Dibanggakan Jokowi, Ini Potret Suram Pasar Tenaga Kerja RI

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
08 October 2019 06:22
Dibanggakan Jokowi, Ini Potret Suram Pasar Tenaga Kerja RI
Foto: Jokowi (Twitter Jokowi)

Jakarta, CNBC Indonesia - Periode satu pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) akan segera berakhir dan periode dua dari pemerintahan mantan Walikota Solo tersebut akan segera dimulai.

Kini, waktunya kita mulai mengkaji capaian-capaian di periode satu pemerintahan Jokowi. Hal ini menjadi penting lantaran kekurangan-kekurangan yang ada haruslah dianalisis guna dicari solusi perbaikannya.

Berbagai target yang dicanangkan oleh Jokowi dalam periode pertamanya bisa didapati di Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019.

Hingga akhir 2019, Jokowi menargetkan tingkat pengangguran turun ke level 4-5%. Faktanya, target ini tercapai. Melansir data yang dipublikasikan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat pengangguran per Februari 2019 tercatat di level 5,01% atau jika dibulatkan menjadi 5%. Turunnya tingkat pengangguran seringkali dibanggakan, baik oleh Jokowi maupun oleh para pembantunya di Kabinet Kerja. 

Walaupun target dari Jokowi tercapai, ternyata Indonesia tak bisa berpuas diri. Pasalnya, tingkat pengangguran di Indonesia terbilang tinggi jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga. Dari beberapa negara di kawasan Asia yang kami kumpulkan datanya, tingkat pengangguran di Indonesia merupakan yang tertinggi ketiga.

Hal ini jelas menunjukkan bahwa Indonesia tak boleh jemawa hanya karena sudah mencapai target yang dicanangkan di RPJMN. Faktanya, negara-negara lain di kawasan Asia memiliki tingkat pengangguran yang lebih rendah.

Lantas, apa yang salah dari Indonesia? Kenapa tingkat pengangguran masih berada di level yang relatif tinggi?

BERLANJUT KE HALAMAN 2 -> Ekonomi Indonesia Semakin Tak Proporsional

Masih tingginya tingkat pengangguran di Indonesia tak lepas dari fakta bahwa struktur perekonomian Indonesia makin tak proporsional dari tahun ke tahun. Perlu diketahui bahwa perekonomian terdiri dari dua sektor, yaitu sektor tradable dan sektor non-tradable.

Sektor tradable berisikan industri-industri yang output-nya diperdagangkan secara internasional serta melibatkan proses produksi yang konvensional. Agrikultur, pertambangan, dan manufaktur termasuk ke dalam sektor ini. Pada umumnya, sektor tradable memerlukan banyak tenaga kerja berpendidikan rendah, buruh pabrik misalnya.

Sementara itu, sektor non-tradable pada umumnya terdiri dari sektor-sektor jasa seperti jasa telekomunikasi, transportasi, dan keuangan. Sektor ini memerlukan lebih sedikit tenaga kerja, namun dengan kualifikasi tingkat pendidikan yang lebih tinggi, biasanya dimulai dari jenjang S1 ke atas atau setidaknya diploma.

Terhitung sejak Jokowi mengambil alih posisi RI-1 dari tangan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 2014 silam, perekonomian Indonesia sudah dikuasai oleh sektor non-tradable. Berdasarkan perhitungan Tim Riset CNBC Indonesia, sektor non-tradable menguasai sebesar 54,8% dari perekonomian Indonesia, sementara porsi dari sektor tradable adalah sebesar 45,2%.

Namun, tahun demi tahun terlewati, sektor non-tradable kian menguasai perekonomian tanah air. Pada tahun 2018, sektor non-tradable menguasai sebesar 57% dari perekonomian Indonesia, sementara porsi dari sektor tradable adalah sebesar 43%. Per akhir semester I-2019, porsi dari sektor non-tradable terhadap perekonomian Indonesia kembali naik menjadi 57,2%, sementara porsi dari sektor tradable menciut menjadi 42,8%.

Kenaikan porsi sektor non-tradable tidak lain didorong oleh pesatnya pertumbuhan di sektor tersebut, mengalahkan sektor tradable.

Sekilas, tentu menjadi hal yang menggembirakan ketika sektor terbesar dalam ekonomi Indonesia mencatatkan pertumbuhan yang tinggi. Namun di sisi lain, lemahnya pertumbuhan sektor tradable membuat penciptaan lapangan kerja di sektor ini menjadi lambat.

Dalam periode Maret 2016 hingga Februari 2019, sektor tradable menciptakan sebanyak 2,13 juta lapangan kerja, sementara sektor non-tradable menciptakan jauh lebih banyak lapangan kerja, yakni 6,58 juta. Penciptaan lapangan kerja oleh sektor non-tradable mencapai tiga kali lipat lebih dari penciptaan lapangan kerja sektor tradable.

Padahal, seperti yang sudah disebutkan di atas, lapangan kerja di sektor tradable adalah yang relatif mudah diakses oleh masyarakat Indonesia yang mayoritas berpendidikan rendah.

Dari total tingkat pengangguran terbuka per Februari 2019 yang sebesar 5,01% per Februari 2019, masyarakat dengan tingkat pendidikan tertinggi Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) menjadi yang paling sulit mendapatkan pekerjaan. Tingkat pengangguran dari masyarakat dengan tingkat pendidikan tertinggi SMK per Februari 2019 mencapai 8,63%. Untuk tingkat pendidikan tertinggi Sekolah Menengah Atas (SMA), tingkat penganggurannya mencapai 6,78%.

Kalau diamati lebih jauh, kondisi penciptaan lapangan kerja oleh sektor tradable benar-benar mengenaskan. Dalam periode Maret 2016 hingga Februari 2019, total lapangan kerja yang disediakan oleh sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan (yang merupakan bagian dari sektor tradable) justru berkurang hingga 180.000. Sementara itu, tambahan lapangan kerja dari sektor pertambangan hanya mencapai 50.000. Untuk sektor manufaktur, tambahan lapangan kerjanya adalah 2,26 juta.

Untuk diketahui, sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan merupakan sektor yang paling diandalkan Indonesia untuk urusan penyediaan lapangan kerja. Per Februari 2019, sektor ini berkontribusi sebesar 29,46% dari total penyediaan lapangan kerja di tanah air. Di posisi tiga, ada sektor manufaktur dengan sumbangsih 14,09%.

BERLANJUT KE HALAMAN 3 -> Sektor Informal Masih Dominan

Bukan hanya tingkat pengangguran yang relatif masih tinggi jika dibandingkan dengan negara-negara lain di kawasan Asia, masalah lain yang harus dicermati Jokowi adalah pasar tenaga kerja Indonesia masih didominasi oleh sektor informal. Data BPS mencatat, dari 100% lapangan kerja di Indonesia per Februari 2019, sebanyak 57,27% disumbang oleh sektor informal.

Dalam beberapa waktu terakhir, kontribusi sektor informal terhadap total pasar tenaga kerja Indonesia terus mendekati level 60%.

Untuk diketahui, yang membedakan lapangan kerja formal dan informal adalah terkait dengan pembayaran pajak ke pemerintah. Tenaga kerja formal merupakan tenaga kerja yang membayarkan pajak kepada pemerintah. Biasanya, tenaga kerja formal merupakan seorang profesional seperti guru, dosen, dokter, wartawan, dan Aparatur Sipil Negara (ASN).

Sementara itu, tenaga kerja informal merupakan tenaga kerja yang tidak membayarkan pajak kepada pemerintah, walaupun sejatinya penghasilannya masuk ke dalam kategori yang dikenakan pajak penghasilan (PPh). Tenaga kerja informal biasanya diasosiasikan dengan tenaga kerja yang banyak mengandalkan kekuatan fisik (blue collar) seperti Pedagang Kaki Lima (PKL), kuli bangunan, dan tukang ojek.

Struktur pasar tenaga kerja Indonesia yang didominasi oleh tenaga kerja informal jelas berbahaya. Pasalnya, penerimaan negara akan menjadi seret lantaran kebanyakan tenaga kerja tidak membayar PPh. Padahal, PPh merupakan tulang punggung pemerintah untuk membiayai pembangunan.

Berdasarkan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) tahun 2018, dari total penerimaan negara yang senilai Rp 1.944 triliun, sebanyak Rp 731,8 triliun atau setara dengan 37,6% disumbang oleh PPh.

Pada tahun 2018, total penerimaan perpajakan hanya mencapai Rp 1.519 triliun atau 93,86% dari target. Kalau saja tenaga kerja informal tak mendominasi pasar tenaga kerja kita, pastilah realisasi penerimaan perpajakan bisa lebih baik lagi dan amunisi pemerintah untuk mendorong pembangunan akan bertambah banyak.

Jokowi boleh berbangga bahwa target tingkat pengangguran di RPJMN 2015-2019 tercapai. Namun ternyata, ada masalah pelik jika kita membedah lebih jauh mengenai kondisi pasar tenaga kerja di Indonesia.

Pertama, tingkat pengangguran Indonesia relatif masih tinggi jika dibandingkan dengan negara-negara lain di kawasan Asia. Kedua, tenaga kerja informal masih mendominasi pasar tenaga kerja di tanah air.

Dibutuhkan racikan kebijakan yang tepat sasaran guna mengatasi kedua permasalahan ini di periode kedua pemerintahan Jokowi.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular