
Ekspor Nikel Disetop, Langkah Mulia yang Mengundang Tanya
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
02 September 2019 15:05

Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah Indonesia mengumumkan pelarangan ekspor nikel mentah untuk berbagai kadar. Langkah ini patut mendapat apresiasi, meski ikut mengundang pertanyaan.
"Kami sudah tanda tangan Permen ESDM yang intinya penghentian untuk insentif ekspor nikel bagi pembangunan smelter per tanggal 1 Januari 2020. Alasannya adalah karena untuk menjaga cadangan dan juga mempertimbangkan banyaknya smelter nikel yang mulai beroperasi di Indonesia. Atas dasar tersebut segala sesuatu yang berhubungan dengan nikel ekspor raw material akan berakhir pada 31 Desember 2019," ungkap Bambang Gatot, Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM, Senin (2/9/2019).
Larangan ekspor mineral mentah tidak sekonyong-konyong koder. Dalam UU No 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba) pasal 102 disebutkan bahwa pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Izin Usaha Pertambahan Khusus (IUPK) wajib meningkatkan nilai tambah sumber daya mineral dan/atau batu bara dalam melaksanakan penambangan, pengolahan, dan pemurnian serta pemanfaatan mineral dan batu bara.
Tujuan aturan ini sangat mulia, yaitu menikmati nilai tambah dari kekayaan alam Indonesia. Jangan lagi Indonesia menjual 'Tanah Air'. Main keruk itu tanah, langsung dijual. Indonesia harus menikmati nilai tambah dengan cara mengembangkan industri pengolahan.
Baca: Menjual 'Tanah Air' Demi Menyelamatkan Rupiah
Menurut kajian pemerintah, mengolah nikel menjadi feronikel akan menaikkan nilainya menjadi setidaknya enam kali lipat. Saat ini, harga nikel berada di US$ 18.004/metrik ton.
Hitungan bodoh-bodohan, enam kali lipat dari angka tersebut adalah US$ 108.024/metrik ton. Dengan kurs saat ini, nilainya mencapai Rp 1,53 miliar.
Menurut catatan Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), cadangan nikel domestik mencapai 9 miliar metrik ton. Jika 1 metrik ton feronikel bisa mendatangkan duit Rp 1,53 miliar, berapa coba kalau 9 juta metrik ton? Banyak sekali...
Tidak cuma mendatangkan duit yang lebih banyak, industri pengolahan nikel juga menyerap tenaga kerja. Contohnya pembangunan smelter nikel di Sulawesi Tenggara. Kementerian ESDM mencatat, smelter tersebut membuka 19.102 lapangan kerja. Pada 2016, jumlahnya naik menjadi 40.773 dan pada 2017 melonjak menjadi 65.440.
Kemudian, pasokan nikel di dalam negeri bisa menjadi modal pembangunan industri manufaktur. Apalagi pemerintah sedang gencar menggenjot industri kendaraan listrik. Nikel adalah bahan baku penting dalam pembuatan baterai.
Baca: Ini Permintaan Pengusaha Soal Program Mobil Listrik Jokowi
Oleh karena itu, tujuan pelarangan ekspor dan memanfaatkan produksi nikel untuk diolah di dalam negeri memang mulia. Pertanyaannya, apakah kita siap mengolahnya di dalam negeri?
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Kementerian ESDM mencatat kapasitas produksi smelter nikel pada tahun ini mencapai 319.222 ton nikel. Sementara kebutuhan dalam negeri masih sangat timpang, hanya sekitar 30.000 ton nikel.
Pasokan yang berlebih membuat harga nikel terancam turun. Akibatnya, investasi membangun smelter menjadi kurang menguntungkan.
Nikel yang sudah diolah memang boleh diekspor, tetapi ini juga tidak mudah. Saat ini, pengguna nikel terbesar adalah industri besi tahan karat alias stainless steel. Sekitar 70% produksi nikel dunia terserap di industri ini.
Mengutip data International Stainless Steel Forum, China adalah produsen stainless steel terbesar di dunia. Pada 2018, China menyumbang 52,6% dari pasokan stainless steel global.
"Permintaan stainless steel sepertinya tidak terlalu kuat tahun ini. China telah menerapkan bea masuk anti-dumping untuk impor stainless steel, sehingga produsen lain seperti Indonesia harus mencari pasar yang baru.
"Pasar akan lebih seimbang tahun ini, tidak ada lagi defisit yang terlalu dalam karena perang dagang membayangi pertumbuhan permintaan. Kami memperkirakan rata-rata harga nikel tahun ini di US$ 12.300/metrik ton," papar Andrew Mitchell, Analis Wood McKenzie.
Sebenarnya neraca nikel dunia masih defisit, sehingga membuka peluang kenaikan harga. Namun defisit tersebut diperkirakan menipis sehingga prospek kenaikan harga menjadi lebih terbatas.
Kajian dari Roskill, seperti dikutip dari Reuters, memperkirakan produksi nickel pig iron (NPI) tahun ini naik 200.000 ton. Ini membuat neraca nikel defisit 50.000 ton, turun dibandingkan perkiraan sebelumnya yaitu minus 150.000 ton.
Jadi untuk mengekspor juga sebenarnya sedang tidak mudah. Pasokan dunia sedang tinggi, yang membuat harga nikel kurang seksi.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/gub) Next Article Tekad Jokowi: Setop Ekspor Raw Material, Titik!
"Kami sudah tanda tangan Permen ESDM yang intinya penghentian untuk insentif ekspor nikel bagi pembangunan smelter per tanggal 1 Januari 2020. Alasannya adalah karena untuk menjaga cadangan dan juga mempertimbangkan banyaknya smelter nikel yang mulai beroperasi di Indonesia. Atas dasar tersebut segala sesuatu yang berhubungan dengan nikel ekspor raw material akan berakhir pada 31 Desember 2019," ungkap Bambang Gatot, Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM, Senin (2/9/2019).
Larangan ekspor mineral mentah tidak sekonyong-konyong koder. Dalam UU No 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba) pasal 102 disebutkan bahwa pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Izin Usaha Pertambahan Khusus (IUPK) wajib meningkatkan nilai tambah sumber daya mineral dan/atau batu bara dalam melaksanakan penambangan, pengolahan, dan pemurnian serta pemanfaatan mineral dan batu bara.
Baca: Menjual 'Tanah Air' Demi Menyelamatkan Rupiah
Menurut kajian pemerintah, mengolah nikel menjadi feronikel akan menaikkan nilainya menjadi setidaknya enam kali lipat. Saat ini, harga nikel berada di US$ 18.004/metrik ton.
Hitungan bodoh-bodohan, enam kali lipat dari angka tersebut adalah US$ 108.024/metrik ton. Dengan kurs saat ini, nilainya mencapai Rp 1,53 miliar.
Menurut catatan Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), cadangan nikel domestik mencapai 9 miliar metrik ton. Jika 1 metrik ton feronikel bisa mendatangkan duit Rp 1,53 miliar, berapa coba kalau 9 juta metrik ton? Banyak sekali...
Tidak cuma mendatangkan duit yang lebih banyak, industri pengolahan nikel juga menyerap tenaga kerja. Contohnya pembangunan smelter nikel di Sulawesi Tenggara. Kementerian ESDM mencatat, smelter tersebut membuka 19.102 lapangan kerja. Pada 2016, jumlahnya naik menjadi 40.773 dan pada 2017 melonjak menjadi 65.440.
Kemudian, pasokan nikel di dalam negeri bisa menjadi modal pembangunan industri manufaktur. Apalagi pemerintah sedang gencar menggenjot industri kendaraan listrik. Nikel adalah bahan baku penting dalam pembuatan baterai.
Baca: Ini Permintaan Pengusaha Soal Program Mobil Listrik Jokowi
Oleh karena itu, tujuan pelarangan ekspor dan memanfaatkan produksi nikel untuk diolah di dalam negeri memang mulia. Pertanyaannya, apakah kita siap mengolahnya di dalam negeri?
![]() |
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Kementerian ESDM mencatat kapasitas produksi smelter nikel pada tahun ini mencapai 319.222 ton nikel. Sementara kebutuhan dalam negeri masih sangat timpang, hanya sekitar 30.000 ton nikel.
Pasokan yang berlebih membuat harga nikel terancam turun. Akibatnya, investasi membangun smelter menjadi kurang menguntungkan.
Nikel yang sudah diolah memang boleh diekspor, tetapi ini juga tidak mudah. Saat ini, pengguna nikel terbesar adalah industri besi tahan karat alias stainless steel. Sekitar 70% produksi nikel dunia terserap di industri ini.
Mengutip data International Stainless Steel Forum, China adalah produsen stainless steel terbesar di dunia. Pada 2018, China menyumbang 52,6% dari pasokan stainless steel global.
![]() |
"Permintaan stainless steel sepertinya tidak terlalu kuat tahun ini. China telah menerapkan bea masuk anti-dumping untuk impor stainless steel, sehingga produsen lain seperti Indonesia harus mencari pasar yang baru.
"Pasar akan lebih seimbang tahun ini, tidak ada lagi defisit yang terlalu dalam karena perang dagang membayangi pertumbuhan permintaan. Kami memperkirakan rata-rata harga nikel tahun ini di US$ 12.300/metrik ton," papar Andrew Mitchell, Analis Wood McKenzie.
Sebenarnya neraca nikel dunia masih defisit, sehingga membuka peluang kenaikan harga. Namun defisit tersebut diperkirakan menipis sehingga prospek kenaikan harga menjadi lebih terbatas.
Kajian dari Roskill, seperti dikutip dari Reuters, memperkirakan produksi nickel pig iron (NPI) tahun ini naik 200.000 ton. Ini membuat neraca nikel defisit 50.000 ton, turun dibandingkan perkiraan sebelumnya yaitu minus 150.000 ton.
Jadi untuk mengekspor juga sebenarnya sedang tidak mudah. Pasokan dunia sedang tinggi, yang membuat harga nikel kurang seksi.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/gub) Next Article Tekad Jokowi: Setop Ekspor Raw Material, Titik!
Most Popular