
Sri Mulyani Disebut Menebar Hoax, Bagaimana Faktanya?
Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
12 June 2019 15:58

Jakarta, CNBC Indonesia - Baru-baru ini, pemerintah kembali mendapat kritik perihal kinerja pertumbuhan ekonomi yang acap kali tidak mencapai target.
Adalah Bambang Haryo, salah satu anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI dari fraksi partai Gerindra yang mengatakan bahwa alasan perang dagang Amerika Serikat (AS)-China tidak tepat untuk menjelaskan ekspor yang loyo.
"Karena ini banyak sekali industri manufaktur yang ekspor dari China pada pindah ke Vietnam, Kamboja, Malaysia. Seharusnya Indonesia bisa memperoleh kesempatan dan dimanfaatkan betul. Kami melihat perkembangan Vietnam kuartal I-2019 untuk industri meningkat menguat 86% dan 50% di antaranya dari China," ujarnya di Gedung Paripurna, Jakarta, Selasa (11/6/2019).
Bahkan bambang sampai-sampai menyebut Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, telah melakukan pembohongan publik dan penebar hoaks.
"Jadi apa yang disampaikan Menkeu tidak benar. Ini sama dengan pembohongan dan hoaks, harus diluruskan. Apa yang dikatakan Menteri Keuangan itu tidak benar, dan ini merupakan pembohongan publik," tegasnya.
Tak tinggal diam, Sri Mulyani pun membantah pernyataan Bambang.
"Yang saya sampaikan statement fakta, kalau bicara preskripsi apa yang harus dilakukan itu beda," tegas Sri Mulyani.
Menurutnya, data ekspor yang dikatakan Bambang pada tahun 2012 hingga 2014 adalah sebelum adanya perang dagang.
"Jadi memang waktu 2014, 2015, 2016 kita masuk dalam suasana kondisi ekonomi global yang sangat menekan, harga komoditas jatuh dan volume dari ekspor kita juga menurun. Ini yang menyebabkan kontraksi, waktu kita sudah lihat recovery yaitu mulanya akhir 2017 dan berlangsung di 2018, tiba-tiba di akhir 2018 presiden Trump eskalasi, ini yang menyebabkan," jelasnya.
Jadi bagaimana kondisi yang sebenarnya?
Berdasarkan data yang dihimpun dari Refinitiv dan Badan Pusat Statistik (BPS), nilai ekspor Indonesia, setidaknya sejak 2012, selalu mengalami kontraksi hingga 2016.
Artinya, dalam kurun waktu lima tahun, nilai ekspor Indonesia selalu berkurang dari tahun ke tahun. Bahkan pada tahun 2016 nilai ekspor Indonesia hanya sebesar US$ 145 miliar atau yang terendah dalam sejak 2009.
Namun ternyata kondisi serupa tidak dialami negara tetangga, seperti Malaysia dan Vietnam. Pada periode 2012-2016, kedua negara tersebut terbukti masih mampu meningkatkan kinerja ekspor dari tahun ke tahun. Sangat kontras dengan kondisi Indonesia.
Kabar baiknya, pada tahun 2017 Indonesia sudah mulai mampu untuk menggenjot kinerja ekspor dengan pertumbuhan mencapai 16,3%. Pun melambat, pada tahun 2018 ekspor juga masih tumbuh sebesar 6,7%.
Tapi ada juga kabar kurang baik, karena angka pertumbuhan ekspor yang sedemikian rupa itu berada di bawah Malaysia dan Vietnam. Artinya, negara tetangga memang terbukti mampu mencatatkan kinerja ekspor yang lebih baik.
Padahal keduanya juga menghadapi gejolak perekonomian global yang sama dengan Indonesia. Saat ada perang dagang AS-China pun, Malaysia dan Vietnam juga berada dalam kondisi yang sama.
Bila dibilang kinerja ekspor Indonesia agak pas-pasan dan cenderung loyo, ada benarnya.
Ketergantungan ekspor Indonesia terhadap komoditas mentah perlu menjadi perhatian yang serius.
BERLANUT KE HALAMAN 2>>>
Adalah Bambang Haryo, salah satu anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI dari fraksi partai Gerindra yang mengatakan bahwa alasan perang dagang Amerika Serikat (AS)-China tidak tepat untuk menjelaskan ekspor yang loyo.
"Karena ini banyak sekali industri manufaktur yang ekspor dari China pada pindah ke Vietnam, Kamboja, Malaysia. Seharusnya Indonesia bisa memperoleh kesempatan dan dimanfaatkan betul. Kami melihat perkembangan Vietnam kuartal I-2019 untuk industri meningkat menguat 86% dan 50% di antaranya dari China," ujarnya di Gedung Paripurna, Jakarta, Selasa (11/6/2019).
"Jadi apa yang disampaikan Menkeu tidak benar. Ini sama dengan pembohongan dan hoaks, harus diluruskan. Apa yang dikatakan Menteri Keuangan itu tidak benar, dan ini merupakan pembohongan publik," tegasnya.
Tak tinggal diam, Sri Mulyani pun membantah pernyataan Bambang.
"Yang saya sampaikan statement fakta, kalau bicara preskripsi apa yang harus dilakukan itu beda," tegas Sri Mulyani.
Menurutnya, data ekspor yang dikatakan Bambang pada tahun 2012 hingga 2014 adalah sebelum adanya perang dagang.
"Jadi memang waktu 2014, 2015, 2016 kita masuk dalam suasana kondisi ekonomi global yang sangat menekan, harga komoditas jatuh dan volume dari ekspor kita juga menurun. Ini yang menyebabkan kontraksi, waktu kita sudah lihat recovery yaitu mulanya akhir 2017 dan berlangsung di 2018, tiba-tiba di akhir 2018 presiden Trump eskalasi, ini yang menyebabkan," jelasnya.
Jadi bagaimana kondisi yang sebenarnya?
Berdasarkan data yang dihimpun dari Refinitiv dan Badan Pusat Statistik (BPS), nilai ekspor Indonesia, setidaknya sejak 2012, selalu mengalami kontraksi hingga 2016.
Artinya, dalam kurun waktu lima tahun, nilai ekspor Indonesia selalu berkurang dari tahun ke tahun. Bahkan pada tahun 2016 nilai ekspor Indonesia hanya sebesar US$ 145 miliar atau yang terendah dalam sejak 2009.
Namun ternyata kondisi serupa tidak dialami negara tetangga, seperti Malaysia dan Vietnam. Pada periode 2012-2016, kedua negara tersebut terbukti masih mampu meningkatkan kinerja ekspor dari tahun ke tahun. Sangat kontras dengan kondisi Indonesia.
Kabar baiknya, pada tahun 2017 Indonesia sudah mulai mampu untuk menggenjot kinerja ekspor dengan pertumbuhan mencapai 16,3%. Pun melambat, pada tahun 2018 ekspor juga masih tumbuh sebesar 6,7%.
Tapi ada juga kabar kurang baik, karena angka pertumbuhan ekspor yang sedemikian rupa itu berada di bawah Malaysia dan Vietnam. Artinya, negara tetangga memang terbukti mampu mencatatkan kinerja ekspor yang lebih baik.
Padahal keduanya juga menghadapi gejolak perekonomian global yang sama dengan Indonesia. Saat ada perang dagang AS-China pun, Malaysia dan Vietnam juga berada dalam kondisi yang sama.
Bila dibilang kinerja ekspor Indonesia agak pas-pasan dan cenderung loyo, ada benarnya.
Ketergantungan ekspor Indonesia terhadap komoditas mentah perlu menjadi perhatian yang serius.
BERLANUT KE HALAMAN 2>>>
Next Page
Industri Adalah Kunci
Pages
Most Popular