
Raih Laba Rp 11,6 T, PLN Tak Mungkin Poles Laporan Keuangan
Advertorial, CNBC Indonesia
02 June 2019 00:00

PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) akhirnya mempublikasikan laporan Keuangan 2018, pada akhir Mei 2019.
Publikasi laporan keuangan memang agak terlambat dari jadwal sebelumnya yakni akhir Maret 2019.
Meski demikian Pengamat Ekonomi Energi dan Pertambangan Universitas Gadjah Mada Fahmy Radhi menepis anggapan bahwa PLN sengaja memperlambat publikasi laporan keuangan sebagai upaya untuk melakukan pencitraan di tahun politik.
"Publikasi laporan keuangan PLN audited itu sekaligus menyangkal bahwa ada upaya memoles agar kinerja PLN kelihatan moncer," ujarnya, Minggu (2/6/2019).
Menurutnya, sebagai BUMN besar dan strategis, yang mengeluarkan global bond dan mendapatkan kredit dari lembaga keuangan internasional, mustahil bagi PLN untuk memoles laporan keuangan tahun berjalan.
Pasalnya, polesan laporan keuangan akan menurunkan kredibilitas PLN di mata pembeli global bond dan kreditor international, serta Pemerintah dan Publik.
"Selain itu, laporan keuangan PLN juga diaudit secara berlapis oleh BPKP, BPK dan Kantor Akuntan Publik sehingga tidak ada celah bagi PLN untuk merekayasa," jelasnya.
Bahkan, tuturnya, hasil audit dari kantor akuntan publik RSM Amir Abadi Yusuf dan rekan telah memberikan opini bahwa Laporan Keuangan PLN 2018 disajikan secara wajar dalam semua hal yang material, posisi keuangan konsolidasi anak-anak perusahaan, serta kinerja keuangan dan arus kas konsolidasi untuk tahun berjalan, sesuai dengan Prinsip Akuntansi yang berlaku umum di Indonesia.
Secara terpisah, Pelaksana Harian (Plh) Executive Vice President Corporate Communication & CSR PLN Dwi Suryo Abdullah saat dikonfirmasi terkait Kompensasi yang diberikan pemerintah, menjelaskan pemberian kompensasi kepada PLN terjadi karena pemerintah tidak mengizinkan PLN memberlakukan tarif adjustment di tengah tekanan kondisi makroekonomi.
Sebagai pengingat, tariff adjustment sejak pertengahan 2017 tidak diberlakukan sesuai Peraturan Menteri ESDM Nomor 18 Tahun 2017, padahal berdasarkan Permen tersebut, tariff adjustment yang dipengaruhi oleh kurs dolar AS, harga minyak mentah Indonesia (ICP), dan/atau inflasi dilakukan penyesuaian setiap tiga bulan.
"Tahun 2018, kurs dan harga minyak naik signifikan dibandingkan dengan acuan APBN 2018. Akibatnya, setelah dihitung, kompensasi yang diterima perseroan cukup besar," ujar Dwi Suryo.
Menurutnya pemberian kompensasi sesuai dengan penjelasan Pasal 66 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Pasal tersebut menyatakan meski BUMN didirikan dengan maksud dan tujuan untuk mengejar keuntungan, tidak tertutup kemungkinan untuk hal-hal yang mendesak BUMN diberikan penugasan khusus oleh pemerintah.
"Apabila penugasan tersebut menurut kajian secara finansial tidak fisibel, pemerintah harus memberikan kompensasi atas semua biaya yang telah dikeluarkan oleh BUMN tersebut termasuk margin yang diharapkan," ujarnya.
Berdasarkan hasil audit kantor akuntan publik dan BPK, PLN mencetak Laba Bersih 2018 sebesar Rp 11,6 triliun meningkat signifikan dibanding Laba Bersih 2017 yang hanya mencapai Rp. 4,4 triliun.
Peningkatan laba bersih itu ditopang peningkatan pendapatan usaha dan pendapatan lain-lain, serta penurunan biaya operasional, termasuk penguatan kurs mata uang rupiah terhadap mata uang Dollar AS. Peningkatan pendapatan diperoleh dari kenaikan penjualan setrum yang meningkat sebesar 6,85% dari Rp 246,6 pada 2017 naik menjadi Rp 263,5 pada 2018.
Peningkatan pendapatan terjadi ketika tarif listrik tidak dinaikkan dan penyesuaian tarif otomatis (automatic adjustment) tidak diberlakukan sejak awal Januari 2017.
Kenaikan pendapatan PLN lebih dipicu oleh kenaikan jumlah pelanggan, seiring dengan capaian rasio elektrifikasi yang sudah mencapai 98,3% pada 2018.
Jumlah pelanggan mengalami kenaikan dari 68,1 juta pelanggan pada 2017 menjadi 71,9 juta pelanggan pada 2018, naik sekitar 3,8 juta pelanggan.
Volume penjualan listrik naik sebesar 6,93%, dari Rp 181,8 triliun pada 2017 menjadi Rp 194,4 triliun. Nilai penjualan daya listrik juga mengalami peningkatan sekitar 5,15%, dari 223 Terra Watt hour (TWh) pada 2017 menjadi 234,5 TWh pada 2018.
Peningkatan penjualan listrik itu sejalan dengan keberhasilan PLN selama 2018 dalam menambah kapasitas pembangkit dan jaringan transmisi sepanjang 5.323 kilometer sirkuit (kms) menjadi 53.606 kms, serta menambah gardu induk sebesar 20.645 MVA menjadi 131.164 MVA.
Sedangkan pendapatan lain-lain yang cukup signifikan diperoleh dari pendapatan kompensasi Pemerintah dan Penyesuaian harga pembelian bahan bakar dan pelumas, yang dibukukan secara akrual sebesar Rp 7,45 triliun.
Berdasarkan laporan keuangan PLN 2018 yang diunggah ke situs Bursa Efek Indonesia (BEI) dijelaskan bahwa Pendapatan Kompensasi merupakan pendapatan dari pemerintah atas penggantian Biaya Pokok Penyediaan (BPP) tenaga listrik beberapa golongan pelanggan, yang tarif penjualan tenaga listriknya lebih rendah dibandingkan BPP.
Namun, pendapatan kompensasi itu belum diperhitungkan dalam subsidi, yang diakui sebagai pendapatan atas dasar akrual.
Total pendapatan usaha dan pendapatan lain-lain, tidak hanya dapat menutup biaya usaha, tetapi juga dapat menutup biaya lain-lain termasuk kerugian belum direalisasikan (unrealized loss), yang muncul akibat selisih kurs.
Seiring dengan penguatan kurs rupiah terhadap kurs Dollar AS, pada triwulan ketiga 2018 unrealized loss dicatatakan sebesar Rp 17,3 triliun turun menjadi Rp. 10,9 triliun pada triwulan keempat 2018.
Perolehan laba bersih sebesar Rp 11,6 triliun itu juga diperoleh dari upaya efisiensi yang dilakukan oleh PLN dalam mengendalikan biaya energi pembangkit, yang ditopang oleh kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) Batubara dan keringanan harga Gas.
Berdasarkan Keputusan Menteri ESDM Nomor 1395K/30/MEM/2018 yang menetapkan DMO harga Batubara yang dijual kepada PLN ditetapkan sebesar US$ 70 per ton, yang berlaku sejak 12 Maret 2018.
Sedangkan, berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2016 tentang Harga Jual Gas Bumi dan Keputusan Menteri ESDM Nomor 434K/2017, PLN juga dapat keringanan harga gas melalui optimalisasi kontrak pembelian gas dalam jangka panjang.
Dengan DMO harga Batubara dan keringanan harga gas tersebut, beban biaya operasional PLN dapat diturunkan, sehingga menurunkan BPP tenaga listrik, yang menaikkan laba bersih usaha. Sedangkan, meningkatnya Indonesia Crude Price (ICP) tidak begitu memberatkan biaya operasional PLN.
Pasalnya, penggunaan BBM dalam bauran energi Pembangkit PLN tinggal 5,9%. Sedangkan penggunaan energi baru dan terbarukan (EBT), yang sumber dayanya tersedia di dalam negeri, semakin meningkat, yang mencapai 12%. Kapasitas pembangkit EBT akan meningkat lagi dengan beroperasinya Pembangkit Tenaga Bayu (Wind Power Plant) 75 MW di Sulawesi Selatan.
(adv/adv) Next Article Mantap! BJTM Berhasil Jadi BPD Terbesar dalam KUB
Publikasi laporan keuangan memang agak terlambat dari jadwal sebelumnya yakni akhir Maret 2019.
Meski demikian Pengamat Ekonomi Energi dan Pertambangan Universitas Gadjah Mada Fahmy Radhi menepis anggapan bahwa PLN sengaja memperlambat publikasi laporan keuangan sebagai upaya untuk melakukan pencitraan di tahun politik.
"Publikasi laporan keuangan PLN audited itu sekaligus menyangkal bahwa ada upaya memoles agar kinerja PLN kelihatan moncer," ujarnya, Minggu (2/6/2019).
Menurutnya, sebagai BUMN besar dan strategis, yang mengeluarkan global bond dan mendapatkan kredit dari lembaga keuangan internasional, mustahil bagi PLN untuk memoles laporan keuangan tahun berjalan.
Pasalnya, polesan laporan keuangan akan menurunkan kredibilitas PLN di mata pembeli global bond dan kreditor international, serta Pemerintah dan Publik.
"Selain itu, laporan keuangan PLN juga diaudit secara berlapis oleh BPKP, BPK dan Kantor Akuntan Publik sehingga tidak ada celah bagi PLN untuk merekayasa," jelasnya.
Bahkan, tuturnya, hasil audit dari kantor akuntan publik RSM Amir Abadi Yusuf dan rekan telah memberikan opini bahwa Laporan Keuangan PLN 2018 disajikan secara wajar dalam semua hal yang material, posisi keuangan konsolidasi anak-anak perusahaan, serta kinerja keuangan dan arus kas konsolidasi untuk tahun berjalan, sesuai dengan Prinsip Akuntansi yang berlaku umum di Indonesia.
Secara terpisah, Pelaksana Harian (Plh) Executive Vice President Corporate Communication & CSR PLN Dwi Suryo Abdullah saat dikonfirmasi terkait Kompensasi yang diberikan pemerintah, menjelaskan pemberian kompensasi kepada PLN terjadi karena pemerintah tidak mengizinkan PLN memberlakukan tarif adjustment di tengah tekanan kondisi makroekonomi.
Sebagai pengingat, tariff adjustment sejak pertengahan 2017 tidak diberlakukan sesuai Peraturan Menteri ESDM Nomor 18 Tahun 2017, padahal berdasarkan Permen tersebut, tariff adjustment yang dipengaruhi oleh kurs dolar AS, harga minyak mentah Indonesia (ICP), dan/atau inflasi dilakukan penyesuaian setiap tiga bulan.
"Tahun 2018, kurs dan harga minyak naik signifikan dibandingkan dengan acuan APBN 2018. Akibatnya, setelah dihitung, kompensasi yang diterima perseroan cukup besar," ujar Dwi Suryo.
Menurutnya pemberian kompensasi sesuai dengan penjelasan Pasal 66 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Pasal tersebut menyatakan meski BUMN didirikan dengan maksud dan tujuan untuk mengejar keuntungan, tidak tertutup kemungkinan untuk hal-hal yang mendesak BUMN diberikan penugasan khusus oleh pemerintah.
"Apabila penugasan tersebut menurut kajian secara finansial tidak fisibel, pemerintah harus memberikan kompensasi atas semua biaya yang telah dikeluarkan oleh BUMN tersebut termasuk margin yang diharapkan," ujarnya.
Berdasarkan hasil audit kantor akuntan publik dan BPK, PLN mencetak Laba Bersih 2018 sebesar Rp 11,6 triliun meningkat signifikan dibanding Laba Bersih 2017 yang hanya mencapai Rp. 4,4 triliun.
Peningkatan laba bersih itu ditopang peningkatan pendapatan usaha dan pendapatan lain-lain, serta penurunan biaya operasional, termasuk penguatan kurs mata uang rupiah terhadap mata uang Dollar AS. Peningkatan pendapatan diperoleh dari kenaikan penjualan setrum yang meningkat sebesar 6,85% dari Rp 246,6 pada 2017 naik menjadi Rp 263,5 pada 2018.
Peningkatan pendapatan terjadi ketika tarif listrik tidak dinaikkan dan penyesuaian tarif otomatis (automatic adjustment) tidak diberlakukan sejak awal Januari 2017.
Kenaikan pendapatan PLN lebih dipicu oleh kenaikan jumlah pelanggan, seiring dengan capaian rasio elektrifikasi yang sudah mencapai 98,3% pada 2018.
Jumlah pelanggan mengalami kenaikan dari 68,1 juta pelanggan pada 2017 menjadi 71,9 juta pelanggan pada 2018, naik sekitar 3,8 juta pelanggan.
Volume penjualan listrik naik sebesar 6,93%, dari Rp 181,8 triliun pada 2017 menjadi Rp 194,4 triliun. Nilai penjualan daya listrik juga mengalami peningkatan sekitar 5,15%, dari 223 Terra Watt hour (TWh) pada 2017 menjadi 234,5 TWh pada 2018.
Peningkatan penjualan listrik itu sejalan dengan keberhasilan PLN selama 2018 dalam menambah kapasitas pembangkit dan jaringan transmisi sepanjang 5.323 kilometer sirkuit (kms) menjadi 53.606 kms, serta menambah gardu induk sebesar 20.645 MVA menjadi 131.164 MVA.
Sedangkan pendapatan lain-lain yang cukup signifikan diperoleh dari pendapatan kompensasi Pemerintah dan Penyesuaian harga pembelian bahan bakar dan pelumas, yang dibukukan secara akrual sebesar Rp 7,45 triliun.
Berdasarkan laporan keuangan PLN 2018 yang diunggah ke situs Bursa Efek Indonesia (BEI) dijelaskan bahwa Pendapatan Kompensasi merupakan pendapatan dari pemerintah atas penggantian Biaya Pokok Penyediaan (BPP) tenaga listrik beberapa golongan pelanggan, yang tarif penjualan tenaga listriknya lebih rendah dibandingkan BPP.
Namun, pendapatan kompensasi itu belum diperhitungkan dalam subsidi, yang diakui sebagai pendapatan atas dasar akrual.
Total pendapatan usaha dan pendapatan lain-lain, tidak hanya dapat menutup biaya usaha, tetapi juga dapat menutup biaya lain-lain termasuk kerugian belum direalisasikan (unrealized loss), yang muncul akibat selisih kurs.
Seiring dengan penguatan kurs rupiah terhadap kurs Dollar AS, pada triwulan ketiga 2018 unrealized loss dicatatakan sebesar Rp 17,3 triliun turun menjadi Rp. 10,9 triliun pada triwulan keempat 2018.
Perolehan laba bersih sebesar Rp 11,6 triliun itu juga diperoleh dari upaya efisiensi yang dilakukan oleh PLN dalam mengendalikan biaya energi pembangkit, yang ditopang oleh kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) Batubara dan keringanan harga Gas.
Berdasarkan Keputusan Menteri ESDM Nomor 1395K/30/MEM/2018 yang menetapkan DMO harga Batubara yang dijual kepada PLN ditetapkan sebesar US$ 70 per ton, yang berlaku sejak 12 Maret 2018.
Sedangkan, berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2016 tentang Harga Jual Gas Bumi dan Keputusan Menteri ESDM Nomor 434K/2017, PLN juga dapat keringanan harga gas melalui optimalisasi kontrak pembelian gas dalam jangka panjang.
Dengan DMO harga Batubara dan keringanan harga gas tersebut, beban biaya operasional PLN dapat diturunkan, sehingga menurunkan BPP tenaga listrik, yang menaikkan laba bersih usaha. Sedangkan, meningkatnya Indonesia Crude Price (ICP) tidak begitu memberatkan biaya operasional PLN.
Pasalnya, penggunaan BBM dalam bauran energi Pembangkit PLN tinggal 5,9%. Sedangkan penggunaan energi baru dan terbarukan (EBT), yang sumber dayanya tersedia di dalam negeri, semakin meningkat, yang mencapai 12%. Kapasitas pembangkit EBT akan meningkat lagi dengan beroperasinya Pembangkit Tenaga Bayu (Wind Power Plant) 75 MW di Sulawesi Selatan.
(adv/adv) Next Article Mantap! BJTM Berhasil Jadi BPD Terbesar dalam KUB
Most Popular