
Jokowi Sebut Jangan Kufur Nikmat PDB Tumbuh 5%, Tapi Pak...
Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
23 August 2019 14:18

Jakarta, CNBC Indonesia - Nikmat tuhan memang patut untuk kita syukuri, walau sekecil apapun itu.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) pun sependapat akan hal itu. Bahkan Jokowi menghimbau masyarakat untuk bersyukur atas nikmatnya pertumbuhan ekonomi Indonesia yang di atas 5%.
"Setiap waktu tantangan berbeda-beda, ada tim ekonomi baru dan tetap itu tantangannya berbeda. Saya sangat bersyukur, karena negara lain pertumbuhan ekonominya turun bahkan minus, kalau kita tidak bersyukur ekonomi tumbuh di atas 5% namanya kufur nikmat. Bagaimana sih kita ini, coba lihat tetangga-tetangga yang di dekat kita," ujar Jokowi saat ditemui CNBC Indonesia dan detikcom di Istana Bogor, Kamis (22/8/2019).
Memang benar, perekonomian global saat ini sedang dirundung masalah. Perang dagang Amerika Serikat (AS)-China yang tak kunjung kelar membuat rantai pasokan global terhambat. Alhasil, kinerja ekspor berbagai negara kian tertekan dan menghambat pertumbuhan ekonomi.
Pada kuartal II-2019, ekspor Indonesia terkontraksi sebesar 1,81% secara tahunan (year-on-year/YoY). Sementara Singapura yang notabene merupakan negara yang hidup dari perdagangan mengalami kontraksi ekspor sebesar 14,5% YoY pada periode yang sama.
Di lain pihak, Bank Dunia (World Bank/WB) memperkirakan arus perdagangan dunia tahun ini hanya tumbuh sebesar 2,6%, laju paling lambat sejak krisis keuangan global tahun 2008.
Bank Dunia juga memperkirakan ekonomi dunia tumbuh 2,6% tahun ini, sementara Dana Moneter Internasional (IMF) punya proyeksi sedikit lebih optimistis yaitu 3,3%.
Perlambatan ekonomi juga menyerang kawasan Asia Tenggara.
Singapura boleh dibilang menjadi negara yang paling terpukul. Terlihat dari angka pertumbuhan ekonomi Semester I-2019 yang hanya sebesar 0,6% YoY. Jauh melambat dari tahun sebelumnya (semester I-2018) yang masih bisa 4,2% YoY.
Thailand juga terpukul cukup jauh, dimana pertumbuhan PDB di semester I-2019 anjlok ke level 2,6% YoY. Jauh lebih rendah dibanding tahun sebelumnya sebesar 3,95% YoY.
Sementara pertumbuhan ekonomi Indonesia di semester I-2019 sebesar 5,06%, melambat dari tahun sebelumnya yang masih 5,22% YoY.
Yah, memang harus disyukuri karena perlambatan ekonomi Indonesia tidak separah Singapura dan Thailand.
Akan tetapi tetap saja. Puas terlalu cepat itu juga tidak bisa dibenarkan.
Pasalnya masih ada negara ASEAN yang nyatanya masih bisa membukukan pertumbuhan ekonomi lebih pesat dibanding Indonesia.
Contohnya Vietnam, yang mana ekonominya masih bisa tumbuh 6,76% YoY di semester I-2019. Filipina juga masih bisa berada di atas Indonesia, yaitu sebesar 5,5% YoY.
Artinya, perlambatan ekonomi jangan dijadikan alasan untuk berpasrah diri. Karena nyatanya masih ada daya dan usaha yang bisa dilakukan untuk bertahan lebih baik dari gejolak eksternal.
Gejolak eksternal tidak bisa dikendalikan. Mungkin ke depan masih akan datang permasalahan ekonomi global baru yang lebih menantang.
Industri Adalah Kunci
Kunci utama yang membuat Vietnam dapat menggenjot pertumbuhan ekonomi kala faktor eksternal tak mendukung adalah industrialisasi yang pesat.
Sepanjang periode 2014-2018, andil industri manufaktur dalam PDB Vietnam mengalami peningkatan, dari 13,18% menjadi 16,02%. Itu menjadi indikator kuat bahwa pertumbuhan industri manufaktur di Vietnam sangat pesat, bahkan mengalahkan sektor-sektor lain secara keseluruhan.
Sedangkan di Indonesia, porsi manufaktur terhadap PDB turun dari 21,08% menjadi 19,86% di periode yang sama.
Perbedaan kinerja manufaktur Indonesia dan Vietnam juga tercermin dari komoditas ekspor masing-masing negara
Lihat saja komoditas ekspor utama Vietnam. Berdasarkan data dari International Trade Centre (ITC), dua komoditas ekspor utama Vietnam adalah golongan barang HS 85 (Mesin/Peralatan Listrik) dan HS 64 (Alas Kaki).
Bahkan nilai ekspor Vietnam untuk golongan HS 85, yang notabene merupakan mesin-mesin yang memiliki nilai tambah cukup tinggi, mencapai US$ 117,2 miliar atau 40% dari total ekspor di tahun yang sama.
Indonesia punya cerita lain. Data BPS mencatat dua komoditas ekspor utama Indonesia adalah golongan barang HS 27 (Bahan Bakar Mineral) dan HS 15 (Lemak dan Minyak Hewan/Nabati).
Perlu diketahui bahwa sebagian besar barang HS 27 Indonesia adalah batu bara, sementara HS 15 adalah minyak kelapa sawit. Bila ditotal, nilai ekspor kedua barang tersebut mencapai US$ 44 miliar atau hampir 30% dari total ekspor di tahun 2018.
Dari perbandingan-perbandingan tersebut bisa dilihat bahwa kinerja ekspor negara yang memiliki kekuatan manufaktur yang mumpuni akan lebih tahan terhadap gejolak eksternal.
Hal itu disebabkan oleh harga barang-barang manufaktur yang relatif stabil karena punya nilai keunggulan kompetitif. Sementara komoditas mentah yang hanya punya keunggulan komparatif, harganya akan sangat mudah terombang-ambing karena faktor eksternal.
Bersyukur itu harus. Namun juga jangan terlena. Karena pada akhirnya nasib suatu kaum tidak akan berubah sampai kaum itu sendiri yang mengubah apa yang ada pada dirinya.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(taa/dru) Next Article Duh! IMF Pangkas Pertumbuhan Ekonomi Dunia Jadi 3%
Presiden Joko Widodo (Jokowi) pun sependapat akan hal itu. Bahkan Jokowi menghimbau masyarakat untuk bersyukur atas nikmatnya pertumbuhan ekonomi Indonesia yang di atas 5%.
"Setiap waktu tantangan berbeda-beda, ada tim ekonomi baru dan tetap itu tantangannya berbeda. Saya sangat bersyukur, karena negara lain pertumbuhan ekonominya turun bahkan minus, kalau kita tidak bersyukur ekonomi tumbuh di atas 5% namanya kufur nikmat. Bagaimana sih kita ini, coba lihat tetangga-tetangga yang di dekat kita," ujar Jokowi saat ditemui CNBC Indonesia dan detikcom di Istana Bogor, Kamis (22/8/2019).
Pada kuartal II-2019, ekspor Indonesia terkontraksi sebesar 1,81% secara tahunan (year-on-year/YoY). Sementara Singapura yang notabene merupakan negara yang hidup dari perdagangan mengalami kontraksi ekspor sebesar 14,5% YoY pada periode yang sama.
Di lain pihak, Bank Dunia (World Bank/WB) memperkirakan arus perdagangan dunia tahun ini hanya tumbuh sebesar 2,6%, laju paling lambat sejak krisis keuangan global tahun 2008.
Bank Dunia juga memperkirakan ekonomi dunia tumbuh 2,6% tahun ini, sementara Dana Moneter Internasional (IMF) punya proyeksi sedikit lebih optimistis yaitu 3,3%.
Perlambatan ekonomi juga menyerang kawasan Asia Tenggara.
Singapura boleh dibilang menjadi negara yang paling terpukul. Terlihat dari angka pertumbuhan ekonomi Semester I-2019 yang hanya sebesar 0,6% YoY. Jauh melambat dari tahun sebelumnya (semester I-2018) yang masih bisa 4,2% YoY.
Thailand juga terpukul cukup jauh, dimana pertumbuhan PDB di semester I-2019 anjlok ke level 2,6% YoY. Jauh lebih rendah dibanding tahun sebelumnya sebesar 3,95% YoY.
Sementara pertumbuhan ekonomi Indonesia di semester I-2019 sebesar 5,06%, melambat dari tahun sebelumnya yang masih 5,22% YoY.
Yah, memang harus disyukuri karena perlambatan ekonomi Indonesia tidak separah Singapura dan Thailand.
Akan tetapi tetap saja. Puas terlalu cepat itu juga tidak bisa dibenarkan.
Pasalnya masih ada negara ASEAN yang nyatanya masih bisa membukukan pertumbuhan ekonomi lebih pesat dibanding Indonesia.
Contohnya Vietnam, yang mana ekonominya masih bisa tumbuh 6,76% YoY di semester I-2019. Filipina juga masih bisa berada di atas Indonesia, yaitu sebesar 5,5% YoY.
Artinya, perlambatan ekonomi jangan dijadikan alasan untuk berpasrah diri. Karena nyatanya masih ada daya dan usaha yang bisa dilakukan untuk bertahan lebih baik dari gejolak eksternal.
Gejolak eksternal tidak bisa dikendalikan. Mungkin ke depan masih akan datang permasalahan ekonomi global baru yang lebih menantang.
Industri Adalah Kunci
Kunci utama yang membuat Vietnam dapat menggenjot pertumbuhan ekonomi kala faktor eksternal tak mendukung adalah industrialisasi yang pesat.
Sepanjang periode 2014-2018, andil industri manufaktur dalam PDB Vietnam mengalami peningkatan, dari 13,18% menjadi 16,02%. Itu menjadi indikator kuat bahwa pertumbuhan industri manufaktur di Vietnam sangat pesat, bahkan mengalahkan sektor-sektor lain secara keseluruhan.
Sedangkan di Indonesia, porsi manufaktur terhadap PDB turun dari 21,08% menjadi 19,86% di periode yang sama.
Perbedaan kinerja manufaktur Indonesia dan Vietnam juga tercermin dari komoditas ekspor masing-masing negara
Lihat saja komoditas ekspor utama Vietnam. Berdasarkan data dari International Trade Centre (ITC), dua komoditas ekspor utama Vietnam adalah golongan barang HS 85 (Mesin/Peralatan Listrik) dan HS 64 (Alas Kaki).
Bahkan nilai ekspor Vietnam untuk golongan HS 85, yang notabene merupakan mesin-mesin yang memiliki nilai tambah cukup tinggi, mencapai US$ 117,2 miliar atau 40% dari total ekspor di tahun yang sama.
Indonesia punya cerita lain. Data BPS mencatat dua komoditas ekspor utama Indonesia adalah golongan barang HS 27 (Bahan Bakar Mineral) dan HS 15 (Lemak dan Minyak Hewan/Nabati).
Perlu diketahui bahwa sebagian besar barang HS 27 Indonesia adalah batu bara, sementara HS 15 adalah minyak kelapa sawit. Bila ditotal, nilai ekspor kedua barang tersebut mencapai US$ 44 miliar atau hampir 30% dari total ekspor di tahun 2018.
Dari perbandingan-perbandingan tersebut bisa dilihat bahwa kinerja ekspor negara yang memiliki kekuatan manufaktur yang mumpuni akan lebih tahan terhadap gejolak eksternal.
Hal itu disebabkan oleh harga barang-barang manufaktur yang relatif stabil karena punya nilai keunggulan kompetitif. Sementara komoditas mentah yang hanya punya keunggulan komparatif, harganya akan sangat mudah terombang-ambing karena faktor eksternal.
Bersyukur itu harus. Namun juga jangan terlena. Karena pada akhirnya nasib suatu kaum tidak akan berubah sampai kaum itu sendiri yang mengubah apa yang ada pada dirinya.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(taa/dru) Next Article Duh! IMF Pangkas Pertumbuhan Ekonomi Dunia Jadi 3%
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular