
Siap-Siap, Resesi Terjadi Tahun 2020 atau 2021
Rehia Sebayang, CNBC Indonesia
19 August 2019 13:27

Jakarta, CNBC Indonesia - Sebagian besar ekonom dunia percaya resesi akan terjadi. Namun, tidak dalam waktu dekat.
Hal ini terlihat dari hasil survei Asosiasi Nasional untuk Ekonom Bisnis (NABE) yang dirilis pada hari Senin (19/8/29). Mayoritas ekonom memproyeksikan resesi kemungkinan besar akan terjadi 2020 atau 2021.
"Sekarang hanya ada 2% dari 226 responden yang memproyeksikan resesi terjadi tahun ini, dibandingkan dengan 10% dalam survei Februari," tulis laporan NABE sebagaimana dilansir dari Agence France-Presse (AFP), Senin (19/8/2019).
Alasan sebagian besar ekonom adalah karena semakin banyak stimulus dan perubahan kebijakan yang dibuat. Stimulus itu antara lain penurunan suku bunga oleh Bank Sentral Amerika Serikat (AS) The Federal Reserve.
"Responden survei menunjukkan bahwa peningkatan (risiko resesi) akan tertunda karena perubahan kebijakan moneter," kata Presiden NABE Constance Hunter, yang juga merupakan kepala ekonom sebuah lembaga jasa keuangan.
Sebelumnya, Presiden AS Donald Trump secara terus-menerus menyerang Fed. Ia menuntut lebih banyak stimulus untuk dilakukan oleh lembaga yang dipimpin oleh Jeremy Powell itu.
Para ekonom mengatakan The Fed sudah mengirimkan sinyal kuat bahwa pihaknya akan menghentikan kenaikan suku karena berbagai kekhawatiran. Termasuk perang dagang AS dengan China, mulai mempengaruhi prospek ekonomi. The Fed baru memangkas suku bunga acuan pada 31 Juli lalu.
Namun begitu, Hunter menyebut para ekonom masih memperdebatkan apakah resesi akan berlangsung pada 2020 atau 2021. Dalam ringkasan surveinya, Hunter menyebut ada 38 ekonom yang mengatakan resesi akan terjadi tahun depan dan 34% yang mengatakan resesi akan terjadi pada 2021.
Selain itu, dalam laporan disebutkan ada sebanyak 46% ekonom memproyeksikan The Fed akan memangkas suku bunga sebanyak satu kali lagi tahun ini. Sementara sekitar 1/3 ekonom mengatakan pemotongan suku bunga tidak akan terjadi lagi atau tetap di 2,5% sebagai ujung tertinggi proyeksi kebijakan.
Para ekonom juga menyatakan ragu hubungan dagang AS-China akan membaik, meski ada sebanyak 64% ekonom yang percaya kesepakatan dagang akan dicapai segera.
Namun, hasil itu diambil sebelum Trump mengancam untuk menerapkan tarif 10% untuk US$ 300 miliar barang China yang belum dikenai tarif. Awalnya tarif baru itu akan berlaku pada 1 September, namun Trump baru-baru ini mengumumkan menundanya hingga 15 Desember.
Trump juga menyalahkan The Fed atas keadaan yang menimpa AS, di mana perkiraan AS akan terjerat dalam resesi semakin meningkat. Namun, sebanyak 55% ekonom yang disurvei NABE mengatakan bahwa kritik pedas Trump tidak akan mempengaruhi keputusan The Fed. Hal itu hanya memicu masalah kepercayaan publik kepada The Fed.
Tetapi, ada sebanyak 25% lebih ekonom yang merasa kritik Trump akan membuat The Fed menjadi dovish dan mengancam indenpendensi bank sentral itu.
Lebih lanjut, ekonom yang disurvei mengenai kebijakan fiskal AS, mengatakan pemotongan pajak Trump memiliki dampak negatif secara keseluruhan pada aktivitas di sektor perumahan selama 18 bulan terakhir. Ini terjadi karena adanya perubahan dalam jumlah pengurangan yang diizinkan untuk bunga hipotek.
[Gambas:Video CNBC]
(sef/sef) Next Article Jepang Resesi, Bukan Ekonomi Terbesar ke-3 Dunia Lagi!
Hal ini terlihat dari hasil survei Asosiasi Nasional untuk Ekonom Bisnis (NABE) yang dirilis pada hari Senin (19/8/29). Mayoritas ekonom memproyeksikan resesi kemungkinan besar akan terjadi 2020 atau 2021.
"Sekarang hanya ada 2% dari 226 responden yang memproyeksikan resesi terjadi tahun ini, dibandingkan dengan 10% dalam survei Februari," tulis laporan NABE sebagaimana dilansir dari Agence France-Presse (AFP), Senin (19/8/2019).
Alasan sebagian besar ekonom adalah karena semakin banyak stimulus dan perubahan kebijakan yang dibuat. Stimulus itu antara lain penurunan suku bunga oleh Bank Sentral Amerika Serikat (AS) The Federal Reserve.
"Responden survei menunjukkan bahwa peningkatan (risiko resesi) akan tertunda karena perubahan kebijakan moneter," kata Presiden NABE Constance Hunter, yang juga merupakan kepala ekonom sebuah lembaga jasa keuangan.
Sebelumnya, Presiden AS Donald Trump secara terus-menerus menyerang Fed. Ia menuntut lebih banyak stimulus untuk dilakukan oleh lembaga yang dipimpin oleh Jeremy Powell itu.
Para ekonom mengatakan The Fed sudah mengirimkan sinyal kuat bahwa pihaknya akan menghentikan kenaikan suku karena berbagai kekhawatiran. Termasuk perang dagang AS dengan China, mulai mempengaruhi prospek ekonomi. The Fed baru memangkas suku bunga acuan pada 31 Juli lalu.
Namun begitu, Hunter menyebut para ekonom masih memperdebatkan apakah resesi akan berlangsung pada 2020 atau 2021. Dalam ringkasan surveinya, Hunter menyebut ada 38 ekonom yang mengatakan resesi akan terjadi tahun depan dan 34% yang mengatakan resesi akan terjadi pada 2021.
Selain itu, dalam laporan disebutkan ada sebanyak 46% ekonom memproyeksikan The Fed akan memangkas suku bunga sebanyak satu kali lagi tahun ini. Sementara sekitar 1/3 ekonom mengatakan pemotongan suku bunga tidak akan terjadi lagi atau tetap di 2,5% sebagai ujung tertinggi proyeksi kebijakan.
Para ekonom juga menyatakan ragu hubungan dagang AS-China akan membaik, meski ada sebanyak 64% ekonom yang percaya kesepakatan dagang akan dicapai segera.
Namun, hasil itu diambil sebelum Trump mengancam untuk menerapkan tarif 10% untuk US$ 300 miliar barang China yang belum dikenai tarif. Awalnya tarif baru itu akan berlaku pada 1 September, namun Trump baru-baru ini mengumumkan menundanya hingga 15 Desember.
Trump juga menyalahkan The Fed atas keadaan yang menimpa AS, di mana perkiraan AS akan terjerat dalam resesi semakin meningkat. Namun, sebanyak 55% ekonom yang disurvei NABE mengatakan bahwa kritik pedas Trump tidak akan mempengaruhi keputusan The Fed. Hal itu hanya memicu masalah kepercayaan publik kepada The Fed.
Tetapi, ada sebanyak 25% lebih ekonom yang merasa kritik Trump akan membuat The Fed menjadi dovish dan mengancam indenpendensi bank sentral itu.
Lebih lanjut, ekonom yang disurvei mengenai kebijakan fiskal AS, mengatakan pemotongan pajak Trump memiliki dampak negatif secara keseluruhan pada aktivitas di sektor perumahan selama 18 bulan terakhir. Ini terjadi karena adanya perubahan dalam jumlah pengurangan yang diizinkan untuk bunga hipotek.
[Gambas:Video CNBC]
(sef/sef) Next Article Jepang Resesi, Bukan Ekonomi Terbesar ke-3 Dunia Lagi!
Most Popular