Sandiaga Sebut 94% Pangan RI Dikuasai Kartel, Ini Faktanya!

Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
27 May 2019 16:11
Beras saat ini diduga masih bermasalah, terlihat dari adanya disparitas harga yang tinggi antara tingkat produsen dengan konsumen.
Foto: Pasangan nomor urut 02 Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno menolak hasil rekapitulasi KPU dan memutuskan untuk mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK). (Antara Foto/Sigid Kurniawan/ via REUTERS)
Jakarta, CNBC Indonesia - "Pola distribusi komoditas [beras] saat ini diduga masih bermasalah, hal ini terlihat dari adanya disparitas harga yang tinggi antara harga di tingkat produsen dengan harga di tingkat konsumen. Serta ketersediaan barang yang kurang mencukupi pada saat dibutuhkan terutama di kota-kota besar," tulis Badan Pusat Statistik (BPS) dalam laporan 'Distribusi Perdagangan Komoditas Beras Indonesia 2018'.

Mungkin itulah yang juga membuat cawapres nomor urut 02, Sandiaga Uno mengatakan bahwa ketahanan pangan Indonesia saat ini masih kurang baik dan banyak dikuasai kartel.

"Tiap pemerintah harus punya ketahanan pangan yang kuat. Indonesia ini saya rasa kurang baik. Di Indonesia sendiri hanya 6% yang dikuasai Bulog, 94% sisanya dikuasai kartel. Mafia impor, pangan pegang kendali," ujar Sandiaga saat menghadiri acara silaturahmi Laskar Pangan Dunia, Sabtu (25/5/2019).

Sebagai bahan makanan pokok sebagian besar masyarakat Indonesia, beras memiliki peranan yang penting dalam ketahanan pangan nasional. Memang, kategori tanaman pangan di Indonesia juga termasuk jagung, kedelai, kacang tanah, kacang hijau, ubi kayu (singkong), ubi jalar (ubi), namun beras memiliki derajat yang lebih tinggi.

Dalam perhitungan tingkat kemiskinan yang dilakukan oleh BPS, komoditas beras memberi pengaruh yang paling besar, 19,54% di perkotaan dan 25,51% di pedesaan. Artinya, kala harga beras naik, akan ada banyak penduduk yang kemungkinan besar menyandang status 'miskin' (data per September 2018).

Namun sayangnya, pertumbuhan produksi padi sepanjang periode 2015-2018 lebih banyak mengalami penurunan ketimbang peningkatan.

Berdasarkan data dari Kementerian pertanian, pada tahun 2015, pertumbuhan produksi padi masih sebesar 6,42% year-on-year (YoY). Namun pada tahun 2018 pertumbuhannya turun jauh hingga tinggal 2,33% YoY, meskipun lebih tinggi dibanding tahun 2017 yang sebesar 2,26% YoY.



Tidak hanya di sisi produksi, ternyata komoditas beras "diduga mengalami masalah pada distribusi", seperti yang dikemukakan oleh BPS. Dugaan tersebut didasarkan pada ketimpangan harga yang cukup tinggi antara harga di tingkat produsen dan harga di tingkat konsumen.

Berdasarkan survei yang dilakukan oleh BPS, secara umum rantai pasokan beras dari produsen sampai dengan konsumen akhir adalah tiga rantai, yaitu Produsen-Distributor-Pedagang Eceran-Konsumen Akhir.

Akan tetapi BPS juga menambahkan bahwa pola distribusi beras berpotensi menjadi lima rantai, yaitu Produsen-Distributor-Agen-Pedagang Grosir-Pedagang Eceran-Konsumen Akhir.

Alhasil Margin Perdagangan dan Pengangkutan (MPP) komoditas beras secara rata-rata nasional mencapai 25,35%. Artinya kenaikan harga dari tingkat produsen sampai ke konsumen terindikasi sebesar 25,35%. Bahkan di provinsi Sumatera selatan, dimana rantai pasokan beras adalah empat, MPP melonjak hingga 28,58%.

Sedihnya, pihak produsen hanya mendapatkan marjin 1,43% saja. Sementara distributor dan pedagang eceran mendapat marjin masing-masing sebesar 11,83% dan 12,09%.

Sumber: BPS


Institute for Development of Economics dan Finance (INDEF) juga menyatakan bahwa rantai distribusi komoditas beras yang kelewat panjang akan berdampak pada lonjakan harga hingga dua sampai tiga kali lipat di tingkat konsumen, dibanding harga di level petani.

Kenaikan harga inilah yang berusaha diantisipasi oleh pemerintah dengan melakukan impor beras. Dengan adanya impor, pasokan diharapkan melimpah dan membuat harga turun. Pada tahun 2018, impor beras RI tercatat sebesar 2,25 juta ton, atau tertinggi sejak 2011. Dampak lain dari rantai pasokan yang panjang adalah pemantauan stok beras yang kian sulit. Dan tampaknya juga masih terlalu sulit bagi pemerintah.

Terbukti sepanjang periode 2014-2018, Indonesia selalu melakukan impor beras di saat data Kementerian Pertanian menunjukkan pasokan dalam keadaan berlebih, atau surplus.



Tercatat pada tahun 2016, neraca beras (pasokan-konsumsi) menunjukkan surplus sebesar 20,1 juta ton. Kala itu impor beras juga membengkak sebesar 1,28 juta ton. Ini menjadi salah satu indikasi bahwa keputusan impor pemerintah harus diperbaiki.

Pendataan pasokan harus lebih cermat dan terperinci. Karena bila tidak, impor beras akan terus dilakukan meskipun pasokan menggunung. Dugaan peran kartel dalam mengendalikan harga beras melalui rantai distribusi juga semakin sulit diusir.



TIM RISET CNBC INDONESIA


(taa/dru) Next Article Buwas Siap Buka Lapak di Pinggir Jalan Lawan Kartel Beras

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular