
Segera Tutup 'Bolong-bolong' Perekonomian RI
Wahyu Daniel, CNBC Indonesia
08 July 2019 08:20

Jakarta, CNBC Indonesia - Berat! Mungkin ini jadi salah satu kata yang bisa mengungkapkan kondisi perekonomian dunia saat ini, termasuk ekonomi Indonesia. Perang dagang yang terjadi antara Amerika Serikat (AS) dan China, membuat ekonomi dunia merana.
Ekonomi Indonesia tahun ini diperkirakan tumbuh di kisaran 5%. Masih sulit untuk membuat ekonomi Indonesia tumbuh 6-7% seperti yang pernah dijanjikan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi). Perlu pembenahan terhadap ekonomi Indonesia, atau masih banyak 'bolong-bolongnya'.
Bila dilihat dari paparan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI), Mirza Adityaswara, ekonomi Indonesia masih sangat tergantung pada harga komoditas. Indonesia masih mengandalkan jualan sumber daya alam (SDA). Industri turunan dari SDA tidak berkembang pesat.
Sementara saat ini harga komoditas lesu akibat melemahnya pertumbuhan ekonomi China. Otomatis kondisi ini membuat ekonomi Indonesia tertekan.
Baca Juga: Kenapa Bank Dunia Pangkas Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi RI?
Dalam 10 tahun terakhir, Jawa masih mendominasi ekonomi nasional. Untuk luar Jawa masih didominasi sektor pertambangan, sehingga rentan terhadap dinamika sektoral seperti perubahan harga komoditas.
"Namun ada indikasi ekonomi Sulawesi naik karena dampak kebijakan hilirisasi minerba," kata Mirza di Plataran Menjangan, Bali, akhir pekan lalu.
Kemudian, pembenahan defisit neraca transaksi berjalan (current account deficit/CAD) menjadi langkah penting. CAD menjadi biang kerok pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.
Mirza mengakui, pertumbuhan ekonomi Indonesia belum lepas dari masalah struktural daya saing, yang memengaruhi sisi suplai, termasuk suplai valas di pasar domestik.
"Kondisi tersebut terindikasi dari meningkatnya CAD saat perekonomian nasional tumbuh tinggi. Kunci perbaikan adalah pada penguatan ekspor manfaktur dan jasa (pariwisata)," tutur Mirza.
Lalu terakhir adalah masalah upah.
Dalam kajian BI, Indonesia kalah dari Vietnam soal daya saing upah tenaga kerja. Dari sisi nominal, upah minimum terendah di Jawa lebih kecil dari upah terendah di Vietnam, tapi upah tertinggi di Jawa jauh di atas upah tertinggi di Vietnam.
Kemudian dari sisi kenaikan, tingkat kenaikan upah minimum di Vietnam sejak 2017 lebih rendah dibandingkan kenaikan upah di Jawa. Jika tren ini berlanjut, maka dalam 10 tahun ke depan, deviasi upah di Jawa akan makin besar.
[Gambas:Video CNBC]
(wed/wed) Next Article G20 Waspadai Perlambatan Ekonomi Global
Ekonomi Indonesia tahun ini diperkirakan tumbuh di kisaran 5%. Masih sulit untuk membuat ekonomi Indonesia tumbuh 6-7% seperti yang pernah dijanjikan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi). Perlu pembenahan terhadap ekonomi Indonesia, atau masih banyak 'bolong-bolongnya'.
Bila dilihat dari paparan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI), Mirza Adityaswara, ekonomi Indonesia masih sangat tergantung pada harga komoditas. Indonesia masih mengandalkan jualan sumber daya alam (SDA). Industri turunan dari SDA tidak berkembang pesat.
Baca Juga: Kenapa Bank Dunia Pangkas Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi RI?
Dalam 10 tahun terakhir, Jawa masih mendominasi ekonomi nasional. Untuk luar Jawa masih didominasi sektor pertambangan, sehingga rentan terhadap dinamika sektoral seperti perubahan harga komoditas.
"Namun ada indikasi ekonomi Sulawesi naik karena dampak kebijakan hilirisasi minerba," kata Mirza di Plataran Menjangan, Bali, akhir pekan lalu.
Kemudian, pembenahan defisit neraca transaksi berjalan (current account deficit/CAD) menjadi langkah penting. CAD menjadi biang kerok pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.
Mirza mengakui, pertumbuhan ekonomi Indonesia belum lepas dari masalah struktural daya saing, yang memengaruhi sisi suplai, termasuk suplai valas di pasar domestik.
"Kondisi tersebut terindikasi dari meningkatnya CAD saat perekonomian nasional tumbuh tinggi. Kunci perbaikan adalah pada penguatan ekspor manfaktur dan jasa (pariwisata)," tutur Mirza.
Lalu terakhir adalah masalah upah.
Dalam kajian BI, Indonesia kalah dari Vietnam soal daya saing upah tenaga kerja. Dari sisi nominal, upah minimum terendah di Jawa lebih kecil dari upah terendah di Vietnam, tapi upah tertinggi di Jawa jauh di atas upah tertinggi di Vietnam.
Kemudian dari sisi kenaikan, tingkat kenaikan upah minimum di Vietnam sejak 2017 lebih rendah dibandingkan kenaikan upah di Jawa. Jika tren ini berlanjut, maka dalam 10 tahun ke depan, deviasi upah di Jawa akan makin besar.
[Gambas:Video CNBC]
(wed/wed) Next Article G20 Waspadai Perlambatan Ekonomi Global
Most Popular