Apa Salah Jakarta Sampai Ibu Kota Harus Pindah Segala?

Tirta Citradi, CNBC Indonesia
19 September 2019 13:52
Padatnya penduduk, polusi udara, hingga masalah ketidakmerataan kue ekonomi jadi alasan pindahnya ibu kota
Foto: CNBC Indonesia/Muhammad Sabki
Jakarta, CNBC Indonesia - Indonesia bakal punya ibu kota baru di Kalimantan Timur pada 2024. Padatnya penduduk, polusi udara, hingga masalah ketidakmerataan kue ekonomi jadi alasan pindahnya ibu kota

Sebenarnya wacana ibu kota pindah sudah ada sejak tahun 1957. Isu tersebut kembali diwacanakan pada dekade 1980-an kala Orde Baru. Sampai ke masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) isu ini kembali digulirkan.

Memang kenapa ibu kota harus pindah?

Sebagai ibu kota, Jakarta menjadi pusat perekonomian dan menyandang predikat 'pusat segalanya' layaknya lagu Warkop DKI. Dari baju, sampai salju, semua bisa diatur...

Bagaimana tidak? Jakarta adalah pusat perdagangan dan menyumbang 20% Produk Domestik Bruto (PDB) sektor perdagangan. Selain pusat perdagangan, Jakarta juga jadi pusat keuangan, jasa, pendidikan, hingga industri pengolahan.

Kontribusi Jakarta terhadap PDB sektoral terbilang sangat besar. Aktivitas perekonomian yang masih terkonsentrasi di Jakarta membuat cita-cita pemerataan ekonomi sulit terwujud.



Jakarta sebagai pusat pemerintahan dan perekonomian juga menyebabkan tingkat urbanisasi yang sangat tinggi sehingga memicu masalah kependudukan yang juga berdampak ke permasalahan lain. Jakarta tercatat menempati peringkat ke-9 kota terpadat di dunia menurut laporan World Economic Forum (WEF,2017).

Dengan tingkat urbanisasi yang sangat tinggi, kini Jakarta dihuni oleh lebih dari 10 juta penduduk. Jumlah yang sebegitu banyaknya dalam lahan seluas 661,5 km2 bukan tidak menimbulkan berbagai masalah seperti kemacetan tinggi dan kualitas udara yang tidak sehat, risiko terkena banjir yang tinggi, hingga keterbatasan pasokan air dan menurunnya muka tanah.

Jakarta yang identik dengan macet memang menjadi kota termacet ke-7 di dunia dari 403 kota di 56 negara pada 2018 menurut studi yang dilakukan oleh Tomtom. Rasio infrastruktur jalan yang yang rendah (6,2% idealnya 15%) serta jumlah penduduk yang padat membuat macet tak terelakkan dari kehidupan Jakarta sehari-hari. Perhitungan Bank Dunia menyebutkan bahwa kerugian akibat kemacetan ini mencapai Rp 65 triliun/tahun.

Selain macet, penyakit lain yang diderita oleh DKI Jakarta adalah polusi udara yang parah, banjir tahunan dan juga tanah yang turun dan muka air laut yang naik sehingga berpotensi menenggelamkan Jakarta. Sekitar 50% wilayah Jakarta memiliki tingkat keamanan banjir yang rendah.

Penurunan muka air tanah di daerah utara rata-rata 7,5-10 cm/tahun. Tanah turun 35-50 cm dalam kurun waktu 2007-2017.

Titik terparah teramati di wilayah Cengkareng yang turun hingga 69 cm dan Penjaringan-Pluit yang mencapai 94 cm. Muka air laut diprediksi akan naik 25-50 cm di tahun 2050. Dengan laju turunnya air tanah yang cepat dan naiknya permukaan air laut Jakarta diprediksi akan tenggelam.

Selain masalah di atas, keterbatasan suplai air baku juga jadi ancaman serius untuk penduduk Jakarta. Hingga 2018, PDAM hanya melayani 60% rumah tangga Jakarta, 40% warga Jakarta menggunakan sumur bor dan lebih dari 70% rumah tangga Jakarta membeli air minum dalam kemasan.

Jakarta termasuk wilayah dengan tingkat pencemaran air yang tinggi. Tingkat pencemaran sumber air baku sudah berada di level yang mengkhawatirkan.

Sekitar 57% air waduk di Jakarta tercemar berat, 61% air sungai tercemar berat, 12% air tanah tercemar berat dan seluruh air teluk di laut Jakarta tercemar sedang dan berat. Jadi memang kondisinya sudah sangat mengkhawatirkan.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(Tirta Citradi/aji) Next Article Ini Alasan Pemerintah Pindahkan Ibu Kota RI

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular