Belum Yakin Ekonomi Indonesia Loyo? Ini Buktinya

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
28 July 2019 17:48
Belum Yakin Ekonomi Indonesia Loyo? Ini Buktinya
Foto: Progres konstruksi Proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung (KCJB) makin dikebut dengan telah selesainya proses perakitan mesin Tunnel Boring Machine (TBM) yaitu alat bor raksasa yang didatangkan khusus dari Zhanghuabang Wharf, Shanghai Tiongkok. Sejak pertama kali dirakit pada pertengahan Februari 2019, alat bor raksasa ini kini segera dioperasikan menembus lapisan tanah di bawah tol Cikampek mulai KM 3 300, dari arah Jakarta. (Dok. KCIC)
Jakarta, CNBC Indonesia - Tak lama lagi, momen penting bagi pasar keuangan tanah air akan segera tiba. Pada awal bulan depan, Badan Pusat Statistik (BPS) akan merilis angka pertumbuhan ekonomi Indonesia untuk periode kuartal II-2019.

Rilis data ini menjadi begitu penting jika mengingat perekonomian Indonesia tumbuh jauh di bawah target para ekonom pada tiga bulan pertama tahun ini. Untuk periode kuartal I-2019, BPS mencatat bahwa perekonomian Indonesia tumbuh sebesar 5,07% secara tahunan (year-on-year/YoY), jauh lebih rendah dibandingkan konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia sebesar 5,19% YoY.

Bila pertumbuhan ekonomi pada tiga bulan kedua tahun 2019 kembali berada di bawah ekspektasi, tentu pertumbuhan ekonomi untuk keseluruhan tahun 2019 hampir bisa dipastikan akan mengecewakan. Asal tahu saja, pemerintah mematok target pertumbuhan ekonomi untuk tahun 2019 di level 5,3%.

Sekuritas-sekuritas besar berbendera asing kini memproyeksikan bahwa perekonomian Indonesia akan tumbuh di bawah 5% pada tahun 2019. Melansir konsensus yang dihimpun oleh Bloomberg, JPMorgan Chase dan Goldman Sachs Group memproyeksikan ekonomi Indonesia tumbuh 4,9% pada tahun ini, sementara Deutsche Bank menaruh proyeksinya di level 4,8%.

Kalau kita berkaca ke belakang, sudah lama sekali perekonomian Indonesia terbilang loyo. Bahkan, loyonya perekonomian Indonesia sudah terjadi di masa awal kepemimpinan Joko Widodo (Jokowi) sebagai presiden.

Perekonomian Indonesia selalu tak mampu tumbuh sesuai target, baik itu target dari para ekonom maupun target dari pemerintah sendiri. Pada tahun 2015, dalam APBNP ditargetkan bahwa pertumbuhan ekonomi adalah sebesar 5,7%. Kenyataannya, perekonomian hanya tumbuh sebesar 4,79%, dilansir dari data yang disajikan Refinitiv.

Pada tahun 2016, APBN-P menyebut bahwa target pertumbuhan ekonomi berada di level 5,2%. Namun, realisasinya ternyata hanya sebesar 5,02%. Beralih ke tahun 2017, dalam APBN 2017 target pertumbuhan dipatok di level 5,1%. Tak puas sampai di situ, pemerintah seolah menyombongkan diri dengan menaikkan target menjadi 5,2% dalam APBN-P 2017. Padahal, biasanya target justru diturunkan dari yang dicanangkan di APBN. Kenyataannya, realisasi pertumbuhan ekonomi hanyalah 5,07%.

Untuk tahun 2018, pemerintah tidak mengajukan APBN-P ke DPR. Dalam APBN 2018, pertumbuhan ekonomi dipatok di level 5,4% dan yang terealisasi hanyalah 5,17%.

Tak usahlah kita berbicara mengenai target pertumbuhan ekonomi 7% yang dengan begitu manis dijanjikan oleh Jokowi pada saat kampanye untuk pemilihan presiden tahun 2014. Nyatanya, Jokowi tak pernah bisa membawa pertumbuhan ekonomi keluar dari batas bawah 5%.

Kalau dibilang pertumbuhan ekonomi di batas bawah 5% tersebut tinggi, sebenarnya tidak juga. Negara-negara tetangga banyak yang perekonomiannya tumbuh lebih kencang ketimbang Indonesia.

Perekonomian China misalnya, tumbuh hingga 6,4% secara tahunan pada kuartal-I 2019. Kemudian, masih pada kuartal-I 2019, perekonomian India dan Filipina melaju lebih pesat ketimbang Indonesia.


Akibatnya pertumbuhan ekonomi rendah, pengangguran jadi sulit diberantas. Di sini kita berbicara masalah kemakmuran masyarakat Indonesia. Ternyata, tingkat pengangguran di Indonesia merupakan salah satu yang tertinggi jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga. Dari beberapa negara di kawasan Asia yang kami kumpulkan datanya, tingkat pengangguran di Indonesia merupakan yang tertinggi ketiga.

Salah satu hal yang menyebabkan loyonya pertumbuhan ekonomi adalah melempemnya investasi. Bukan investasi di pasar modal yang dimaksud di sini, melainkan investasi riil. Kala Jokowi menggantikan kepemimpinan dari Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada tahun 2014, penanaman modal dalam negeri (PMDN) atau domestic direct investment (DDI) tercatat melesat hingga 21,76% jika dibandingkan dengan realisasi tahun 2013. Pada tahun 2015, pertumbuhannya sempat melambat signifikan menjadi 14,93%.

Namun dalam tiga tahun berikutnya (2016-2018), pertumbuhan PMDN selalu bisa dipacu di atas 20%. Bahkan pada tahun 2018, pertumbuhannya tercatat mencapai 25,28%. Pada kuartal I-2019, PMDN tercatat tumbuh sebesar 14,14% secara tahunan (year-on-year/YoY), cukup jauh di atas pertumbuhan pada periode yang sama tahun lalu (kuartal I-2018) yang sebesar 11,05%.


Namun bagi Indonesia, yang terpenting itu bukanlah PMDN namun penanaman modal asing (PMA) atau foreign direct investment (FDI). Pasalnya, dari total penanaman modal di tanah air, lebih dari 50% disumbang oleh PMA. Karena nilainya lebih besar, tentu pertumbuhan PMA yang signifikan akan lebih terasa bagi perekonomian ketimbang pertumbuhan PMDN.

Celakanya, pertumbuhan PMA di era Jokowi sangatlah mengecewakan. Pada tahun 2014, PMA tercatat tumbuh 13,54% jika dibandingkan dengan realisasi tahun 2013. Pada tahun 2015, pertumbuhannya sempat naik menjadi 19,22%.

Dalam dua tahun berikutnya (2016-2017), PMA hanya tumbuh di kisaran satu digit. Pada tahun 2018, PMA bahkan tercatat ambruk hingga 8,8%. Untuk periode kuartal I-2019, PMA kembali jatuh yakni sebesar 0,92% secara tahunan, jauh memburuk dibandingkan capaian periode kuartal I-2018 yakni pertumbuhan sebesar 12,27%.
Patut dicurigai, lemahnya penanaman modal oleh investor asing di Indonesia dipicu oleh banyaknya ketidakpastian kebijakan di era Jokowi.

Bank Dunia (World Bank) melakukan survei kepada 754 perusahaan internasional dan hasilnya dituangkan dalam publikasi berjudul Foreign Investor Perspectives and Policy Implications 2017/2018.

Tak Percaya Ekonomi Indonesia Loyo? Simak Deretan Buktinya!Foto: Faktor-faktor yang dianggap penting dalam menentukan lokasi penanaman modal
(Foreign Investor Perspectives and Policy Implications 2017/2018, World Bank)
Di posisi dua dari deretan faktor yang mempengaruhi keputusan investor dalam menentukan lokasi penanaman modal, ada poin kepastian hukum dan perundangan. Sebanyak 40% responden menganggap bahwa kepastian hukum merupakan faktor yang sangat penting bagi mereka, sementara 46% menilainya sebagai faktor penting.

Nyaris lima tahun Jokowi memerintah, banyak kebijakan maju-mundur yang membuat kita geleng-geleng kepala.

Pada tahun 2015, Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan mengumumkan bahwa pengguna jalan tol akan dikenakan pajak pertambahan nilai (PPN) dengan tarif sebesar 10%. Kebijakan ini rencananya akan mulai berlaku pada 1 April 2015.

Kebijakan ini tertuang dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak PER/10/PJ/2015 tentang Tata Cara Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai atas Penyerahan Jasa Jalan Tol.

Namun, satu hari pasca kebijakan tersebut dikemukakan ke publik, pemerintah justru membatalkan kebijakan tersebut pasca menggelar rapat koordinasi.

Kemudian pada November 2016, pemerintah secara resmi meluncurkan paket kebijakan ekonomi jilid 16 yang diarahkan untuk mengatasi permasalahan defisit transaksi berjalan/current account deficit (CAD). Salah satu poin dari paket kebijakan tersebut adalah revisi Daftar Negatif Investasi (DNI).

Kala itu, aturan turunan dari kebijakan tersebut belum diterbitkan. Namun, paket kebijakan tersebut menuai protes dari para politisi, pelaku usaha, hingga masyarakat umum. Pasalnya, investor asing rencananya diberi keleluasaan untuk mengakuisisi usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) hingga 100%.

“Saya minta diganti. UMKM kan penyangga ekonomi kita jadi harus dilindungi. Masa sih urusan membersihkan umbi-umbian, warnet, mesti asing? Gak usahlah, itu UMKM aja,” tegas Maruarar Sirait yang merupakan Anggota Komisi XI DPR kala itu.

Pada akhirnya, pemerintah pun meralat kebijakan relaksasi DNI, terutama di sektor UMKM.

Kebijakan maju-mundur Jokowi lainnya terjadi juga pada Oktober 2018. Bahkan, ini bisa dibilang yang paling absurd. Kala itu, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan mengumumkan kenaikan harga bensin jenis premium. Kacaunya, kebijakan sepenting ini seolah-olah menjadi ‘mainan’ bagi pemerintah.

Selang satu jam dari pengumuman kenaikan harga, Kementerian ESDM mengumumkan bahwa rencana kenaikan harga bensin jenis premium tersebut batal dieksekusi.

"Sesuai arahan bapak Presiden rencana kenaikan harga premium di Jamali menjadi Rp 7.000 dan di luar Jamali menjadi Rp 6.900, secepatnya pukul 18.00 hari ini, agar ditunda dan dibahas ulang sambil menunggu kesiapan PT Pertamina," ujar Jonan dalam keterangan tertulisnya. Faktor lainnnya yang membuat perekonomian Indonesia loyo adalah laju sektor manufaktur yang tak ada gairahnya. Sekttor manufaktur merupakan tulang punggung perekonomian Indonesia. Kontribusi sektor manufaktur terhadap pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) nasional masih yang terbesar, yaitu sekitar 20%.

Namun, tulang punggung ini seakan terserang osteoporosis, begitu rapuh, begitu renta, dan daya topangnya semakin menurun.  Pada tahun 2018, kontribusi sektor manufaktur terhadap pembentukan PDB hanya tersisa 19,86%. Padahal pada 2014, kontribusinya mencapai 21,02%. Kalau ditarik lebih jauh ke tahun 2010, terlihat bahwa penurunan kontribusi sektor manufaktur semakin dalam. Pada tahun 2010, sektor manufaktur menyumbang sebesar 22,04% terhadap pembentukan PDB.

Jika berbicara mengenai laju pertumbuhan sektor manufaktur, kondisinya juga miris. Sudah cukup lama laju pertumbuhan sektor manufaktur selalu berada di bawah pertumbuhan ekonomi secara umum.

Pada tahun 2011, sektor manufaktur membukukan pertumbuhan sebesar 6,26%, mengalahkan pertumbuhan ekonomi saat itu yang hanya sebesar 6,17%. Namun selepas itu, tak pernah lagi ada ceritanya pertumbuhan sektor manufaktur bisa mengungguli pertumbuhan ekonomi.


Akibat lambatnya pertumbuhan sektor manufaktur di Indonesia, serapan tenaga kerjanya juga menjadi kurang maksimal. Memang, jika melihat pertumbuhan serapan tenaga kerja sektor manufaktur, angkanya terbilang menggembirakan dalam dua tahun terakhir, terlepas dari pertumbuhan sektor manufaktur itu sendiri yang lemah.


Namun, kalau saja pertumbuhan sektor manufaktur tak lemah, maka serapan tenaga kerjanya tentu bisa lebih kencang lagi. Hal ini penting, mengingat sektor manufaktur berkontribusi 14,7% dari total lapangan kerja di Indonesia (per tahun 2018), terbesar ketiga di bawah sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan (28,8%) dan perdagangan besar dan eceran, reparasi mobil, dan sepeda motor (18,6%).

Guna memberantas tingkat pengangguran di Indonesia yang merupakan salah satu yang tertinggi di Asia, wajib hukumnya pemerintah menggenjot penciptaan lapangan kerja di sektor manufaktur yang sudah terbukti menjadi tulang punggung bagi bangsa ini di bidang penyediaan lapangan kerja.

Pembangunan berbagai macam infrastruktur nan-megah yang sudah dieksekusi di periode satu pemerintahan Jokowi terlihat belum bisa dimaksimalkan untuk mendorong laju pertumbuhan sektor manufaktur yang begitu krusial bagi perekonomian Indonesia. Akibatnya, laju perekonomian menjadi loyo.

TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/ank) Next Article 3 Bulan RI Tersengat Covid-19, Kerugian Capai Rp 316 T

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular