
Penjualan Mobil Anjlok, DP Mobil Turun
Chandra Gian Asmara, CNBC Indonesia
21 September 2019 20:17

Jakarta, CNBC Indonesia - Tahun ini bukan waktu yang baik bagi industri otomotif. Sepanjang tahun berjalan, penjualan mobil di Indonesia seret, ditandai dengan volume penjualan yang anjlok hingga double digit.
Perekonomian Indonesia yang seret, harga komoditas yang anjlok, tingginya bunga kredit serta keyakinan konsumen yang tergerus jadi biang kerok penjualan mobil tahun ini mengalami kontraksi yang cukup dalam.
Volume penjualan mobil Januari. Agustus 2019 tercatat mencapai 660.286 unit. Penjualan tersebut turun 13,5% jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu yang mencapai 763.444 unit. Hingga akhir Desember tahun lalu, penjualan mobil di pasar domestik mencapai 1,1 juta unit.
Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (GAIKINDO) mencatat, volume penjualan mobil tahun ini diprediksi tidak akan mencapai target 1,1 juta unit. Target penjualan mobil memang tidak jauh berbeda dengan capaian tahun 2018.
Penjualan mobil di Indonesia sangat dipengaruhi oleh pertumbuhan ekonomi, arah pergerakan harga komoditas unggulan, tingkat bunga kredit serta keyakinan konsumen yang juga melambat.
Tahun 2019, ekonomi Indonesia diprediksi mentok di angka 5%. Di tengah perlambatan ekonomi global dan isu resesi yang santer terdengar, ekonomi Indonesia masih tumbuh di angka 5%.
Sejak tahun 2014, laju pertumbuhan ekonomi rata-rata Indonesia memang mentok di angka 5%. Bahkan di tahun ini beberapa bank investasi global seperti JP Morgan, Goldman Sachs serta Deutsche Bank lebih pesimistis dalam memprediksi ekonomi Indonesia tumbuh di bawah 5%.
Penurunan permintaan mobil juga dipicu oleh tingginya bunga kredit kepemilikan mobil seiring dengan peningkatan suku bunga yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Sejak 15 November 2018, Bank Indonesia bersikap "hawkish" dengan menaikkan BI-7DRRR 25 bps ke 6%.
Hingga Juni 2019, sikap tersebut tetap di pertahankan bank sentral RI yang menyebabkan biaya kredit mobil jadi membengkak. Hal ini tentu berdampak pada penjualan mobil mengingat 70% penyalurannya melalui kredit. Tingkat suku bunga yang tinggi tentunya akan memberatkan konsumen dalam membeli mobil.
Selain itu untuk daerah yang kaya akan sumber daya alam (SDA) seperti di Kalimantan & Sumatera, penjualan mobil juga sangat dipengaruhi oleh arah pergerakan harga komoditas. Kalimantan & Sumatera merupakan daerah yang kaya akan komoditas sawit dan batu bara.
Pada 2019 jadi tahun ketika dua komoditas tersebut terkoreksi dalam. Harga mingguan komoditas minyak mentah kelapa sawit acuan bursa Malaysia pada kuartal II 2019 sempat mencatatkan harga terendah di US$ 472/ton sejak kuartal III-2015.
Koreksi yang sangat tajam juga dialami oleh komoditas unggulan RI lainnya yaitu batu bara. Dari kuartal IV 2018 hingga kuartal III 2019, harga batu bara anjlok lebih dari 30%. Jadi wajar saja kalau jualan mobil di tahun ini seret.
Bank Indonesia (BI) sebagai otoritas moneter nampaknya memahami betul lesunya penjualan mobil bisa menjadi salah satu indikator utama, bahwa kondisi perekonomian Indonesia perlu dipacu lebih kencang.
BI pun melakukan pelonggaran terhadap kebijakan loan to value (LTV) untuk Kredit Kendaraan Bermotor (KKB) dengan uang muka pembelian kendaraan bermotor yang diturunkan sekitar 5%-10%.
Dengan pelonggaran tersebut, maka uang muka untuk kredit kendaraan bermotor akan jauh lebih murah. Adapun LTV untuk roda dua lebih rendah menjadi 15%-20%, sedangkan roda tiga/lebih (non produktif) 15%-25% dan roda tiga/lebih (produktif) 10%-15%.
"Ketentuan tersebut berlaku efektif sejak 2 Desember 2019," kata Gubernur BI Perry Warjiyo.
Bank sentral pun menjelaskan alasan utama menurunkan batas uang muka kredit kendaraan bermotor. Dengan penurunan ini, diharapkan penyaluran kredit kendaraan bermotor terkerek naik.
"Karenanya, kalau itu naik, investasi naik, konsumsi naik, pertumbuhan ekonomi naik, dan semuanya akan senang. Juga bisa mengantisipasi kalau trade war yang berkepanjangan," ujar Perry.
Dengan demikian, lanjut Perry, momentum pertumbuhan ekonomi bisa terjaga. Sampai akhir tahun 2019 pertumbuhan ekonomi bisa mencapai 5,1%. Bahkan tahun depan diperkirakan bisa meningkat menuju titik tengah 5,3%.
"Semua kebijakan akan diarahkan ke sana, dan akan terus berkoordinasi dengan pemerintah," tuturnya.
Disamping itu, kata dia, kebijakan fiskal yang dilakukan pemerintah juga akan mendorong pertumbuhan ekonomi. Demikian juga berbagai langkah yang ditempuh Presiden Joko Widodo dalam mempermudah investasi.
"Memotong perizinan [investasi], melakukan pengembangan kawasan industri, insentif pajak, dan berbagai insentif semuanya, akan mendorong penanaman modal asing [PMA] maupun penanaman modal dalam negeri [PMDN]. Sehingga investasi tumbuh dan pertumbuhan ekonomi terus naik," jelas Perry.
(hps/hps) Next Article Perang Ukraina Bikin Kacau, Harga Mobil Baru Bisa 'Lompat'
Perekonomian Indonesia yang seret, harga komoditas yang anjlok, tingginya bunga kredit serta keyakinan konsumen yang tergerus jadi biang kerok penjualan mobil tahun ini mengalami kontraksi yang cukup dalam.
Volume penjualan mobil Januari. Agustus 2019 tercatat mencapai 660.286 unit. Penjualan tersebut turun 13,5% jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu yang mencapai 763.444 unit. Hingga akhir Desember tahun lalu, penjualan mobil di pasar domestik mencapai 1,1 juta unit.
Penjualan mobil di Indonesia sangat dipengaruhi oleh pertumbuhan ekonomi, arah pergerakan harga komoditas unggulan, tingkat bunga kredit serta keyakinan konsumen yang juga melambat.
Tahun 2019, ekonomi Indonesia diprediksi mentok di angka 5%. Di tengah perlambatan ekonomi global dan isu resesi yang santer terdengar, ekonomi Indonesia masih tumbuh di angka 5%.
Sejak tahun 2014, laju pertumbuhan ekonomi rata-rata Indonesia memang mentok di angka 5%. Bahkan di tahun ini beberapa bank investasi global seperti JP Morgan, Goldman Sachs serta Deutsche Bank lebih pesimistis dalam memprediksi ekonomi Indonesia tumbuh di bawah 5%.
Penurunan permintaan mobil juga dipicu oleh tingginya bunga kredit kepemilikan mobil seiring dengan peningkatan suku bunga yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Sejak 15 November 2018, Bank Indonesia bersikap "hawkish" dengan menaikkan BI-7DRRR 25 bps ke 6%.
Hingga Juni 2019, sikap tersebut tetap di pertahankan bank sentral RI yang menyebabkan biaya kredit mobil jadi membengkak. Hal ini tentu berdampak pada penjualan mobil mengingat 70% penyalurannya melalui kredit. Tingkat suku bunga yang tinggi tentunya akan memberatkan konsumen dalam membeli mobil.
Selain itu untuk daerah yang kaya akan sumber daya alam (SDA) seperti di Kalimantan & Sumatera, penjualan mobil juga sangat dipengaruhi oleh arah pergerakan harga komoditas. Kalimantan & Sumatera merupakan daerah yang kaya akan komoditas sawit dan batu bara.
Pada 2019 jadi tahun ketika dua komoditas tersebut terkoreksi dalam. Harga mingguan komoditas minyak mentah kelapa sawit acuan bursa Malaysia pada kuartal II 2019 sempat mencatatkan harga terendah di US$ 472/ton sejak kuartal III-2015.
Koreksi yang sangat tajam juga dialami oleh komoditas unggulan RI lainnya yaitu batu bara. Dari kuartal IV 2018 hingga kuartal III 2019, harga batu bara anjlok lebih dari 30%. Jadi wajar saja kalau jualan mobil di tahun ini seret.
Bank Indonesia (BI) sebagai otoritas moneter nampaknya memahami betul lesunya penjualan mobil bisa menjadi salah satu indikator utama, bahwa kondisi perekonomian Indonesia perlu dipacu lebih kencang.
BI pun melakukan pelonggaran terhadap kebijakan loan to value (LTV) untuk Kredit Kendaraan Bermotor (KKB) dengan uang muka pembelian kendaraan bermotor yang diturunkan sekitar 5%-10%.
Dengan pelonggaran tersebut, maka uang muka untuk kredit kendaraan bermotor akan jauh lebih murah. Adapun LTV untuk roda dua lebih rendah menjadi 15%-20%, sedangkan roda tiga/lebih (non produktif) 15%-25% dan roda tiga/lebih (produktif) 10%-15%.
"Ketentuan tersebut berlaku efektif sejak 2 Desember 2019," kata Gubernur BI Perry Warjiyo.
Bank sentral pun menjelaskan alasan utama menurunkan batas uang muka kredit kendaraan bermotor. Dengan penurunan ini, diharapkan penyaluran kredit kendaraan bermotor terkerek naik.
"Karenanya, kalau itu naik, investasi naik, konsumsi naik, pertumbuhan ekonomi naik, dan semuanya akan senang. Juga bisa mengantisipasi kalau trade war yang berkepanjangan," ujar Perry.
Dengan demikian, lanjut Perry, momentum pertumbuhan ekonomi bisa terjaga. Sampai akhir tahun 2019 pertumbuhan ekonomi bisa mencapai 5,1%. Bahkan tahun depan diperkirakan bisa meningkat menuju titik tengah 5,3%.
"Semua kebijakan akan diarahkan ke sana, dan akan terus berkoordinasi dengan pemerintah," tuturnya.
Disamping itu, kata dia, kebijakan fiskal yang dilakukan pemerintah juga akan mendorong pertumbuhan ekonomi. Demikian juga berbagai langkah yang ditempuh Presiden Joko Widodo dalam mempermudah investasi.
"Memotong perizinan [investasi], melakukan pengembangan kawasan industri, insentif pajak, dan berbagai insentif semuanya, akan mendorong penanaman modal asing [PMA] maupun penanaman modal dalam negeri [PMDN]. Sehingga investasi tumbuh dan pertumbuhan ekonomi terus naik," jelas Perry.
(hps/hps) Next Article Perang Ukraina Bikin Kacau, Harga Mobil Baru Bisa 'Lompat'
Most Popular