
Miris! Ternyata Tax Ratio Indonesia Terendah di Asia Pasifik
Anthony Kevin, CNBC Indonesia
26 July 2019 11:59

Jakarta, CNBC Indonesia - Menyedihkan. Itulah kata yang rasanya tepat untuk digunakan jika berbicara mengenai penerimaan perpajakan di Indonesia. Nyaris sudah periode satu dari kepemimpinan Joko Widodo (Jokowi) selaku presiden usai, penerimaan pajak tak pernah mencapai target.
Melansir data yang disajikan di Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP), pada tahun 2015 realisasi penerimaan perpajakan hanyalah sebesar 83,29% dari target. Dalam tiga tahun berikutnya (2016, 2017, dan 2018), realisasi penerimaan perpajakan adalah masing-masing sebesar 83,48%, 91,23%, dan 93,86%.
Masalah perpajakan di Indonesia bahkan disoroti oleh Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). Pada hari Selasa (24/7/201), OECD merilis publikasi yang menyoroti rendahnya rasio penerimaan pajak terhadap PDB atau yang biasa dikenal dengan tax ratio.
Dalam publikasi bertajuk "Revenue Statistics in Asian and Pacific Economies 2019 ─ Indonesia", OECD mengungkap bahwa tax ratio Indonesia merupakan yang terendah jika dibandingkan dengan negara-negara lain di kawasan Asia Pasifik. Data yang digunakan oleh OECD adalah data periode tahun 2017.
"Tax ratio Indonesia pada tahun 2017 adalah 11,5%, di bawah rata-rata dari negara anggota OECD (34,2%) dengan selisih sebesar 22,7 persentase poin, dan juga dibawah rata-rata kawasan LAC (Latin America and the Caribbean) dan Afrika (masing-masing sebesar 22,8% dan 18,2%)," tulis OECD dalam publikasinya.
Masih melansir publikasi OECD, ternyata tax ratio Indonesia dalam beberapa waktu terakhir malah turun. Pada tahun 2017 kala tax ratio Indonesia adalah sebesar 11,5% (terendah di Asik Pasifik), ternyata ada penurunan sebesar 0,5 persentase poin jika dibandingkan dengan posisi tahun 2016. Pada tahun 2016, tax ratio berada di level 12%.
Jika dihitung dari tahun 2007 ke 2017, tax ratio Indonesia tercatat turun sebesar 0,7 persentase poin, dari 12,2% menjadi 11,5%.
Perlu dicatat, memang data yang dipublikasikan oleh OECD berbeda dengan data resmi Kementerian Keuangan Republik Indonesia. Hal ini dikarenakan tax ratio memang memiliki beberapa metode perhitungan.
Namun, metode perhitungan yang dilakukan oleh OECD untuk data tax ratio dari setiap negara yang masuk dalam cakupannya adalah sama sehingga data tersebut bisa dibandingkan (comparable).
Kalau angka tax ratio dari OECD disandingkan dengan data resmi dari Kementerian Keuangan Republik Indonesia, sejatinya tak ada perbedaan yang jauh.
Data resmi dari Kementerian Keuangan Republik Indonesia mencatat bahwa tax ratio Indonesia merosot sejak tahun 2015. Tax ratio pernah mencapai 13,7% yakni pada tahun 2014, namun kemudian terus menurun dalam kurun waktu 3 tahun berikutnya.
Pada tahun 2015, tax ratio Indonesia anjlok ke angka 11,6% sebelum kemudian kembali turun menjadi 10,8% pada tahun 2016. Pada tahun 2017, tax ratio kembali turun ke angka 10,7%. Pada tahun 2018, tax ratio tercatat berada di level 11,5%.
Pemerintah sendiri sejatinya mengakui bahwa posisi tax ratio saat ini terbilang rendah. Melansir artikel berjudul "Mengenal Rasio Pajak Indonesia" yang dipublikasikan di halaman resmi Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktur Jenderal Pajak Robert Pakpahan menjelaskan bahwa angka ideal untuk tax ratio jika mengacu ke standar internasional adalah 15%.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pun menyebut bahwa tax ratio Indonesia berada di bawah standar regional serta standar global.
"Tax ratio kita sekitar 11,5%, meningkat signifikan dibanding sebelumnya yang mana di bawah 11%, tapi ini tetap di bawah standar regional, serta standar global," kata Sri Mulyani pada Februari lalu dalam acara IndoGAS 2019 di Jakarta Convention Center (JCC), Jakarta, dikutip dari detik finance.
HALAMAN SELANJUTNYA >>>> NEXT
Sejatinya, pemerintah sempat memiliki langkah yang cukup oke yang bisa mendongkrak penerimaan pajak dan mendorong tax ratio naik. Sebelumnya, Sri Mulyani sempat mengarahkan supaya pelaku usaha digital dipajaki dengan meneken PMK-210/PMK.010/2018 mengenai Perlakuan Perpajakan atas Transaksi Perdagangan melalui Sistem Elektronik (e-Commerce) yang ditetapkan dan diundangkan di Jakarta pada tanggal 31 Desember 2018 lalu.
Namun kacaunya, kebijakan itu ditarik hanya beberapa hari menjelang penerapan.
"Saya ingin sampaikan pengumuman pada media, pertama selama ini banyak yang memberitakan soal PMK 210 seolah-olah pemerintah buat pajak baru," kata Sri Mulyani di Kantor Pajak Tebet, Jumat (29/3/2019).
"Begitu banyak simpang siur. Kami sudah koordinasi dengan Kementerian/Lembaga dan banyak yang collect info dari perusahaan marketplace. Dengan simpang siur kami anggap perlu sosialisasi lebih lagi pada seluruh stakeholder, masyarakat, perusahaan, memahami seluruhnya."
"Saya memutuskan menarik PMK 210/2018. Itu kita tarik dengan demikian yang simpang siur tanggal 1 April ada pajak e-commerce itu nggak benar, kami putuskan tarik PMK-nya," kata Sri Mulyani.
Kini, pemerintah harus memutar otak lebih kencang jika ingin serius menaikkan tax ratio. Pasalnya, kini pemerintah tengah berencana untuk melonggarkan tarif pajak penghasilan (PPh) korporasi.
Hal ini sangat berpotensi menekan tax ratio mengingat PPh korporasi berkontribusi besar dalam pembentukan total penerimaan pajak Indonesia. Berdasarkan data OECD, pada tahun 2017 PPh korporasi menyumbang hingga 22,5% dari total penerimaan pajak Indonesia.
Publikasi dari OECD patut dijadikan tamparan keras bagi Indonesia. Bukan hanya tax ratio Indonesia berada di bawah standar internasional, tapi tax ratio kita ternyata merupakan yang terendah di Asia Pasifik.
Maju-tidaknya sebuah negara jelas ditentukan oleh kemampuan negara mengumpulkan penerimaan untuk kemudian disalurkan seefektif mungkin guna menyejahterakan masyarakatnya.
Kalau tax ratio rendah sekali seperti saat ini, jelas bahwa ‘amunisi’ pemerintah untuk menyejahterakan masyarakat Indonesia menjadi terbatas. Bisa sih dengan utang, tapi harus diingat bahwa ada sejumlah risiko yang harus ditanggung kala menarik utang, apalagi jika penarikannya secara besar-besaran.
Paling aman, objek pajak yang hingga kini belum tersentuh ya harus disentuh. Sempat Sri Mulyani bersikap ‘galak’ dengan mengarahkan supaya pelaku usaha digital dipajaki, namun dirinya kemudian mengambil langkah mundur.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/dru) Next Article Kepatuhan Pajak RI Lebih Rendah dari Fiji, Terus Kudu Piye?
Melansir data yang disajikan di Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP), pada tahun 2015 realisasi penerimaan perpajakan hanyalah sebesar 83,29% dari target. Dalam tiga tahun berikutnya (2016, 2017, dan 2018), realisasi penerimaan perpajakan adalah masing-masing sebesar 83,48%, 91,23%, dan 93,86%.
Masalah perpajakan di Indonesia bahkan disoroti oleh Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). Pada hari Selasa (24/7/201), OECD merilis publikasi yang menyoroti rendahnya rasio penerimaan pajak terhadap PDB atau yang biasa dikenal dengan tax ratio.
"Tax ratio Indonesia pada tahun 2017 adalah 11,5%, di bawah rata-rata dari negara anggota OECD (34,2%) dengan selisih sebesar 22,7 persentase poin, dan juga dibawah rata-rata kawasan LAC (Latin America and the Caribbean) dan Afrika (masing-masing sebesar 22,8% dan 18,2%)," tulis OECD dalam publikasinya.
![]() |
Masih melansir publikasi OECD, ternyata tax ratio Indonesia dalam beberapa waktu terakhir malah turun. Pada tahun 2017 kala tax ratio Indonesia adalah sebesar 11,5% (terendah di Asik Pasifik), ternyata ada penurunan sebesar 0,5 persentase poin jika dibandingkan dengan posisi tahun 2016. Pada tahun 2016, tax ratio berada di level 12%.
Jika dihitung dari tahun 2007 ke 2017, tax ratio Indonesia tercatat turun sebesar 0,7 persentase poin, dari 12,2% menjadi 11,5%.
![]() |
Perlu dicatat, memang data yang dipublikasikan oleh OECD berbeda dengan data resmi Kementerian Keuangan Republik Indonesia. Hal ini dikarenakan tax ratio memang memiliki beberapa metode perhitungan.
Namun, metode perhitungan yang dilakukan oleh OECD untuk data tax ratio dari setiap negara yang masuk dalam cakupannya adalah sama sehingga data tersebut bisa dibandingkan (comparable).
Kalau angka tax ratio dari OECD disandingkan dengan data resmi dari Kementerian Keuangan Republik Indonesia, sejatinya tak ada perbedaan yang jauh.
Data resmi dari Kementerian Keuangan Republik Indonesia mencatat bahwa tax ratio Indonesia merosot sejak tahun 2015. Tax ratio pernah mencapai 13,7% yakni pada tahun 2014, namun kemudian terus menurun dalam kurun waktu 3 tahun berikutnya.
Pada tahun 2015, tax ratio Indonesia anjlok ke angka 11,6% sebelum kemudian kembali turun menjadi 10,8% pada tahun 2016. Pada tahun 2017, tax ratio kembali turun ke angka 10,7%. Pada tahun 2018, tax ratio tercatat berada di level 11,5%.
Pemerintah sendiri sejatinya mengakui bahwa posisi tax ratio saat ini terbilang rendah. Melansir artikel berjudul "Mengenal Rasio Pajak Indonesia" yang dipublikasikan di halaman resmi Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktur Jenderal Pajak Robert Pakpahan menjelaskan bahwa angka ideal untuk tax ratio jika mengacu ke standar internasional adalah 15%.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pun menyebut bahwa tax ratio Indonesia berada di bawah standar regional serta standar global.
"Tax ratio kita sekitar 11,5%, meningkat signifikan dibanding sebelumnya yang mana di bawah 11%, tapi ini tetap di bawah standar regional, serta standar global," kata Sri Mulyani pada Februari lalu dalam acara IndoGAS 2019 di Jakarta Convention Center (JCC), Jakarta, dikutip dari detik finance.
HALAMAN SELANJUTNYA >>>> NEXT
Sejatinya, pemerintah sempat memiliki langkah yang cukup oke yang bisa mendongkrak penerimaan pajak dan mendorong tax ratio naik. Sebelumnya, Sri Mulyani sempat mengarahkan supaya pelaku usaha digital dipajaki dengan meneken PMK-210/PMK.010/2018 mengenai Perlakuan Perpajakan atas Transaksi Perdagangan melalui Sistem Elektronik (e-Commerce) yang ditetapkan dan diundangkan di Jakarta pada tanggal 31 Desember 2018 lalu.
Namun kacaunya, kebijakan itu ditarik hanya beberapa hari menjelang penerapan.
"Saya ingin sampaikan pengumuman pada media, pertama selama ini banyak yang memberitakan soal PMK 210 seolah-olah pemerintah buat pajak baru," kata Sri Mulyani di Kantor Pajak Tebet, Jumat (29/3/2019).
"Begitu banyak simpang siur. Kami sudah koordinasi dengan Kementerian/Lembaga dan banyak yang collect info dari perusahaan marketplace. Dengan simpang siur kami anggap perlu sosialisasi lebih lagi pada seluruh stakeholder, masyarakat, perusahaan, memahami seluruhnya."
"Saya memutuskan menarik PMK 210/2018. Itu kita tarik dengan demikian yang simpang siur tanggal 1 April ada pajak e-commerce itu nggak benar, kami putuskan tarik PMK-nya," kata Sri Mulyani.
Kini, pemerintah harus memutar otak lebih kencang jika ingin serius menaikkan tax ratio. Pasalnya, kini pemerintah tengah berencana untuk melonggarkan tarif pajak penghasilan (PPh) korporasi.
Hal ini sangat berpotensi menekan tax ratio mengingat PPh korporasi berkontribusi besar dalam pembentukan total penerimaan pajak Indonesia. Berdasarkan data OECD, pada tahun 2017 PPh korporasi menyumbang hingga 22,5% dari total penerimaan pajak Indonesia.
Publikasi dari OECD patut dijadikan tamparan keras bagi Indonesia. Bukan hanya tax ratio Indonesia berada di bawah standar internasional, tapi tax ratio kita ternyata merupakan yang terendah di Asia Pasifik.
Maju-tidaknya sebuah negara jelas ditentukan oleh kemampuan negara mengumpulkan penerimaan untuk kemudian disalurkan seefektif mungkin guna menyejahterakan masyarakatnya.
Kalau tax ratio rendah sekali seperti saat ini, jelas bahwa ‘amunisi’ pemerintah untuk menyejahterakan masyarakat Indonesia menjadi terbatas. Bisa sih dengan utang, tapi harus diingat bahwa ada sejumlah risiko yang harus ditanggung kala menarik utang, apalagi jika penarikannya secara besar-besaran.
Paling aman, objek pajak yang hingga kini belum tersentuh ya harus disentuh. Sempat Sri Mulyani bersikap ‘galak’ dengan mengarahkan supaya pelaku usaha digital dipajaki, namun dirinya kemudian mengambil langkah mundur.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/dru) Next Article Kepatuhan Pajak RI Lebih Rendah dari Fiji, Terus Kudu Piye?
Most Popular