
Kebakaran Hutan
Jokowi Ancam Pecat Jenderal, Ini Fakta Kebakaran Hutan RI
Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
07 August 2019 15:30

Perlu diingat bahwa secara historis kebakaran di Indonesia terjadi pada bulan Agustus. Hal itu bisa dilihat dari perkembangan jumlah titik panas bulanan yang direkam oleh Direktorat Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan dalam SiPongi.
Setidaknya sejak tahun 2017, puncak jumlah titik panas selalu jatuh pada bulan Agustus.
Sementara saat ini masih tanggal 7 Agustus dan masih ada 24 hari lagi hingga Agustus lewat. Artinya aparat yang terkait kebakaran masih harus sangat waspada terhadap munculnya titik panas.
Sayangnya, ada sinyal-sinyal yang menunjukkan bahwa kebakaran tahun ini akan lebih parah dari tahun 2018.
Hal itu terlihat dari jumlah titik panas yang terekam sepanjang Januari-Juni 2019 sebanyak 1.772 yang mana bertambah 505 titik dari periode yang sama tahun 2018.
Jika tidak cepat diambil tindakan yang mumpuni, bisa jadi luas kebakaran tahun ini akan meningkat.
Sebagai informasi, data SiPongi yang diambil pada hari Rabu (7/8/2019) menunjukkan bahwa luas lahan terbakar di tahun berjalan 2019 telah mencapai 135,7 ribu hektare yang mana hampir menyamai level 2017 yang sebesar 165,4 ribu hektare.
Bila tidak hati-hati akan ada lonjakan titik panas di bulan Agustus yang berisiko menebar kebakaran lebih hebat.
Terlebih Badan Klimatologi dan Geofisika (BMKG) memperkirakan terjadinya El Nino pada tahun 2019. Indikasinya ada pada anomali suku permukaan laut (Sea Surface Temperature/SST) di Samudera Pasifik.
Berdasarkan data dari BMKG, sepanjang Januari-Juni 2019 ada anomali SST sekitar 0,5-1 derajat celcius. Meskipun masuk dalam kategori lemah, namun tetap berisiko membuat kemarau lebih kering.
"Fenomena El Nino bersamaan dengan musim kemarau sehingga dampak yang dirasakan adalah kemaraunya menjadi lebih kering dibanding tahun 2018," ujar Kepala Bidang Diseminasi Informasi iklim dan Kualitas Udara BMKG, Harry Tirto Djatmiko, dikutip dari CNN Indonesia, Kamis (4/7/2019).
Maka dari itu, wajar saja jika Jokowi sampai mengeluarkan maklumat pemecatan aparat yang dianggap tidak mendukung dan mampu mengatasi kebakaran tahun ini.
Dampak Ekonomi Sangat Masif
Kerugian ekonomi yang ditimbulkan karena kebakaran hutan merupakan salah satu faktor yang membuat Jokowi sangat serius persoalan ini.
Tak tanggung-tanggung, total nilai kerugian akibat kebakaran hebat tahun 2015 disebutkan sebesar Rp 221 triliun (US$ 16,1 miliar) oleh Bank Dunia dalam laporan "Indonesia Economic Quarterly" edisi Desember 2015.
Jumlah tersebut setara dengan 1,9% dari total Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia tahun 2015 dan dua kali lipat lebih besar dari biaya rekonstruksi akibat Tsunami Aceh 2004.
Ada banyak sektor yang terkena dampak jangka panjang dari kebakaran hutan, mulai dari agrikultur, perdagangan, pariwisata, hingga transportasi.
Sektor yang mengalami kerugian paling besar adalah agrikultur. Dalam catatan Bank Dunia, nilai kerugian sektor ini di tahun 2015 akibat kebakaran mencapai Rp 66,4 triliun. Hal itu disebabkan oleh rusaknya lahan panen yang sayangnya tidak dapat pulih dengan cepat.
Perlu waktu beberapa tahun bagi lahan pertanian/perkebunan untuk bisa pulih pasca kebakaran.
Adanya kabut asap akibat kebakaran lahan gambut tahun 2015 juga menyebabkan jasa angkutan mengalami kerugian. Ada banyak kapal kargo yang tidak dapat beroperasi penuh. Total kerugian di sektor transportasi mencapai Rp 5,1 triliun.
Kabut asap tahun 2015 juga menjadi dalang dari 19 kasus kematian dan 500.000 infeksi pernapasan akut. Meskipun sebenarnya kesehatan dan nyawa tidak bisa diukur dengan uang, namun pemerintah harus mengeluarkan biaya penanggulangan sebesar Rp 2,1 triliun.
Itu adalah data-data tahun 2015, dimana kala itu PDB Indonesia masih sebesar Rp 11.526 triliun (atas harga berlaku). Jika kejadian serupa terulang lagi di tahun 2019, angka kerugian yang ditimbulkan bisa lebih besar lagi karena sudah ada lebih banyak kegiatan ekonomi yang berlangsung.
Sebagai gambaran, PDB Indonesia tahun 2018 mencapai Rp 14.837 triliun.
TIM RISET CNBC INDONESIA (taa/taa)
Setidaknya sejak tahun 2017, puncak jumlah titik panas selalu jatuh pada bulan Agustus.
Sementara saat ini masih tanggal 7 Agustus dan masih ada 24 hari lagi hingga Agustus lewat. Artinya aparat yang terkait kebakaran masih harus sangat waspada terhadap munculnya titik panas.
Hal itu terlihat dari jumlah titik panas yang terekam sepanjang Januari-Juni 2019 sebanyak 1.772 yang mana bertambah 505 titik dari periode yang sama tahun 2018.
Jika tidak cepat diambil tindakan yang mumpuni, bisa jadi luas kebakaran tahun ini akan meningkat.
Sebagai informasi, data SiPongi yang diambil pada hari Rabu (7/8/2019) menunjukkan bahwa luas lahan terbakar di tahun berjalan 2019 telah mencapai 135,7 ribu hektare yang mana hampir menyamai level 2017 yang sebesar 165,4 ribu hektare.
Bila tidak hati-hati akan ada lonjakan titik panas di bulan Agustus yang berisiko menebar kebakaran lebih hebat.
Terlebih Badan Klimatologi dan Geofisika (BMKG) memperkirakan terjadinya El Nino pada tahun 2019. Indikasinya ada pada anomali suku permukaan laut (Sea Surface Temperature/SST) di Samudera Pasifik.
Berdasarkan data dari BMKG, sepanjang Januari-Juni 2019 ada anomali SST sekitar 0,5-1 derajat celcius. Meskipun masuk dalam kategori lemah, namun tetap berisiko membuat kemarau lebih kering.
![]() |
"Fenomena El Nino bersamaan dengan musim kemarau sehingga dampak yang dirasakan adalah kemaraunya menjadi lebih kering dibanding tahun 2018," ujar Kepala Bidang Diseminasi Informasi iklim dan Kualitas Udara BMKG, Harry Tirto Djatmiko, dikutip dari CNN Indonesia, Kamis (4/7/2019).
Maka dari itu, wajar saja jika Jokowi sampai mengeluarkan maklumat pemecatan aparat yang dianggap tidak mendukung dan mampu mengatasi kebakaran tahun ini.
Dampak Ekonomi Sangat Masif
Kerugian ekonomi yang ditimbulkan karena kebakaran hutan merupakan salah satu faktor yang membuat Jokowi sangat serius persoalan ini.
Tak tanggung-tanggung, total nilai kerugian akibat kebakaran hebat tahun 2015 disebutkan sebesar Rp 221 triliun (US$ 16,1 miliar) oleh Bank Dunia dalam laporan "Indonesia Economic Quarterly" edisi Desember 2015.
Jumlah tersebut setara dengan 1,9% dari total Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia tahun 2015 dan dua kali lipat lebih besar dari biaya rekonstruksi akibat Tsunami Aceh 2004.
Ada banyak sektor yang terkena dampak jangka panjang dari kebakaran hutan, mulai dari agrikultur, perdagangan, pariwisata, hingga transportasi.
Sektor yang mengalami kerugian paling besar adalah agrikultur. Dalam catatan Bank Dunia, nilai kerugian sektor ini di tahun 2015 akibat kebakaran mencapai Rp 66,4 triliun. Hal itu disebabkan oleh rusaknya lahan panen yang sayangnya tidak dapat pulih dengan cepat.
Perlu waktu beberapa tahun bagi lahan pertanian/perkebunan untuk bisa pulih pasca kebakaran.
Adanya kabut asap akibat kebakaran lahan gambut tahun 2015 juga menyebabkan jasa angkutan mengalami kerugian. Ada banyak kapal kargo yang tidak dapat beroperasi penuh. Total kerugian di sektor transportasi mencapai Rp 5,1 triliun.
Kabut asap tahun 2015 juga menjadi dalang dari 19 kasus kematian dan 500.000 infeksi pernapasan akut. Meskipun sebenarnya kesehatan dan nyawa tidak bisa diukur dengan uang, namun pemerintah harus mengeluarkan biaya penanggulangan sebesar Rp 2,1 triliun.
![]() |
Itu adalah data-data tahun 2015, dimana kala itu PDB Indonesia masih sebesar Rp 11.526 triliun (atas harga berlaku). Jika kejadian serupa terulang lagi di tahun 2019, angka kerugian yang ditimbulkan bisa lebih besar lagi karena sudah ada lebih banyak kegiatan ekonomi yang berlangsung.
Sebagai gambaran, PDB Indonesia tahun 2018 mencapai Rp 14.837 triliun.
TIM RISET CNBC INDONESIA (taa/taa)
Pages
Most Popular