
Polemik UU Sumber Daya Air, Bola Panas Swasta di Bisnis Air
Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
19 July 2019 18:45

Jakarta, CNBC Indonesia - Era baru monopoli pengelolaan Sumber Daya Air (SDA) di Indonesia tampak semakin dekat. Pada 27 Mei 2019 silam, Panitia Kerja (Panja) dengan Pemerintah kembali melanjutkan Rapat Pembahasan RUU Sumber Daya Air (RUU-SDA) .
Salah satu isu penting dalam RUU tersebut adalah keterlibatan pihak swasta dalam proyek Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM). Perlu diketahui bahwa SPAM merupakan jaringan air yang utamanya diperlukan untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari, seperti mandi, mencuci, dan minum. Biasanya SPAM merupakan jaringan pipa yang didistribusikan untuk pemukiman dan fasilitas umum.
Selain itu SPAM juga berbeda dengan penyediaan air minum dalam kemasan.
Polemik RUU-SDA muncul setelah frase yang memperbolehkan keterlibatan swasta dihapus.
Pada awalnya, salah satu pasal dalam RUU-SDA berbunyi ,"Izin penggunaan Sumber Daya Air untuk kebutuhan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) huruf b yang menghasilkan produk berupa air minum untuk kebutuhan pokok sehari-hari diberikan kepada badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan udara milik desa penyelenggara SPAM dan dapat melibatkan pihak swasta yang bergerak dalam bidang industri air minum dengan memenuhi prinsip sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46."
Namun atas usul anggota Panja, frasa "dan dapat melibatkan pihak swasta yang bergerak dalam bidang industri air minum dengan memenuhi prinsip sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46" dihapus sehingga hingga saat ini pasal tersebut tertulis:
"Izin penggunaan Sumber Daya Air untuk kebutuhan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) huruf b yang menghasilkan produk berupa air minum untuk kebutuhan pokok sehari-hari diberikan kepada badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan udara milik desa penyelenggara SPAM"
Meskipun RUU tersebut belum diketok, namun ada kekhawatiran dan kecenderungan ke arah sana. Bila nantinya benar-benar akan berlaku, maka sejumlah masalah berisiko akan muncul.
BERLANJUT KE HALAMAN 2>>> Salah satu isu penting jika nanti pengelolaan SPAM dilakukan sepenuhnya oleh perusahaan negara adalah perihal investasi. Terlebih saat ini, investasi pada sektor utilitas di Indonesia sangat besar.
Berdasarkan data dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), sektor Penyediaan Listrik, Gas , dan Air merupakan penyumbang terbesar Penanaman Modal Asing (PMA). Jumlahnya mencapai US$ 4,3 miliar yang tersebar di 515 proyek.
Senada, Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) pada sektor tersebut merupakan peringkat keempat terbesar dengan nilai mencapai Rp 37 triliun dalam 560 proyek.
Saat keterlibatan swasta pada sektor SDA dihapuskan, maka sudah tentu investasi asing maupun domestik tidak akan terjadi. Mengingat porsinya yang cukup besar, kinerja investasi nasional berisiko semakin tertekan.
Apalagi saat ini tren investasi, terutama dari pihak asing masih menunjukkan tren pelemahan.
Dalam empat kuartal terakhir, pertumbuhan PMA tercatat selalu negatif alias terkontraksi dari tahun ke tahun. Sama halnya dengan PMDN yang mana angka pertumbuhannya dalam empat kuartal terakhir terus mengalami pelemahan. Meskipun masih positif.
Bahayanya, investasi merupakan salah satu komponen penting dalam pertumbuhan ekonomi. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), komponen Penanaman Modal Tetap Bruto (PMTB), yang mana merupakan investasi, menyumbang 33,84% dari total Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia.
Kala investasi mengalami hambatan, maka target pertumbuhan ekonomi pemerintah tahun 2019 sebesar 5,3% bisa tak tercapai.
PDAM Terus Merugi
Masalah lain dari praktik monopoli negara adalah faktor kesehatan perusahaan yang sulit untuk membaik.
Perlu diketahui per akhir tahun 2018, sebagian besar SPAM di Indonesia dilakukan oleh lebih dari 391 Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM). Jumlah tersebut meningkat dari
Sayangnya, hingga akhir tahun 2018 hanya ada 223 PDAM (57%) saja yang dinyatakan sehat oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Sementara lainnya kurang sehat, sakit, dan belum dinilai.
Selain itu masih banyak PDAM yang memiliki kinerja keuangan yang buruk. Terutama di luar Pulau Jawa, sebagian besar PDAM mencatat laba bersih yang negatif alias merugi. Selain merugi, nilai utang akibat investasi percepatan pembangunan infrastruktur penyediaan air juga masih tinggi.
Sebagai contoh PDAM Kota Palopo, Sulawesi Selatan yang membukukan rugi bersih sebesar Rp 2,7 miliar di tahun 2018. Pada saat yang sama, perusahaan masih mencatat utang jangka panjang sebesar Rp 12,5 miliar. Ada pula PADM Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan yang masih rugi Rp 1,4 miliar dan menyisakan utang jangka panjang Rp 8,3 miliar di tahun 2018.
Sebagai gambaran, pada tahun 2017, total kerugian seluruh PDAM mencapai Rp 323 miliar. Sementara total utang mencapai Rp 355 miliar.
Bila kondisi keuangan berbagai PDAM terus merugi, maka perusahaan akan sulit untuk menyelesaikan kewajiban atas utangnya. Ujung-ujungnya, pemerintah yang harus turun tangan. Pasalnya melalui Perpres No.29/2009, pemerintah memberikan jaminan sebesar 70% atas pembayaran kembali pokok kredit investasi PDAM kepada kreditor perbankan, seperti yang tertuang pada Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) tahun 2018.
Saat ini, capaian layanan air layak minum di Indonesia baru mencapai 72%. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019, pemerintah menargetkan angka cakupan layanan tersebut menjadi 100%. Artinya, sebanyak 28% sisa dari cakupan layanan air di Indonesia ke depan sepenuhnya harus dilakukan oleh perusahaan milik negara atau daerah. Sekali lagi, beban keuangan negara akan semakin tertekan.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(taa/taa) Next Article KPPU Bakal Panggil PT MRT, Ada Apa?
Salah satu isu penting dalam RUU tersebut adalah keterlibatan pihak swasta dalam proyek Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM). Perlu diketahui bahwa SPAM merupakan jaringan air yang utamanya diperlukan untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari, seperti mandi, mencuci, dan minum. Biasanya SPAM merupakan jaringan pipa yang didistribusikan untuk pemukiman dan fasilitas umum.
Selain itu SPAM juga berbeda dengan penyediaan air minum dalam kemasan.
Pada awalnya, salah satu pasal dalam RUU-SDA berbunyi ,"Izin penggunaan Sumber Daya Air untuk kebutuhan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) huruf b yang menghasilkan produk berupa air minum untuk kebutuhan pokok sehari-hari diberikan kepada badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan udara milik desa penyelenggara SPAM dan dapat melibatkan pihak swasta yang bergerak dalam bidang industri air minum dengan memenuhi prinsip sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46."
Namun atas usul anggota Panja, frasa "dan dapat melibatkan pihak swasta yang bergerak dalam bidang industri air minum dengan memenuhi prinsip sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46" dihapus sehingga hingga saat ini pasal tersebut tertulis:
"Izin penggunaan Sumber Daya Air untuk kebutuhan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) huruf b yang menghasilkan produk berupa air minum untuk kebutuhan pokok sehari-hari diberikan kepada badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan udara milik desa penyelenggara SPAM"
Meskipun RUU tersebut belum diketok, namun ada kekhawatiran dan kecenderungan ke arah sana. Bila nantinya benar-benar akan berlaku, maka sejumlah masalah berisiko akan muncul.
BERLANJUT KE HALAMAN 2>>> Salah satu isu penting jika nanti pengelolaan SPAM dilakukan sepenuhnya oleh perusahaan negara adalah perihal investasi. Terlebih saat ini, investasi pada sektor utilitas di Indonesia sangat besar.
Berdasarkan data dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), sektor Penyediaan Listrik, Gas , dan Air merupakan penyumbang terbesar Penanaman Modal Asing (PMA). Jumlahnya mencapai US$ 4,3 miliar yang tersebar di 515 proyek.
Senada, Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) pada sektor tersebut merupakan peringkat keempat terbesar dengan nilai mencapai Rp 37 triliun dalam 560 proyek.
Saat keterlibatan swasta pada sektor SDA dihapuskan, maka sudah tentu investasi asing maupun domestik tidak akan terjadi. Mengingat porsinya yang cukup besar, kinerja investasi nasional berisiko semakin tertekan.
Apalagi saat ini tren investasi, terutama dari pihak asing masih menunjukkan tren pelemahan.
Dalam empat kuartal terakhir, pertumbuhan PMA tercatat selalu negatif alias terkontraksi dari tahun ke tahun. Sama halnya dengan PMDN yang mana angka pertumbuhannya dalam empat kuartal terakhir terus mengalami pelemahan. Meskipun masih positif.
Bahayanya, investasi merupakan salah satu komponen penting dalam pertumbuhan ekonomi. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), komponen Penanaman Modal Tetap Bruto (PMTB), yang mana merupakan investasi, menyumbang 33,84% dari total Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia.
Kala investasi mengalami hambatan, maka target pertumbuhan ekonomi pemerintah tahun 2019 sebesar 5,3% bisa tak tercapai.
PDAM Terus Merugi
Masalah lain dari praktik monopoli negara adalah faktor kesehatan perusahaan yang sulit untuk membaik.
Perlu diketahui per akhir tahun 2018, sebagian besar SPAM di Indonesia dilakukan oleh lebih dari 391 Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM). Jumlah tersebut meningkat dari
Sayangnya, hingga akhir tahun 2018 hanya ada 223 PDAM (57%) saja yang dinyatakan sehat oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Sementara lainnya kurang sehat, sakit, dan belum dinilai.
Selain itu masih banyak PDAM yang memiliki kinerja keuangan yang buruk. Terutama di luar Pulau Jawa, sebagian besar PDAM mencatat laba bersih yang negatif alias merugi. Selain merugi, nilai utang akibat investasi percepatan pembangunan infrastruktur penyediaan air juga masih tinggi.
Sebagai contoh PDAM Kota Palopo, Sulawesi Selatan yang membukukan rugi bersih sebesar Rp 2,7 miliar di tahun 2018. Pada saat yang sama, perusahaan masih mencatat utang jangka panjang sebesar Rp 12,5 miliar. Ada pula PADM Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan yang masih rugi Rp 1,4 miliar dan menyisakan utang jangka panjang Rp 8,3 miliar di tahun 2018.
Sebagai gambaran, pada tahun 2017, total kerugian seluruh PDAM mencapai Rp 323 miliar. Sementara total utang mencapai Rp 355 miliar.
Bila kondisi keuangan berbagai PDAM terus merugi, maka perusahaan akan sulit untuk menyelesaikan kewajiban atas utangnya. Ujung-ujungnya, pemerintah yang harus turun tangan. Pasalnya melalui Perpres No.29/2009, pemerintah memberikan jaminan sebesar 70% atas pembayaran kembali pokok kredit investasi PDAM kepada kreditor perbankan, seperti yang tertuang pada Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) tahun 2018.
Saat ini, capaian layanan air layak minum di Indonesia baru mencapai 72%. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019, pemerintah menargetkan angka cakupan layanan tersebut menjadi 100%. Artinya, sebanyak 28% sisa dari cakupan layanan air di Indonesia ke depan sepenuhnya harus dilakukan oleh perusahaan milik negara atau daerah. Sekali lagi, beban keuangan negara akan semakin tertekan.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(taa/taa) Next Article KPPU Bakal Panggil PT MRT, Ada Apa?
Most Popular