Kubu Prabowo Masuk Koalisi Jokowi, Berkah atau Musibah?

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
17 October 2019 07:55
Kubu Prabowo Masuk Koalisi Jokowi, Berkah atau Musibah?
Foto: Infografis/Dari ucapan selamat hingga Cebong dan Kampret, JOKOWI-PRABOWO Bersatu! /Aristya Rahadian Krisabella
Jakarta, CNBC Indonesia - Periode satu Presiden Joko Widodo (Jokowi) akan segera berakhir dan periode dua dari pemerintahan mantan Walikota Solo tersebut akan segera dimulai. Menjelang dimulainya periode dua pemerintahan Jokowi, pemberitaan yang hangat diperbincangkan adalah seputar postur kabinet.

Belakangan, Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto yang juga merupakan lawan dari Jokowi dalam kontestasi pemilihan presiden (Pilpres) 2019 gencar melakukan safari politik, salah satunya dengan bertemu secara tatap muka dengan Jokowi.

Selepas bertemu Prabowo, Jokowi mengonfirmasi kemungkinan Gerindra bergabung ke dalam koalisi pemerintah Jokowi-Ma'ruf Amin. Namun, menurut Jokowi, semua itu belumlah final, tergantung dinamika yang ada.

Berdasarkan informasi yang dihimpun CNBC Indonesia, masuknya Gerindra ke dalam koalisi pemerintah Jokowi-Ma'ruf tidaklah gratis. Partai berlambang Burung Garuda itu disebut-sebut meminta jatah tiga kursi menteri antara lain menteri pertanian.

Nah, pertanyaan seputar dengan jadi-tidaknya kubu Prabowo bergabung ke kubu Jokowi akan terjawab saat Partai Gerindra menggelar rapat pimpinan nasional selama 2 hari di Padepokan Garuda Yaksa, Desa Bojong Koneng, Kecamatan Babakan Madang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.

Dalam forum tertinggi setelah kongres itu, Prabowo yang juga menjabat Ketua Dewan Pembina pasti menentukan sikap politik, apakah tetap menjadi oposisi seperti pada periode satu pemerintahan Jokowi atau justru kini bergabung ke dalamnya.

Jika berbicara bagi perekonomian Indonesia, jika Gerindra benar bergabung ke koalisi Jokowi, apakah itu akan menjadi berkah atau justru menjadi musibah?

BERLANJUT KE HALAMAN 2 -> Investasi Sedang Loyo


Berbicara mengenai perekonomian, investasi menjadi elemen yang sangat krusial. Kalau berbicara mengenai tarik-menarik dana asing di pasar modal, Indonesia bisa dibilang jago. Melansir data yang dipublikasikan Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI), per September 2019 pemodal asing tercatat memiliki 50,6% dari saham yang tercatat di KSEI.

Di pasar obligasi, melansir data yang dipublikasikan Direktoral Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan, per 14 Oktober 2019, investor asing menguasai senilai Rp 1.032,72 triliun dari total obligasi pemerintah Indonesia yang dapat diperdagangkan atau setara dengan 38,42%.

Tapi, kalau berbicara mengenai investasi riil (membangun pabrik), ceritanya menjadi berbeda. Untuk diketahui, jika berbicara mengenai investasi riil, yang terpenting bagi Indonesia adalah penanaman modal asing (PMA) atau foreign direct investment, bukan penanaman modal dalam negeri (PMDN) atau domestic direct investment.

Pasalnya, dari total penanaman modal di tanah air, lebih dari 50% disumbang oleh PMA. Karena nilainya lebih besar, tentu pertumbuhan PMA yang signifikan akan lebih terasa bagi perekonomian ketimbang pertumbuhan PMDN.

Celakanya, pertumbuhan realisasi PMA di era Jokowi sangatlah mengecewakan. Pada tahun 2014, realisasi PMA tercatat tumbuh 13,54% jika dibandingkan dengan realisasi tahun 2013. Pada tahun 2015, pertumbuhannya sempat naik menjadi 19,22%. Dalam dua tahun berikutnya (2016-2017), PMA hanya tumbuh di kisaran satu digit. Pada tahun 2018, PMA bahkan tercatat ambruk hingga 8,8%.

Kalau dilihat kinerjanya secara kuartalan, selama empat kuartal beruntun (sejak kuartal II-2018 hingga kuartal I-2019) realisasi PMA membukukan kontraksi secara tahunan. Barulah pada kuartal II-2019 PMA bisa mencetak pertumbuhan, yakni sebesar 9,61%.


Namun, pertumbuhan realisasi PMA pada tiga bulan kedua tahun ini perlu diwaspadai. Pasalnya, salah satu penyebab kenaikan realisasi PMA pada kuartal II-2019 adalah low-base effect.

Realisasi PMA pada kuartal II-2018 terbilang rendah sehingga tak sulit untuk membukukan pertumbuhan pada kuartal II-2019. Pada kuartal II-2018, realisasi PMA tercatat senilai Rp 95,7 triliun. Realisasi PMA tersebut merupakan realisasi PMA kuartal II terendah sejak tahun 2015.

Pada kuartal I-2019 dan kuartal II-2019, investasi (bagian dari perhitungan PDB menggunakan pendekatan pengeluaran) tercatat tumbuh masing-masing sebesar 5,03% dan 5,01% secara tahunan. Pertumbuhan yang hanya di batas bawah 5% tersebut jauh merosot jika dibandingkan capaian pada periode yang sama tahun lalu. Pada kuartal I-2018 dan kuartal II-2018, investasi tercatat tumbuh masing-masing sebesar 7,95% dan 5,87% secara tahunan.

Pada kuartal III-2019, ada kemungkinan bahwa pertumbuhan pos investasi justru akan melorot ke bawah level 5%. Pasalnya, aktivitas sektor manufaktur Indonesia diketahui selalu membukukan kontraksi pada bulan Juli, Agustus, dan September.

Melansir data yang dipublikasikan oleh Markit, Manufacturing PMI Indonesia pada bulan Juli, Agustus, dan September berada masing-masing di level 49,6, 49, dan 49,1.

Sebagai informasi, angka di atas 50 berarti aktivitas manufaktur membukukan ekspansi jika dibandingkan dengan bulan sebelumnya, sementara angka di bawah 50 menunjukkan adanya kontraksi.

Dengan aktivitas manufaktur yang terus terkontraksi, dunia usaha akan cenderung menahan investasinya sehingga sangat mungkin pertumbuhan pos investasi akan melorot ke bawah 5%.

BERLANJUT KE HALAMAN 3 -> Kestabilan Politik Jadi Kunci


Lantas, apa hubungannya investasi dengan keputusan Prabowo untuk berada di dalam atau di luar koalisi Jokowi? Ternyata, kedua hal ini berkaitan erat.

Bank Dunia (World Bank) melakukan survei kepada 754 perusahaan internasional dan hasilnya dituangkan dalam publikasi berjudul Foreign Investor Perspectives and Policy Implications 2017/2018.

Ternyata, kestabilan politik dan keamanan merupakan faktor utama bagi investor dalam menentukan lokasi penanaman modal. Sebanyak 50% responden menyebut bahwa kestabilan politik dan keamanan sangatlah penting bagi mereka, sementara 37% menilainya sebagai faktor yang penting.

Kubu Prabowo Masuk Koalisi Jokowi, Berkah Atau Musibah?Foto: Faktor-faktor yang dianggap penting dalam menentukan lokasi penanaman modal (Foreign Investor Perspectives and Policy Implications 2017/2018, Bank Dunia)

Nah, ketika Gerindra yang merupakan partai dengan kursi terbanyak ketiga di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bergabung ke pemerintah, hampir bisa dipastikan setiap Rancangan Undang-Undang (RUU) yang dilempar oleh pemerintah ke parlemen akan bisa digolkan tanpa adanya gesekan politik yang berarti. 

Hal ini tentu menjadi penting, mengingat di periode dua Jokowi banyak kebijakan baru yang krusial bagi perekonomian Indonesia dan memerlukan restu dari parlemen, salah satunya adalah terkait pemangkasan pajak korporasi.

Jika kebijakan-kebijakan krusial yang penting bagi perekonomian bisa digolkan dengan cepat, minat investor asing untuk menanamkan dananya di Indonesia bisa dipacu yang pada akhirnya akan membuat roda perekonomian berputar lebih kencang.

Memang, menambah peserta koalisi berarti bagi-bagi kursi di kabinet semakin kencang. Sebelum Partai Gerindra Bergabung saja, koalisi Jokowi untuk periode dua sudah lebih gemuk ketimbang periode satu.

Namun, kalau posisi menteri ekonomi bisa dialokasikan ke tangan-tangan yang memang mumpuni, rasanya koalisi yang semakin gemuk tak menjadi masalah.

Sumber dari CNBC Indonesia menyebut bahwa Sri Mulyani Indrawati masih akan dipercaya untuk menempati posisi Menteri Keuangan di periode kedua pemerintahan Jokowi. Kalau ini benar yang terjadi, tentu menjadi kabar yang sangat positif bagi perekonomian Indonesia.

Pasalnya, ditengah menantangnya kondisi perekonomian global di periode satu pemerintahan Jokowi, Sri Mulyani berhasil menjaga realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Bahkan pada tahun 2018, realisasi penerimaan negara bisa mencapai lebih dari 100% dari yang ditargetkan, menandai kali pertama hal tersebut terjadi sejak tahun 2008 silam. Di tangan Sri Mulyani, defisit fiskal juga selalu bisa diredam di level yang relatif rendah.

Pelaku pasar pun sejauh ini menanggapi dengan gembira peluang terpilihnya kembali Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan. Pelaku pasar yang merupakan CEO sebuah lembaga pemeringkat internasional mengatakan bahwa Sri Mulyani sudah pas ditempatnya dan ada baiknya dipertahankan sebagai Menteri Keuangan.

"Dua jempol untuk Sri Mulyani bisa menjaga stabilitas fiskal dan makro secara baik di tengah gempuran ketidakstabilan kondisi ekonomi global," tuturnya.

Sementara itu, kalangan bankir berpendapat sama.

"Sri Mulyani mengetahui dengan pasti kondisi keuangan negara dan tak ada lagi yang bisa menggantikannya untuk saat ini," terang salah seorang bankir senior.

Pada akhirnya, walaupun sempat membuat satu Indonesia panas dingin, saat ini memang opsi terbaik bagi bangsa ini adalah Partai Gerindra merapat ke koalisi Jokowi. Seperti yang sudah disebutkan di atas, merapatnya Partai Gerindra merapat ke koalisi Jokowi akan membuat setiap RUU yang dilempar oleh pemerintah ke parlemen hampir bisa dipastikan akan digolkan dengan cepat.

Namun, walau nantinya Partai Gerindra merapat ke pemerintah, Jokowi tetap harus bijak dalam mengalokasikan kursi menteri ekonomi untuk orang-orang yang memang sangat kredibel seperti Sri Mulyani.

TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular