
13 Tahun Menyembur, Lumpur Lapindo Sedot Rp 11 T Uang APBN
Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
25 June 2019 16:17

Jakarta, CNBC Indonesia - Tanggal jatuh tempo pembayaran utang Lapindo Berantas Inc (LBI) dan PT Miarak Lapindo Jaya (MLJ) sebesar Rp 773,3 miliar berlangsung pada Juli 2019. Berdasarkan laporan audit Badan Pengawas Keuangan (BPK), utang terhadap entitas bisnis Grup Bakrie tersebut diberikan oleh pemerintah untuk melunasi pembelian tanah dan bangunan milik masyarakat yang terkena luapan lumpur Sidoarjo.
Kesepakatan utang tersebut diteken pada 10 Juli 2015 dan harus dilunasi dalam kurun waktu 4 tahun setelahnya. Artinya, utang harus dilunasi sebelum tanggal 10 Juli 2019. Dua perusahaan yang terafiliasi dengan keluarga Aburizal Bakrie tersebut juga telah mengakui memiliki utang tersebut.
"Lapindo Brantas Inc dan Minarak Lapindo Jaya akan membayar dan melunasi pinjaman dana antisipasi tersebut," tulis manajemen Lapindo Brantas yang dikutip dari keterangan resmi yang dikeluarkan atas nama Presiden Direktur Lapindo Brantas Faruq Adi Nugroho Sastrawiguna dan Direktur Utama Minarak Lapindo Benjamin Sastrawiguna
Sebagai latar belakang, pemberian utang tersebut terjadi karena adanya bencana lumpur di tengah Sawar Porong, Kabupaten Sidoarjo pada 29 Mei 2006. Akibat semburan tersebut, 16 desa di tiga kecamatan tenggelam dan setidaknya 30 pabrik ditutup.
Bencana tersebut terjadi karena sebelumnya terdapat aktivitas pengeboran pada Sawah Porong oleh LBI. Dalam laporannya BPK menyebut LBI terindikasi sebagai pihak yang bertanggung jawab penuh atas kerugian yang ditimbulkan oleh semburan lumpur.
Selanjutnya berdasarkan Peraturan Presiden No. 37 tahun 2013, LBI diwajibkan untuk membayar ganti rugi sebesar RP 3,81 triliun kepada korban yang masuk dalam Peta Area Terdampak (PAT).
Namun BPK menyebut karena LBI merupakan perusahaan swasta asing, maka perusahaan tidak dapat melakukan jual beli tanah secara langsung. Oleh karena itu LBI menunjuk MLJ sebagai kuasanya. Selanjutnya keduanya akan disebut sebagai LBI/MLJ.
Akan tetapi hingga tahun 2013, LBI/MLJ baru mengeluarkan dana ganti rugi kepada korban sebesar Rp 3,03 triliun. Akibat kesulitan masalah keuangan, LBI dan MLJ memohon pinjaman kepada pemerintah. Itulah yang membuat perusahaan Bakrie tersebut memiliki utang yang besar kepada pemerintah.
Sementara, ada pula korban lumpur yang berada di luar PAT. Sayangnya, untuk korban-korban tersebut, ganti ruginya dibebankan pada pemerintah menggunakan dana yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Tercatat sudah sejak tahun 2006 pemerintah menganggarkan dana yang cukup besar untuk ganti rugi korban lumpur Sidoarjo. Dana tersebut dituangkan dalam APBN pada pos anggaran untuk Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo.
Kini pemerintah tengah menagih utang LBI/MLJ yang sudah menjadi kewajibannya. Namun LBI/MLJ juga mengingatkan bahwa perusahaan punya piutang sebesar Rp 1,9 triliun ke pemerintah. Artinya pemerintah punya kewajiban membayar dana tersebut kepada LBI/MLJ.
Piutang tersebut berasal dari dana talangan kepada pemerintah melalui aset kedua perusahaan (LBI/MLJ). Piutang tersebut diklaim juga telah diketahui oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) saat melakukan audit keuangan kepada kedua perusahaan tersebut pada Juni 2018.
"Dalam kesempatan yang baik ini perlu juga kami sampaikan bahwa Lapindo Brantas dan Minarak Lapindo Jaya mempunyai piutang kepada pemerintah sebesar US$ 138,23 atau setara Rp 1,9 triliun," tulis keterangan tertulis LBI/MLJ.
Lebih lanjut LBI/MLJ telah mengajukan permohonan kepada pemerintah untuk melakukan pembayaran dengan mekanisme perjumpaan utang. Artinya pemerintah tinggal membayar selisih utang LBI/MLJ dengan piutangnya, yaitu sekitar Rp 1,12 triliun.
Lapindo Cs juga memiliki piutang yang tertagih kepada pemerintah dalam hal cost recovery.
"Intinya mereka mengusulkan set off utang dana talangan pemerintah dengan piutang cost recovery. Kami sedang diskusikan bersama SKK Migas, BPKP, dan Kejaksaan Agung apakah usulan set off dapat dipertimbangkan," kata Direktur Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) Kemenkeu Isa Rachmatarwata kepada CNBC Indonesia, Selasa (25/6/2019).
TIM RISET CNBC INDONESIA
(taa/taa) Next Article Lapindo Mau Bayar Utang Pakai Aset? Kemenkeu: Nanti Dulu!
Kesepakatan utang tersebut diteken pada 10 Juli 2015 dan harus dilunasi dalam kurun waktu 4 tahun setelahnya. Artinya, utang harus dilunasi sebelum tanggal 10 Juli 2019. Dua perusahaan yang terafiliasi dengan keluarga Aburizal Bakrie tersebut juga telah mengakui memiliki utang tersebut.
"Lapindo Brantas Inc dan Minarak Lapindo Jaya akan membayar dan melunasi pinjaman dana antisipasi tersebut," tulis manajemen Lapindo Brantas yang dikutip dari keterangan resmi yang dikeluarkan atas nama Presiden Direktur Lapindo Brantas Faruq Adi Nugroho Sastrawiguna dan Direktur Utama Minarak Lapindo Benjamin Sastrawiguna
Bencana tersebut terjadi karena sebelumnya terdapat aktivitas pengeboran pada Sawah Porong oleh LBI. Dalam laporannya BPK menyebut LBI terindikasi sebagai pihak yang bertanggung jawab penuh atas kerugian yang ditimbulkan oleh semburan lumpur.
Selanjutnya berdasarkan Peraturan Presiden No. 37 tahun 2013, LBI diwajibkan untuk membayar ganti rugi sebesar RP 3,81 triliun kepada korban yang masuk dalam Peta Area Terdampak (PAT).
Namun BPK menyebut karena LBI merupakan perusahaan swasta asing, maka perusahaan tidak dapat melakukan jual beli tanah secara langsung. Oleh karena itu LBI menunjuk MLJ sebagai kuasanya. Selanjutnya keduanya akan disebut sebagai LBI/MLJ.
Akan tetapi hingga tahun 2013, LBI/MLJ baru mengeluarkan dana ganti rugi kepada korban sebesar Rp 3,03 triliun. Akibat kesulitan masalah keuangan, LBI dan MLJ memohon pinjaman kepada pemerintah. Itulah yang membuat perusahaan Bakrie tersebut memiliki utang yang besar kepada pemerintah.
Sementara, ada pula korban lumpur yang berada di luar PAT. Sayangnya, untuk korban-korban tersebut, ganti ruginya dibebankan pada pemerintah menggunakan dana yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Tercatat sudah sejak tahun 2006 pemerintah menganggarkan dana yang cukup besar untuk ganti rugi korban lumpur Sidoarjo. Dana tersebut dituangkan dalam APBN pada pos anggaran untuk Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo.
- APBN 2006: Rp 5,3 miliar
- APBN 2007: Rp 500 miliar
- APBN 2008: Rp 1,1 triliun
- APBN 2009: Rp 1,12 triliun
- APBN 2010: Rp 1,21 triliun
- APBN 2011: Rp 1,28 triliun
- APBN 2012: Rp 1,53 triliun
- APBN 2013: Rp 2,05 triliun
- APBN 2014: Rp 735 miliar
- APBN 2015: Rp 843 miliar
- APBN 2016: Rp 458 miliar
- APBN 2017: Rp 448 miliar
Kini pemerintah tengah menagih utang LBI/MLJ yang sudah menjadi kewajibannya. Namun LBI/MLJ juga mengingatkan bahwa perusahaan punya piutang sebesar Rp 1,9 triliun ke pemerintah. Artinya pemerintah punya kewajiban membayar dana tersebut kepada LBI/MLJ.
Piutang tersebut berasal dari dana talangan kepada pemerintah melalui aset kedua perusahaan (LBI/MLJ). Piutang tersebut diklaim juga telah diketahui oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) saat melakukan audit keuangan kepada kedua perusahaan tersebut pada Juni 2018.
"Dalam kesempatan yang baik ini perlu juga kami sampaikan bahwa Lapindo Brantas dan Minarak Lapindo Jaya mempunyai piutang kepada pemerintah sebesar US$ 138,23 atau setara Rp 1,9 triliun," tulis keterangan tertulis LBI/MLJ.
Lebih lanjut LBI/MLJ telah mengajukan permohonan kepada pemerintah untuk melakukan pembayaran dengan mekanisme perjumpaan utang. Artinya pemerintah tinggal membayar selisih utang LBI/MLJ dengan piutangnya, yaitu sekitar Rp 1,12 triliun.
Lapindo Cs juga memiliki piutang yang tertagih kepada pemerintah dalam hal cost recovery.
"Intinya mereka mengusulkan set off utang dana talangan pemerintah dengan piutang cost recovery. Kami sedang diskusikan bersama SKK Migas, BPKP, dan Kejaksaan Agung apakah usulan set off dapat dipertimbangkan," kata Direktur Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) Kemenkeu Isa Rachmatarwata kepada CNBC Indonesia, Selasa (25/6/2019).
TIM RISET CNBC INDONESIA
(taa/taa) Next Article Lapindo Mau Bayar Utang Pakai Aset? Kemenkeu: Nanti Dulu!
Most Popular