikan: Studi Kasus Program Pembangunan Sekolah di Indonesia", Duflo menyoroti adanya kebijakan SD Inpres terhadap angka partisipasi pendidikan, gaji, serta partisipasi tenaga kerja dalam kurun waktu 13 tahun (1986-1999).

Mengutip laporan Promarket, Duflo memutuskan untuk melakukan penelitian di dunia pendidikan, terutama dalam hal kebijakan yang secara eksogen mengurangi biaya pendidikan bagi sebagian orang, dan membiarkannya tetap tinggi bagi sebagian orang lainnya. Ia pun merasa bahwa program pembangunan sekolah top-down mungkin adalah tempat yang baik untuk mulai mencari kebijakan seperti itu.

"... dan saya melanjutkan untuk mencari koleksi laporan Bank Dunia dari perpustakaan MIT untuk negara yang mengalami peningkatan besar dalam pembangunan sekolah. Saya mulai dengan Indonesia. Saya telah menggunakan data Indonesia untuk makalah ekonometrik saya (yang bernasib buruk), jadi saya telah belajar cukup banyak tentang orang Indonesia untuk mengetahui bahwa mereka terlibat dalam kebijakan berskala besar," Katanya dalam wawancara yang diterbitkan pada 2011 oleh Komite Asosiasi Ekonomi Amerika tentang Status Perempuan dalam Profesi Ekonomi.

"Ternyata mereka memang melakukan kegiatan pembangunan sekolah pada tahun 1970-an, dan mereka melakukan ini dengan sangat berbeda di berbagai daerah," Tambahnya.

BERSAMBUNG KE HAL 3 >>> Selain Duflo, Abhijit juga melakukan penelitian di Indonesia. Namun, bukan dalam hal pendidikan. Ia meneliti soal BPJS Kesehatan di 2019.

Penelitian itu dilakukannya dengan sejumlah peneliti lain termasuk peneliti lokal dengan judul The Challenges of Universal Health Insurance in Developing Countries: Evidence from a Large-Scale Randomized Experiment in Indonesia (Tantangan Asuransi Kesehatan Universal di Negara Berkembang: Bukti dari Percobaan Acak Skala Besar di Indonesia).

Dari abstrak, penelitian ini melihat bagaimana asuransi kesehatan bisa dijangkau masyarakat. Penelitian ini menyasar 6.000 rumah tangga di Indonesia yang menjadi sasaran program asuransi kesehatan pemerintah yang diamanatkan secara nasional.

Penelitian yang serupa, juga menargetkan Indonesia, pernah dilakukannya di 2010. Soal tantangan negara ini mengidentifikasi orang miskin untuk asuransi sosial karena keterbatasan informasi soal pendapatan masyarakat.

Studi dilakukan dengan percobaan lapangan di 640 desa di Indonesia. Di mana ternyata penilaian diri penduduk desa atas status sosial lebih berpengaruh dalam menentukan apakah mereka tergolong penerima bantuan atau tidak, dan bukan pendapatan perkapita.

Selain di Indonesia, ketiga awardee tersebut juga melakukan penelitian di luar wilayah Indonesia, termasuk Afrika Selatan, India, dan Amerika Serikat (AS).

Selain meneliti, pada tahun 2003, Abhijit Banerjee juga mendirikan Laboratorium Aksi Kemiskinan Abdul Latif Jameel (J-PAL), bersama dengan Duflo dan Sendhil Mullainathan. Ia masih tetap menjadi salah satu direkturnya, menurut laporan India Today.

J-PAL, jaringan global para peneliti anti kemiskinan yang melakukan eksperimen lapangan, kini telah menjadi pusat penelitian utama, mendukung kerja di seluruh dunia.

Abhijit mengatakan sekitar 400 profesor terkait dalam berbagai cara dengan pekerjaan J-PAL dan sedang melakukan uji coba kontrol acak pada berbagai masalah seperti sekolah AS di Appalachia hingga masalah tata kelola di Indonesia, mengimunisasi anak-anak di India dan membangun tempat berlindung bagi anak-anak di Sub Afrika Sahara.


Next Page
SD Inpres
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular