
Sri Mulyani Komentari Banyak Politikus Lamar Jadi Anggota BPK
Lidya Julita Sembiring, CNBC Indonesia
03 July 2019 17:06

Jakarta, CNBC Indonesia - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati angkat bicara perihal banyak politikus yang melamar sebagai anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Demikian disampaikan Sri Mulyani kepada wartawan di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (3/7/2019).
Menurut dia, berdasarkan UU, DPR sebagai pihak yang akan melakukan seleksi terhadap calon anggota BPK, menyadari pentingnya institusi itu. Apalagi BPK adalah institusi yang disebutkan secara khusus dalam UUD 1945 untuk bisa menjaga tata kelola dan kredibilitas pengelolaan keuangan negara di seluruh Indonesia.
"Jadi karena memiliki peran yang begitu penting, kita semua berharap dan DPR sebagai wakil rakyat yang juga mendengarkan suara rakyat juga memahami penting untuk memilih orang-orang yang memang bisa menjalankan tugas konstitusi yang sangat penting itu," ujar Sri Mulyani.
"Kita berharap tentu saja akan mendapatkan figur-figur yang bisa mengemban amanat konstitusi itu karena penting sekali peranan BPK," lanjutnya.
Seleksi calon anggota BPK secara resmi dimulai pada Senin (1/7/2019). Seleksi dilakukan lantaran lima dari sembilan anggota BPK akan berakhir masa jabatannya per Oktober 2019. Mereka adalah Harry Azhar Azis, Eddy Mulyadi Supardi, Rizal Djalil, Moermahadi Soerja Djanegara, dan Achsanul Qosasi.
Berdasarkan informasi yang dihimpun, terdapat 64 pendaftar yang mengajukan diri. Banyak nama-nama tenar semisal Bos Lion Group Rusdi Kirana hingga mantan Bos BEI Tito Sulistio.
Namun, apabila diperinci banyak pula politikus yang mendaftar, yaitu 10 orang. Mereka adalah Daniel Lumban Tobing (PDIP), Akhmad Muqowam (PPP), Tjatur Sapto Edy (PAN), Ahmadi Noor Supit, Ruslan Abdul Gani (Golkar), Pius Lustrilanang, Wilgo Zainar, Haerul Saleh, Ferry Juliantono (Gerindra), dan Nurhayati Ali Assegaf (Demokrat).
Pemandangan ini bukanlah sesuatu yang mengherankan dalam perebutan posisi anggota BPK. Tak perlu jauh-jauh. Simak susunan anggota BPK yang akan berakhir masa jabatannya. Sebagian merupakan eks politikus macam Harry Azhar Azis (Golkar), Rizal Djalil (PAN), dan Achsanul Qosasi (Demokrat).
Ekonom INDEF Bhima Yudhistira menilai fenomena itu menunjukkan bahwa jabatan anggota BPK merupakan jabatan politis. Di mana calon yang punya dukungan partai politik lebih mudah lolos uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) ketimbang calon non-parpol.
"Jadi semacam jabatan transaksional," ujar Bhima kepada CNBC Indonesia, Selasa (2/7/2019).
"Kepala BPK juga dijadikan jenjang karier politisi pasca-Senayan. Semacam rule of thumb di kalangan politisi bahwa BPK adalah kursi politik yang bisa diperebutkan," lanjutnya.
Imbasnya, menurut Bhima, profesionalitas, rekam jejak, dan integritas akhirnya menjadi nomor dua. Implikasinya timbul moral hazard kalau politisi itu duduk di posisi paling penting BPK.
"Jangan sampai jual beli opini WTP (wajar tanpa pengecualian) pemerintah daerah misalnya terjadi. Muaranya transaksional tadi," kata Bhima.
[Gambas:Video CNBC]
(miq/miq) Next Article Sederet Prestasi BPK dari Nasional Hingga Internasional
Menurut dia, berdasarkan UU, DPR sebagai pihak yang akan melakukan seleksi terhadap calon anggota BPK, menyadari pentingnya institusi itu. Apalagi BPK adalah institusi yang disebutkan secara khusus dalam UUD 1945 untuk bisa menjaga tata kelola dan kredibilitas pengelolaan keuangan negara di seluruh Indonesia.
"Jadi karena memiliki peran yang begitu penting, kita semua berharap dan DPR sebagai wakil rakyat yang juga mendengarkan suara rakyat juga memahami penting untuk memilih orang-orang yang memang bisa menjalankan tugas konstitusi yang sangat penting itu," ujar Sri Mulyani.
Seleksi calon anggota BPK secara resmi dimulai pada Senin (1/7/2019). Seleksi dilakukan lantaran lima dari sembilan anggota BPK akan berakhir masa jabatannya per Oktober 2019. Mereka adalah Harry Azhar Azis, Eddy Mulyadi Supardi, Rizal Djalil, Moermahadi Soerja Djanegara, dan Achsanul Qosasi.
Berdasarkan informasi yang dihimpun, terdapat 64 pendaftar yang mengajukan diri. Banyak nama-nama tenar semisal Bos Lion Group Rusdi Kirana hingga mantan Bos BEI Tito Sulistio.
Namun, apabila diperinci banyak pula politikus yang mendaftar, yaitu 10 orang. Mereka adalah Daniel Lumban Tobing (PDIP), Akhmad Muqowam (PPP), Tjatur Sapto Edy (PAN), Ahmadi Noor Supit, Ruslan Abdul Gani (Golkar), Pius Lustrilanang, Wilgo Zainar, Haerul Saleh, Ferry Juliantono (Gerindra), dan Nurhayati Ali Assegaf (Demokrat).
Pemandangan ini bukanlah sesuatu yang mengherankan dalam perebutan posisi anggota BPK. Tak perlu jauh-jauh. Simak susunan anggota BPK yang akan berakhir masa jabatannya. Sebagian merupakan eks politikus macam Harry Azhar Azis (Golkar), Rizal Djalil (PAN), dan Achsanul Qosasi (Demokrat).
Ekonom INDEF Bhima Yudhistira menilai fenomena itu menunjukkan bahwa jabatan anggota BPK merupakan jabatan politis. Di mana calon yang punya dukungan partai politik lebih mudah lolos uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) ketimbang calon non-parpol.
"Jadi semacam jabatan transaksional," ujar Bhima kepada CNBC Indonesia, Selasa (2/7/2019).
"Kepala BPK juga dijadikan jenjang karier politisi pasca-Senayan. Semacam rule of thumb di kalangan politisi bahwa BPK adalah kursi politik yang bisa diperebutkan," lanjutnya.
Imbasnya, menurut Bhima, profesionalitas, rekam jejak, dan integritas akhirnya menjadi nomor dua. Implikasinya timbul moral hazard kalau politisi itu duduk di posisi paling penting BPK.
"Jangan sampai jual beli opini WTP (wajar tanpa pengecualian) pemerintah daerah misalnya terjadi. Muaranya transaksional tadi," kata Bhima.
[Gambas:Video CNBC]
(miq/miq) Next Article Sederet Prestasi BPK dari Nasional Hingga Internasional
Most Popular