
90% Bungkus Rokok Bakal Polos, Setuju Nggak?
Efrem Siregar, CNBC Indonesia
02 October 2019 19:44

Jakarta, CNBC Indonesia - Industri rokok secara sistematis memang terus dikendalikan oleh pemerintah. Selain masalah terkait cukai sebagai bagian pengendalian, juga kebijakan pengaturan soal kemasan rokok yang berpotensi mengurangi para konsumen rokok terutama bagi perokok pemula.
Ketua Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPRI) Henry Najoan mengungkap selama ini pembatasan merek mempengaruhi penjualan mereka.
Ia bilang sesuai PP 109/2012 produsen produk tembakau diwajibkan mencantumkan peringatan kesehatan bergambar seram sebesar 40% dari kemasan. Selama ini kemasan rokok memuat pesan bahaya merokok disertai dengan ilustrasi, dan jumlah TAR dan Nikotin rokok.
"Sementara sampai saat ini masih 40%. Arahnya nanti menuju plain packaging (kemasan polos) sehingga komposisi brand hanya 10% dari kemasan," kata Henry Najoan dalam acara diskusi para pelaku usaha makanan dan minuman serta industri rokok yang diinisiasi oleh Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) di Jakarta, Rabu (2/10).
Menurutnya, adanya gambar seram sebesar 90% di kemasan rokok justru berpotensi meningkatkan rokok palsu. Hak konsumen untuk memilih produk, tambahnya, juga terbatas. Kemasan rokok polos selama ini sudah berlaku di negara lain seperti Australia.
"Adanya pesan peringatan Kesehatan sebesar 40% di kemasan, secara empiris tidak menurunkan tren penjualan. Tapi penjualan rokok dalam beberapa tahun ini tidak meningkat, bukan karena gambar tapi lebih karena daya beli masyarakat," ucapnya.
Ia mengatakan GAPRI sudah melayangkan surat kepada Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, Pemerintah Keuangan, namun belum ditanggapi. Adanya kebijakan ini akan menjadi rintangan bagi industri rokok setelah tarif cukai juga bakal naik sebesar 20% pada tahun 2020.
"Saya melihat masalah brand restriction dan kenaikan cukai ini merupakan pembatasan konsumsi," kata Henry.
Di tempat yang sama, Sekretaris Umum Apindo Eddy Hussy, menilai tren pembatasan merek dan kemasan dapat membatasi ruang gerak pelaku usaha.
"Risiko-risiko lain bisa muncul, mulai dari pemboncengan reputasi, pemalsuan, produk ilegal, yang ujung-ujungnya akan merusak iklim persaingan usaha," ujarnya.
(hoi/hoi) Next Article Cek Nih, Perkiraan Harga Rokok di 2020 setelah Cukai Naik
Ketua Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPRI) Henry Najoan mengungkap selama ini pembatasan merek mempengaruhi penjualan mereka.
Ia bilang sesuai PP 109/2012 produsen produk tembakau diwajibkan mencantumkan peringatan kesehatan bergambar seram sebesar 40% dari kemasan. Selama ini kemasan rokok memuat pesan bahaya merokok disertai dengan ilustrasi, dan jumlah TAR dan Nikotin rokok.
"Sementara sampai saat ini masih 40%. Arahnya nanti menuju plain packaging (kemasan polos) sehingga komposisi brand hanya 10% dari kemasan," kata Henry Najoan dalam acara diskusi para pelaku usaha makanan dan minuman serta industri rokok yang diinisiasi oleh Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) di Jakarta, Rabu (2/10).
Menurutnya, adanya gambar seram sebesar 90% di kemasan rokok justru berpotensi meningkatkan rokok palsu. Hak konsumen untuk memilih produk, tambahnya, juga terbatas. Kemasan rokok polos selama ini sudah berlaku di negara lain seperti Australia.
"Adanya pesan peringatan Kesehatan sebesar 40% di kemasan, secara empiris tidak menurunkan tren penjualan. Tapi penjualan rokok dalam beberapa tahun ini tidak meningkat, bukan karena gambar tapi lebih karena daya beli masyarakat," ucapnya.
Ia mengatakan GAPRI sudah melayangkan surat kepada Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, Pemerintah Keuangan, namun belum ditanggapi. Adanya kebijakan ini akan menjadi rintangan bagi industri rokok setelah tarif cukai juga bakal naik sebesar 20% pada tahun 2020.
"Saya melihat masalah brand restriction dan kenaikan cukai ini merupakan pembatasan konsumsi," kata Henry.
Di tempat yang sama, Sekretaris Umum Apindo Eddy Hussy, menilai tren pembatasan merek dan kemasan dapat membatasi ruang gerak pelaku usaha.
"Risiko-risiko lain bisa muncul, mulai dari pemboncengan reputasi, pemalsuan, produk ilegal, yang ujung-ujungnya akan merusak iklim persaingan usaha," ujarnya.
(hoi/hoi) Next Article Cek Nih, Perkiraan Harga Rokok di 2020 setelah Cukai Naik
Most Popular