Waspada! McKinsey Ingatkan Risiko Terulangnya Krisis Asia

Arif Gunawan, CNBC Indonesia
13 August 2019 20:46
McKinsey mengingatkan Asia mewaspadai risiko terulangnya krisis 1997 menyusul tingginya utang asing, terutama di tengah perang dagang.
Foto: AFTECH berkolaborasi dengan McKinsey & Company akan mengadakan Media Briefing Peluncuran Laporan Tren Terbaru Perbankan Digital di Asia (CNBC Indonesia/Yanurisa Ananta)
Jakarta, CNBC Indonesia - Firma konsultan global McKinsey & Company mengingatkan negara-negara Asia untuk mewaspadai risiko terulangnya krisis 1997 menyusul tingginya tingkat utang asing, terutama di tengah perang dagang yang berkecamuk antara Amerika Serikat (AS) dan China.

Dalam laporan berjudul "Signs of Stress in The Asian Financial System", perusahaan konsultan keuangan global ini menemukan bahwa 25% utang swasta valas jangka panjang di Indonesia memiliki rasio penutupan bunga (interest coverage ratio/ICR) kurang dari 1,5 kali.

Posisi tersebut terhitung rawan karena perseroan menggunakan mayoritas labanya untuk membayar utang. Indonesia berada di dalamnya bersama Australia, China, Hong Kong, dan India. Utang itu kebanyakan berasal dari sektor utilitas (pembangkit listrik dan jalan tol), dengan porsi 62%. Sektor energi dan bahan mentah menyusul dengan porsi 11% dan 10%.

"Kini, media keuangan dan pengamat bertanya-tanya apakah kenaikan tingkat utang di Asia bisa memicu krisis yang baru. Sayangnya, tanda-tandanya terlihat mengancam, dan kesehatan sektor keuangan dan sektor riil sedang memburuk," tulis tulis Senior Partner McKinsey Joydeep Sengupta dan Archana Seshadrinathan dalam laporan bertanggal Juli 2019 yang baru meruak ke publik belakangan ini.

McKinsey mengingatkan sektor utilitas di India dan Indonesia berpotensi memicu persoalan karena kemampuan mereka untuk membalik kinerja dan membayar kembali utangnya tidaklah mudah. "Perlu kerja-sama berbagai pemangku kepentingan-regulator, konsumer, pemerintah daerah dan pusat, dan perusahaan itu sendiri-sehingga upaya pemulihan menjadi tak mudah."

Bersamaan dengan itu, dampak buruk tingkat utang korporasi dan utang rumah tangga yang tinggi terlihat di Indonesia, bersama dengan China, India, dan Thailand. Bahkan, tingkat utang Indonesia yang berdenominasi dolar Amerika Serikat (AS) mencapai 50% dari porsi utang yang ada, atau jauh di atas rata-rata kawasan sebesar 25%.

McKinsey melakukan asesmen terhadap neraca keuangan 12.000 perusahaan di 11 negara Asia Pasifik pada kurun waktu 2007-2017. Analisis difokuskan pada porsi utang jangka panjang korporasi dengan ICR kurang dari 1,5 kali.

Meski kualitas aliran dana global (inflow) yang masuk ke Asia membaik, dengan porsi penanaman modal asing langsung (foreign direct investment/FDI) meningkat dari 27% (2007) menjadi 38% (2018), pemerintah harus mencermati fakta bahwa lebih dari 40% inflow itu berupa utang valas. Jika tidak dimanajemen dengan baik, bisa muncul persoalan seperti pada tahun 1997.

"Ada beberapa pemicu yang bisa memacu risiko di Asia. Pemangku kepentingan harus ketat memonitor tren suku bunga, dan perkembangan ekonomi global, terutama di tengah eskalasi perang dagang antara AS dan China, serta tensi geopolitik yang bisa mengganggu laba bersih korporasi dan rumah tangga di Asia, mempertinggi tingkat kerentanan Kawasan," tulis Joydep.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(ags/ags) Next Article Sri Mulyani: Kesetaraan Gender Bikin Dunia Untung US$ 12 T

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular