Pengusaha: Insentif 300% Tapi Tak Bisa Jualan, Buat Apa?

S. Pablo I. Pareira, CNBC Indonesia
10 July 2019 21:02
Bagi industri hulu tekstil yang sedang menghadapi serbuan barang impor, insentif
Foto: REUTERS/Mark Blinch
Jakarta, CNBC Indonesia - Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI) menganggap insentif fiskal super deductable tax atau insentif "super" yang baru saja diluncurkan melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 45 Tahun 2019 tidak berpengaruh pada kondisi industri hulu tekstil yang saat ini berada dalam kondisi kritis. PP tersebut memang mengatur soal pengurangan pajak di atas 100% bahkan bisa mencapai 300%.

Sekretaris Jenderal APSyFI Redma Gita Wirawasta mengungkapkan, saat industri hulu yang memproduksi serat dan benang tengah digempur impor kain akibat kebijakan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 64 Tahun 2017 tentang Ketentuan Impor Tekstil dan Produk Tekstil.



Impor tekstil dan produk tekstil pada tahun lalu tumbuh 13,8% dan pada semester I-2019 diproyeksikan tumbuh 7% periode tahunan mencapai US$ 4,4 miliar. Kondisi ini menyebabkan produk dari industri hulu kalah bersaing dengan kain impor dan kurang terserap oleh industri garmen di hilirnya.

Redma menegaskan, tidak mungkin pelaku industri hulu tekstil berinvestasi dan menambah kapasitasnya dalam kondisi pasar tekstil domestik seperti ini, di saat banyak perusahaan serat dan benang filamen justru mengurangi produksinya. Insentif yang diberikan dalam super deductable tax berlaku pada industri yang melakukan perluasan atau industri pionir.

"Lebih baik kita tidak dapat insentif fiskal apapun tapi bisa jualan dengan tenang. Sekarang mau dikasih insentif sampai 300% tapi nggak bisa jualan, buat apa?" kata Redma dalam paparan kinerja di Hotel Sahid, Rabu (10/7/2019).

"Sebelum super deductable tax ini, pemerintah juga sempat merilis tax holiday dan tax allowance. Berapa yang gunakan? Bu Sri Mulyani sampai marah-marah kan. Sekarang mau dikasih lagi, ya bukan itu kan masalahnya. Masalahnya kan di market, karena impornya tidak dikontrol," keluhnya.



Menurut Redma, pemerintah nampaknya salah fokus dalam menjawab permasalahan di industri tekstil. Pemerintah hendak mendorong ekspor dan investasi untuk mengatasi defisit neraca dagang, tapi masalah di industri tekstil saat ini bukanlah penambahan kapasitas, melainkan utilisasi kapasitas yang sudah ada.

"Sedangkan insentif yang diberikan pemerintah adalah untuk menaikkan kapasitas. Ya kapasitas yang sudah ada saja nggak terpakai, mau naikkan apa lagi? Di situ ada yang nggak nyambung. Tren kita ini bukan karena ekspor yang turun, tapi impor yang membengkak. Ekspornya segitu-segitu aja," jelas dia.

Wakil Ketua Umum APSyFI Cecep Setiono juga sepakat dengan pernyataan Redma. Menurutnya, pemerintah bisa melakukan jalan yang lebih tepat dengan mengontrol impor.

Dengan impor yang dikontrol dan pertumbuhan industri TPT yang rata-rata 5-6% per tahun, menurutnya perusahaan serat dan benang pasti menambah kapasitas setiap 5 tahun.

"Dengan sendirinya setiap orang ingin berinvestasi kan. Ada demand kok. Tapi sekarang kalau diiming-imingi investasi tapi impor masuk terus, siapa yang berani?" tegasnya.

Cecep berharap, apabila ke depannya regulasi ini banyak menarik investor masuk ke industri garmen, misalnya tenun kain, mudah-mudahan investasi itu mengonsumsi produk benang dalam negeri.

"Yang kita khawatirkan, investor itu minta syarat. Saya mau investasi tapi bahan bakunya boleh saya impor. Itu yang bahaya. Percuma juga, malah merusak industri hulu ke atas," jelasnya.

"Jadi kita harus hati-hati, jangan terpesona dengan besarnya investasi yang nyatanya mematikan produk-produk di dalam negeri sendiri," imbuhnya.

Anggota Eksekutif APSyFI Prama Yudha Amdan menjelaskan, dalam kerangka industri tekstil, umumnya industri hulu seperti benang dan serat bersifat padat modal dan teknologi, dan makin ke hilir sifatnya berubah menjadi padat karya.

"Satu pabrik PTA [purified terephthalic acid] itu investasinya bisa Rp 6-7 triliun dan return [balik modal] dalam 2-3 tahun," ujarnya.

Sebagai informasi, PTA banyak digunakan untuk membuat produk-produk tekstil seperti polyesther dan polietilena terephthalate (PET). Produk turunan PTA inilah yang digunakan bahan baku pembuatan benang dan serat dalam industri tekstil.

Yudha pun menegaskan kesiapan perusahaan-perusahaan di bawah APSyFI untuk menambah investasi yang sudah ada.

"Ada budget untuk investasi. Cuma siapa yang bisa menjamin dengan saya investasi sekarang produk saya ada yang beli? Kalau ada kepastian itu saja, kita pasti siap langsung investasi," jelasnya.

"Konteksnya di industri hulu tekstil, kalau pasarnya diamankan, tanpa insentif super deductable tax itu pun investasi akan masuk," imbuhnya.
(hoi/hoi) Next Article Wow! Insentif 'Super' Dirilis, Pengurangan Pajak Hingga 300%

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular