Saat Sang Presiden RI & Menkeu Meramal Resesi Ekonomi, Ngeri!

Redaksi, CNBC Indonesia
17 September 2019 10:51
Saat Sang Presiden RI & Menkeu Meramal Resesi Ekonomi, Ngeri!
Foto: Presiden Jokowi Pimpin Rapat Terbatas Pengendalian Karhutla (Youtube Setpres)
Jakarta, CNBC Indonesia - Presiden Joko Widodo (Jokowi) menghadiri peresmian pembukaan Musyawarah Nasional XVI Himpunan Pengusaha Muda Indonesia di Hotel Sultan, Jakarta, Senin (16/9/2019). Dalam kesempatan itu, Jokowi kembali mengingatkan bahwa situasi ekonomi dunia saat ini penuh dengan ketidakpastian.

"Perang dagang masih terus berjalan menghantui kita. Tekanan eksternal baik berupa kemungkinan potensi resesi pada 1 tahun hingga 1,5 tahun yang akan datang mulai dihitung-hitung para pakar," ujarnya.

"Dan kita tahu juga beberapa negara bahkan masuk dalam proses resesi ekonomi. Kita harus persiapkan diri agar tidak terkena dampak bahkan dengan situasi seperti itu kita memanfaatkan peluang-peluang yang ada sehingga menguntungkan negara kita," lanjut Jokowi.

Lantas, apakah benar akan terjadi resesi dalam jangka waktu 1 atau 1,5 tahun lagi?

Lembaga Dana Moneter Internasional (IMF) pernah menegaskan bahwa dunia saat ini masih jauh dari resesi, di tengah ketegangan dagang yang bisa membawa pelemahan ekonomi global sebesar 0,8% dari output ekonomi dunia di 2020.

"Ketegangan perdagangan membebani pertumbuhan. Tapi kami benar-benar tidak melihat resesi di garis dasar saat ini. Saya pikir kita jauh dari itu," ujar salah satu pejabat ke Reuters sebagaimana dilansir CNBC Indonesia

Namun, enam dari 10 orang di Amerika ternyata percaya akan kemungkinan resesi di 2020. Hal ini terungkap dari jejak pendapat ABC News/Washington Post terbaru.

Dalam jejak pendapat itu, sebanyak 60% warga Amerika menilai resesi benar akan terjadi tahun depan sementara 35% lainnya tidak percaya. Kekhawatiran akan ketegangan perang dagang juga naik 60% sementara 38% lain menilai ketegangan bakal mereda.

Sementara itu, dalam jejak pendapat yang lebih spesifik, ketidakpercayaan pada Trump dalam menangani ekonomi AS naik 47%, sedangkan 46% lainnya percaya ekonomi bisa baik di tangan Trump.

Profesor Universitas Harvard dan mantan Menteri Keuangan AS Larry Summers bahkan menyebut peluang negeri Paman Sam mengalami resesi sebelum tahun 2021 berada di angka 50%.

"Saya belum pernah mendengar hal seburuk ini sejak krisis keuangan," kata Summers mengenai kondisi ekonomi AS, dalam sebuah wawancara dengan Wall Street Journal.

Summers menyebut ada berbagai alasan yang membuatnya berpandangan demikian. Alasan pertama yaitu kelemahan yang terlihat di sektor manufaktur AS.

Kemudian perang dagang yang berkelanjutan dengan China. Disusul melambatnya pertumbuhan ekonomi global sebagai tantangan utama. Selain itu, angka ketenagakerjaan yang sulit untuk menjadi lebih baik serta kepercayaan konsumen yang terlalu fluktuatif juga cukup mengkhawatirkan.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mencatat setidaknya terdapat dua poin yang perlu dipersiapkan negara dalam mengatasi permasalahan ekonomi di negara ini untuk membuat Indonesia bertahan dari ancaman resesi.

Menurut Sri Mulyani, langkah yang disiapkannya beragam mulai hal struktural utamanya mengenai kebijakan makroekonomi Indonesia.

Apa saja persiapan pemerintah?

"Banyak wartawan yang menanyakan kepada saya, apa yang disiapkan pemerintah dalam menghadapi resesi? Jawaban saya cukup panjang," kata Sri Mulyani di Djakarta Theater, Kamis pekan lalu (12/9/2019).

Dia menjelaskan, langkah yang dilakukannya adalah terus melakukan koordinasi dengan Bank Indonesia (BI) guna mengawasi kebijakan makroprudensial. Sri Mulyani pun mengklaim pemerintah bersama otoritas terkait selalu menggunakan setiap rupiah untuk hal-hal yang bersifatnya fundamental.

Di samping itu, pendalaman pasar keuangan juga dinilai penting untuk terus ditingkatkan. Hingga saat ini, Sri Mulyani menilai pendalaman pasar keuangan di Indonesia masih sangat ketinggalan dengan regional ASEAN.

Dia mencatat, kapitalisasi pasar (Stock Market Capitalization) masih jauh ketinggalan jika dibanding dengan negara-negara peers di kawasan. Kapitalisasi pasar Indonesia masih berada di bawah 50% dibanding produk domestik bruto (gross domestic product/GDP).

Sangat jauh di bawah negara-negara seperti Singapura yang sebesar 200% dari GDP atau Thailand dan Filipina yang sebesar 80%-90% terhadap PDB. Padahal pada kenyataannya GDP Indonesia jauh melebihi negara-negara ini.

Kondisi pasar keuangan yang masih dangkal (shallow) dinilai dia merupakan tantangan untuk meningkatkan perekonomian. Sehingga pendalaman pasar ini dinilai penting untuk terus ditingkatkan.

"Kalau hanya mengandalkan macro-policy, kita tidak mampu menyelesaikan masalah fundamental. Sektor keuangan diukur dari jumlah tabungan to GDP, bonds value to GDP. Indonesia financial sector masih terbatas dan belum dalam," imbuhnya.

Hal lainnya yang juga perlu ditingkatkan adalah literasi keuangan Indonesia. Menurut dia, masyarakat tak hanya harus sadar dengan adanya instrumen-instrumen investasi namun juga mulai untuk membeli obligasi, saham atau tabungan.
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular