
Ini Alasan McKinsey Sebut Peran RI Jadikan ASEAN Motor Dunia
Arif Gunawan, CNBC Indonesia
16 July 2019 18:55

Jakarta, CNBC Indonesia - Perusahaan Jasa Konsultan global McKinsey menilai Kawasan Asia Tenggara bakal menjadi salah satu motor penting pertumbuhan ekonomi dunia, menyusul kuatnya pertumbuhan arus barang dan jasa, jaringan, korporasi global, dan kelas konsumen.
McKinsey memproyeksikan bahwa kawasan tersebut akan mendorong pertumbuhan konsumsi dunia dalam 10 tahun ke depan, dan menyumbang lebih dari separuh dari pertumbuhan konsumsi masyarakat dunia.
"Kawasan Asia Tenggara sendiri memiliki 80 juta rumah tangga di kelas konsumen beberapa tahun lalu. Angka tersebut sekarang mengarah untuk naik menjadi 163 juta rumah tangga pada 2030, dengan Indonesia, khususnya menyumbang puluhan juta konsumen baru yang kaya," tulis perusahaan konsultan global tersebut dalam laporan berjudul "Asia's Future is Now."
Indonesia dinilai memiliki posisi sentral untuk mencetak orang kaya baru (OKB) yang menggemari belanja barang-barang mewah. Konsumen Asia sejak lama memang memiliki preferensi kuat terhadap produk dan merek mewah asing. Namun, belakangan bias terhadap merek lokal berkurang dan mereka mulai mengonsumsi barang mewah produksi lokal.
McKinsey juga mencatat bahwa Kawasan ASEAN dalamdua dekade terakhir sukses membantu menurunkan angka kemiskinan dunia, dengan mengangkat 1,2 miliar orang memasuki ke kelas konsumen. Artinya, mereka memiliki daya beli ekstra untuk memenuhi bukan hanya kebutuhan pokok, tapi juga sekunder dan tersier.
Hal ini terjadi karena semakin menyebarnya investasi padat karya dari China ke Asia Tenggara. Negeri Panda yang selama ini dijuluki "pabrik dunia" mulai mengalami perubahan struktur manufaktur (dari padat karya menjadi padat modal) dan kenaikan upah.
Kalah Jumlah Multinasional, RI Ungguli Malaysia dari Disi Nilai
Seiring dengan pergeseran rantai suplai tersebut, jumlah perusahaan berskala global (multinasional) di Kawasan Asia juga terus meningkat. Jika pada tahun 1997 Asia hanya menyumbang 36% dari 5.000 perusahaan global terbesar, maka pada 2017 persentasenya meningkat menjadi 43%.
China dan India menjadi penyumbang utama kenaikan jumlah korporasi multinasional di Kawasan Asia, dan sebaliknya Jepang menjadi negara dengan jumlah penurunan jumlah korporasi multinasional paling besar.
Sementara itu, Indonesia masih beruntung berada di posisi keempat sebagai negara dengan pertumbuhan valuasi korporasi multinasional terpesat, setelah China, India, dan Taiwan. Sebelum krisis 1997, Indonesia hanya memiliki 6 multinasional dan kini menjadi 178 perusahaan.
Menurut McKinsey, perubahan orientasi investasi padat karya di China-yang kemudian disebar ke negara lain di Asia-membuat standar gaji di China membaik. Pada 1996, rerata gaji di Negeri Panda tercatat 46 kali lebih rendah dari gaji di Jepang.
Namun pada 2016, posisi tersebut berkurang drastis menjadi hanya empat kali lebih rendah (dari gaji di Negeri Sakura)."China mengarah pada rantai nilai, dan seiring transisi ini maka negara lain di Asia memasuki apa yang tadinya menjadi ciri khas China," tulis McKinsey.
Ho Chi Minh City di Vietnam, misalnya menjadi basis manufaktur padat karya berbasis ekspor. Demikian juga dengan Bekasi di Indonesia, yang pada gilirannya membuka lapangan kerja baru dan mencetak masyarakat kelas menengah dengan penghasilan yang cukup untuk berbelanja kebutuhan sekunder dan tersier.
Pergeseran ini sedikit banyak menciptakan banjir investasi padat karya di Asia, dan berujung pada bertambahnya jumlah masyarakat menengah berdaya beli tinggi di Kawasan. Namun, bisakah Indonesia bersaing dengan Vietnam dan negara tetangga lain untuk meraup berkah dari situasi tersebut, ini pekerjaan rumah yang tak bakal usai.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ags/ags) Next Article Sri Mulyani: Kesetaraan Gender Bikin Dunia Untung US$ 12 T
McKinsey memproyeksikan bahwa kawasan tersebut akan mendorong pertumbuhan konsumsi dunia dalam 10 tahun ke depan, dan menyumbang lebih dari separuh dari pertumbuhan konsumsi masyarakat dunia.
"Kawasan Asia Tenggara sendiri memiliki 80 juta rumah tangga di kelas konsumen beberapa tahun lalu. Angka tersebut sekarang mengarah untuk naik menjadi 163 juta rumah tangga pada 2030, dengan Indonesia, khususnya menyumbang puluhan juta konsumen baru yang kaya," tulis perusahaan konsultan global tersebut dalam laporan berjudul "Asia's Future is Now."
McKinsey juga mencatat bahwa Kawasan ASEAN dalamdua dekade terakhir sukses membantu menurunkan angka kemiskinan dunia, dengan mengangkat 1,2 miliar orang memasuki ke kelas konsumen. Artinya, mereka memiliki daya beli ekstra untuk memenuhi bukan hanya kebutuhan pokok, tapi juga sekunder dan tersier.
Hal ini terjadi karena semakin menyebarnya investasi padat karya dari China ke Asia Tenggara. Negeri Panda yang selama ini dijuluki "pabrik dunia" mulai mengalami perubahan struktur manufaktur (dari padat karya menjadi padat modal) dan kenaikan upah.
Kalah Jumlah Multinasional, RI Ungguli Malaysia dari Disi Nilai
Seiring dengan pergeseran rantai suplai tersebut, jumlah perusahaan berskala global (multinasional) di Kawasan Asia juga terus meningkat. Jika pada tahun 1997 Asia hanya menyumbang 36% dari 5.000 perusahaan global terbesar, maka pada 2017 persentasenya meningkat menjadi 43%.
China dan India menjadi penyumbang utama kenaikan jumlah korporasi multinasional di Kawasan Asia, dan sebaliknya Jepang menjadi negara dengan jumlah penurunan jumlah korporasi multinasional paling besar.
Sementara itu, Indonesia masih beruntung berada di posisi keempat sebagai negara dengan pertumbuhan valuasi korporasi multinasional terpesat, setelah China, India, dan Taiwan. Sebelum krisis 1997, Indonesia hanya memiliki 6 multinasional dan kini menjadi 178 perusahaan.
Menurut McKinsey, perubahan orientasi investasi padat karya di China-yang kemudian disebar ke negara lain di Asia-membuat standar gaji di China membaik. Pada 1996, rerata gaji di Negeri Panda tercatat 46 kali lebih rendah dari gaji di Jepang.
Namun pada 2016, posisi tersebut berkurang drastis menjadi hanya empat kali lebih rendah (dari gaji di Negeri Sakura)."China mengarah pada rantai nilai, dan seiring transisi ini maka negara lain di Asia memasuki apa yang tadinya menjadi ciri khas China," tulis McKinsey.
Ho Chi Minh City di Vietnam, misalnya menjadi basis manufaktur padat karya berbasis ekspor. Demikian juga dengan Bekasi di Indonesia, yang pada gilirannya membuka lapangan kerja baru dan mencetak masyarakat kelas menengah dengan penghasilan yang cukup untuk berbelanja kebutuhan sekunder dan tersier.
Pergeseran ini sedikit banyak menciptakan banjir investasi padat karya di Asia, dan berujung pada bertambahnya jumlah masyarakat menengah berdaya beli tinggi di Kawasan. Namun, bisakah Indonesia bersaing dengan Vietnam dan negara tetangga lain untuk meraup berkah dari situasi tersebut, ini pekerjaan rumah yang tak bakal usai.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ags/ags) Next Article Sri Mulyani: Kesetaraan Gender Bikin Dunia Untung US$ 12 T
Most Popular