Piala Dunia 2022 Qatar, Tidak Adil Sejak dalam Pikiran

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
18 June 2019 17:23
Sejak awal, penunjukan Qatar sebagai tuan rumah Piala Dunia 2022 sudah penuh kontroversi.
Foto: Reuters
Jakarta, CNBC Indonesia - Mata dunia kini tertuju pada Qatar. Negara kecil di Timur Tengah ini mencuri perhatian kala sejumlah tetangganya memutuskan hubungan. Ini bukan orang pacaran lho. Yang putus di sini bukan hubungan cinta, tetapi hubungan diplomatik. Arab Saudi, Yaman, Uni Emirat Arab, dan sejumlah negara lain sudah bulat putus hubungan dengan Qatar.

Negara-negara tersebut memblokade perbatasannya dengan Qatar. Tidak hanya itu, jalur transportasi darat, laut, dan udara dari dan ke Qatar juga ditutup. Malang nian nasib Qatar, salah satu negara paling makmur di dunia.

Semua ini gara-gara tudingan bahwa Qatar melindungi organisasi dan paham yang dianggap garis keras alias prone to terrorism. Kedekatan Qatar dengan Iran, seteru abadi Arab Saudi, juga ditengarai memantik ketegangan ini. Maklum, Arab Saudi dan Iran sudah lama saling tegang karena memperebutkan status sebagai kekuatan dominan di Timur Tengah.

Perkembangan terbaru ini memunculkan pertanyaan. Bagaimana nasib Piala Dunia 2022? Yup, Qatar merupakan tuan rumah gelaran sepakbola terakbar 4 tahunan ini. Setelah Rusia tahun lalu, Qatar menjadi panggung bagi pemain-pemain sepakbola terbaik dunia.


Christian Ulrichsen, Profesor Hubungan Internasional Baker Institute for Public Policy, mengatakan Piala Dunia 2022 merupakan holy grail bagi Qatar untuk menunjukkan eksistensinya. Namun kini upaya untuk mencapai holy grail tersebut terancam. Pasalnya, Qatar yang tengah berbenah untuk menyambut Piala Dunia justru terancam kesulitan mendatangkan material konstruksi.

"Satu-satunya perbatasan Qatar di darat adalah dengan Arab Saudi. Ini membuat material-material yang dibutuhkan untuk konstruksi akan sulit untuk masuk karena blokade. Bila Piala Dunia 2022 sampai terganggu, maka artinya apa yang dilakukan Qatar selama 10 tahun terakhir untuk membangun image akan jatuh dan menjadi sia-sia," papar Ulrichsen, seperti dilaporkan CNN pada 2017 lalu.

Namun jika melihat lebih jauh, sebenarnya masalah yang membayangi hajatan Piala Dunia 2022 tidak cuma itu. Sejak awal, penunjukan Qatar sebagai tuan rumah sudah penuh kontroversi. Penegak hukum di Amerika Serikat berhasil mengungkap adanya suap dan kongkalikong yang memuluskan jalan Qatar menjadi host Piala Dunia. Bisa dibilang, Piala Dunia 2022 sudah tidak adil sejak dalam pikiran.

Mohammad Bin Hammam, mantan presiden Asian Football Association (AFC), dituding menjadi bohir di balik terpilihnya Qatar (Bin Hammam sendiri adalah warga negara Qatar). Suap bernilai sekitar US$ 1,5 juta disebut mengalir ke petinggi-petinggi asosiasi sepakbola di Afrika agar mereka bersedia memilih Qatar menjadi tuan rumah Piala Dunia 2022.

Total uang suap dari Bin Hammam untuk kepentingan ini dikabarkan mencapai total US$ 5 juta. Bin Hammam memang kemudian terdongkel dari kursi bos AFC secara tidak hormat, tapi bukan karena kasus ini melainkan suap untuk melicinkan jalannya melengserkan Sepp Blatter dari posisi presiden FIFA. Suap senilai US$ 2 juta juga sampai ke tangan Jack Warner, mantan wakil presiden FIFA. Kabarnya, uang ini datang dari perusahaan dan sejumlah keluarga kaya di Qatar.


Terbaru, mantan bos bos asosiasi sepak bola Eropa UEFA Michel Platini, ditahan pada Selasa (18/6/2019) pagi di negaranya. Penahanan itu adalah bagian dari penyelidikan korupsi terkait penetapan Qatar sebagai tuan rumah Piala Dunia 2022.

Ia dibawa untuk ditanyai namun belum ditahan atau dikenakan tuduhan pidana, kata juru bicara jaksa keuangan Prancis kepada CNN.

Meski aroma busuk suap ini sudah tercium ke mana-mana, tapi status Qatar sebagai penyelenggara Piala Dunia 2022 tidak tereliminasi. Pasalnya, laporan Komite Etik FIFA menyatakan aturan yang dilanggar hanya dalam lingkup terbatas dan tidak terbukti terkait dengan proses pemilihan tuan rumah Piala Dunia.

FIFA tidak menemukan keterkaitan langsung antara proses pemilihan tuan rumah Piala Dunia dengan suap yang berasal dari Bin Hammam. Sampai sini, nasib Qatar masih selamat.

Namun, Piala Dunia 2022 tidak hanya dihantui masalah suap dan korupsi saja. Di sana, ada pula isu hak asasi manusia (HAM). Sejumlah kelompok dan media massa melaporkan ada pelanggaran HAM yang utamanya dialami oleh para pekerja migran yang membangun sarana dan prasarana penunjang Piala Dunia di Qatar.


Pekerja migran di Qatar (dan sejumlah negara Timur Tengah) lainnya biasa dikenakan sistem kerja kafala. Artinya, pekerja migran harus datang dengan sponsor yang dari negara asalnya. Ini menyebabkan pekerja migran berada di posisi lemah, karena paspor dan dokumen penting lainnya dipegang oleh pihak sponsor. Buruh juga tidak bisa pindah kerja tanpa restu dari perusahaan sponsor.

Dampaknya, pihak yang mempekerjakan buruh migran ini jadi cenderung semena-mena. Amnesty International melaporkan bahwa telah terjadi eksploitasi terhadap pekerja migran yang membangun Khalifa Stadium.

Kondisi pekerja di tempat penampungan sangat mengenaskan dan mereka bisa dikatakan lebih cocok disebut budak daripada pekerja. Bahkan para pekerja dipaksa menandatangani pernyataan bahwa mereka sudah dibayar dengan layak, padahal kenyataannya sangat jauh dari itu.

Laporan Amnesty International mengungkap fakta-fakta mencengangkan antara lain:
  • 79% pekerja membayar biaya rekrutmen kepada pihak sponsor. Biaya ini begitu tinggi, sehingga tidak jarang dianggap utang yang harus dibayar oleh pekerja kepada sponsor.
  • Pihak kontraktor seringkali tidak memberikan hari libur kepada pekerja migran. Bahkan ada seorang pekerja yang tidak pernah libur selama hampir 5 bulan.
  • 25% pekerja tidak berani melaporkan masalah kesehatan dan keselamatan kerja karena takut dipecat.
  • 4 dari 10 kontraktor mengaku menyita paspor pekerja migran, yanf merupakan tindakan melawan hukum.

"Pekerja migran di Khalifa International Stadium sudah begitu menderita karena Qatar dan FIFA abai untuk melihat sistem ketenagakerjaan yang sangat merugikan. Memikirkan ulang mengenai Piala Dunia 2022 menjadi hal yang mendesak agar hal mengerikan ini tidak menjadi warisan buruk di masa depan," tegas James Lynch, Deputi Direktur Amnesty International.

Isu lain yang bisa mengganggu Piala Dunia 2022 adalah jadwalnya. FIFS telah menetapkan Piala Dunia 2022 dihelat pada 21 November sampai 18 Desember. Pertimbangannya adalah musim dan suhu udara di Qatar yang lebih bersahabat jelang akhir tahun.

Suhu memang bersahabat, tapi jadwal itu tentu mempengaruhi kompetisi liga terutama di Eropa. Belum lagi gelaran Piala Afrika 2023 yang terpaksa mengalah dan memundurkan jadwal dari Januari ke Juni. Buat para pemain Afrika yang mencari nafkah di Eropa, selamat ya. Akhir tahun harus bermain di Piala Dunia dan setelah libur liga harus membela tim nasional di Piala Afrika. Sangat melelahkan...


Gara-gara jadwal ini, banyak pihak yang meradang. Frank Lowy, Presiden Football Federation Australia, menegaskan jadwal Piala Dunia 2022 mengganggu pelaksanaan A-League dan Negeri Kanguru berencana meminta kompensasi dari FIFA karena hal ini.

Richard Scudamore, bos Premier League Inggris, bahkan mempertimbangkan tuntutan hukum kepada FIFA karena pelaksanaan Piala Dunia 2022 menganggu Liga Inggris yang akan menggelar boxing day. Bahkan Theo Zwanziger, Anggota Komite Eksekutif FIFA, menyebut bahwa memercayakan Qatar untuk menyelenggarakan Piala Dunia adalah kesalahan besar.

Meski diberondong berbagai masalah, untuk saat ini belum ada wacana untuk mengevaluasi pelaksanaan Piala Dunia 2022 di Qatar. FIFA menegaskan bahwa mereka masih melakukan kontak seperti biasa dengan komite pelaksana di Qatar. Semua masih berjalan normal.

Untuk saat ini, sepertinya nasi sudah menjadi bubur. Kehendak manusia sudah sulit untuk menjegal pelaksanaan Piala Dunia 2022 di Qatar. Bagi mereka yang kontra, mungkin hanya bisa berharap kepada kuasa Tuhan...

TIM RISET CNBC INDONESIA


(prm/prm) Next Article Legenda Sepak Bola Prancis Michel Platini Ditahan

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular