Keruk Uang RI Triliunan, Saatnya Google Cs Patuh Bayar Pajak
CNBC Indonesia, CNBC Indonesia
06 April 2019 12:35

Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah akhirnya punya peraturan atau dasar hukum untuk memunggut pada pajak dari perusahaan-perusahaan teknologi yang menjalankan bisnis di Indonesia.
Aturan perpajakan baru yang dikeluarkan pemerintah tersebut diharapkan bisa menjadi solusi agar pemerintah tak perlu lagi mengejar-ngejar Google, Facebook dan perusahaan sejenis lainnya untuk menagih pajak.
Ketentuan baru tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 35/2019 tentang Penentuan Bentuk Usaha Tetap (BUT). Peraturan ini sudah diteken Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pada 1 April 2019 dan berlaku bersamaan pada saat diundangkan.
Peraturan ini menjabarkan tentang kewajiban perpajakan bagi perusahaan atau orang asing yang berbisnis di Indonesia, baik itu perusahaan konvensional maupun yang beroperasi secara digital.
Melalui aturan ini, fiskus pajak secara tidak langsung mendapatkan kemudahan pada saat memeriksa wajib pajak BUT lantaran penetapan BUT kini dipertegas sebagai subjek pajak luar negeri, yang selama ini diatur dalam Undang-Undang (UU) 36/2008 tentang Pajak Penghasilan (PPh).
Pada pasal 2 aturan ini meminta perusahaan atau orang asing, seperti Google, Facebook dan perusahaan sejenis lainnya, yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui BUT wajib mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), paling lama 1 bulan setelah mulai menjalankan usaha dalam BUT.
Tak hanya itu, perusahaan atau orang asing juga wajib menyerahkan objek pajak sesuai dengan ketentuan UU 42/2009 tentang pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) sebagai pengusaha kena pajak (PKP).
Kriteria BUT dalam hal ini adalah suatu tempat usaha di Indonesia yang bersifat permanen, atau tempat usaha yang digunakan perusahaan atau orang asing untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan yang mencakup segala jenis tempat, ruang, fasilitas atau instalasi.
Perusahaan atau orang asing yang melakukan kegiatan BUT pun akan dimintai persetujuan penghindaran pajak berganda (P3B), dan berlaku pada bentuk usaha yang melakukan persiapan atau penunjang.
Upaya untuk membidik Google, Facebook dan perusahaan sejenis lainnya memang gencar dilakukan di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Pasalnya isu pajak Google Cs memang menjadi sorotan komunitas global.
Semua mata tertuju kepada perusahaan berbasis teknologi setelah lahirnya istilah Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) yang kali pertama didengungkan oleh Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD).
BEPS bisa diartikan sebagai aktivitas yang menggerus basis pajak dengan mengalihkan keuntungan operasional ke negara lain yang merupakan surga pajak (tax haven).
Aktivitas ini masih terjadi sampai sekarang, dan tetap dipraktikkan oleh perusahaan teknologi berbasis internet. Mengutip Reuters, Google memindahkan EUR 19,9 miliar laba mereka pada 2017 dari operasional di Belanda ke sebuah perusahaan cangkang (shell company) di Bermuda. Jumlah ini bertambah sekitar EUR 4 miliar ketimbang tahun sebelumnya.
Di era pemerintahan Jokowi pendekatan kepada Google dkk dimulai ketika Bambang Brodjonegoro menjadi Menteri Keuangan. Pada awal 2016, Bambang yang kini menjabat sebagai Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional, menegaskan bahwa perusahaan berbasis internet harus membentuk perusahaan di Indonesia agar perlakuan pajaknya setara dengan sektor-sektor lain.
"Semua harus membentuk permanent establishment, Badan Usaha Tetap, seperti kontraktor di sektor migas. Jadi mereka bisa dipajaki," kata Bambang dalam wawancara dengan Reuters pada Februari 2016.
Pada April 2016, Bambang mulai tegas dengan menyebut merek. Dalam konferensi pers pada sebuah malam pada 6 April 2016, kira-kira 3 tahun lalu, eks Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia itu menyebut empat nama yaitu Yahoo, Twitter, Facebook, dan Google.
Bambang menyoroti pendapatan iklan mereka yang tidak dinikmati oleh Indonesia. Harusnya pendapatan iklan dari aktivitas mereka di Indonesia menjadi sumber penerimaan pajak.
"Pendapatan dari iklan semestinya menjadi bagian yang bisa dipajaki. Kami akan melakukan review, Intinya adalah kami akan serius dalam urusan pajak ekonomi digital," tegasnya, mengutip Reuters.
Menurut data Kementerian Komunikasi dan Informatika, pendapatan iklan digital di Indonesia pada 2016 mencapai US$ 800 juta. Seluruhnya tidak dipajaki.
Dengan terbitnya PMK tersebut, tak ada lagi ruang penghindaran kewajiban perpajakan bagi perusahaan internasional yang beroperasi di Indonesia seperti Google, Facebook, maupun Twitter.
Kini mereka harus mematuhi peraturan perpajakan yang berlaku, sesuai dengan terbitnya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 35/2019 tentang Penentuan Bentuk Usaha Tetap (BUT).
Selama ini dasar hukum untuk memajaki BUT hanya mengacu pada Undang-Undang (UU) 36/2008 tentang Pajak Penghasilan (PPh). Kini dengan aturan baru, kewajiban perpajakan BUT makin jelas.
Jurus Sri Mulyani Bidik Pajak Google Cs
[Gambas:Video CNBC]
(hps/hps) Next Article G20 Mantap Siapkan Aturan Pajaki Google Cs, AS Gelisah
Aturan perpajakan baru yang dikeluarkan pemerintah tersebut diharapkan bisa menjadi solusi agar pemerintah tak perlu lagi mengejar-ngejar Google, Facebook dan perusahaan sejenis lainnya untuk menagih pajak.
Ketentuan baru tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 35/2019 tentang Penentuan Bentuk Usaha Tetap (BUT). Peraturan ini sudah diteken Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pada 1 April 2019 dan berlaku bersamaan pada saat diundangkan.
Peraturan ini menjabarkan tentang kewajiban perpajakan bagi perusahaan atau orang asing yang berbisnis di Indonesia, baik itu perusahaan konvensional maupun yang beroperasi secara digital.
Pada pasal 2 aturan ini meminta perusahaan atau orang asing, seperti Google, Facebook dan perusahaan sejenis lainnya, yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui BUT wajib mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), paling lama 1 bulan setelah mulai menjalankan usaha dalam BUT.
Tak hanya itu, perusahaan atau orang asing juga wajib menyerahkan objek pajak sesuai dengan ketentuan UU 42/2009 tentang pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) sebagai pengusaha kena pajak (PKP).
Kriteria BUT dalam hal ini adalah suatu tempat usaha di Indonesia yang bersifat permanen, atau tempat usaha yang digunakan perusahaan atau orang asing untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan yang mencakup segala jenis tempat, ruang, fasilitas atau instalasi.
Perusahaan atau orang asing yang melakukan kegiatan BUT pun akan dimintai persetujuan penghindaran pajak berganda (P3B), dan berlaku pada bentuk usaha yang melakukan persiapan atau penunjang.
Upaya untuk membidik Google, Facebook dan perusahaan sejenis lainnya memang gencar dilakukan di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Pasalnya isu pajak Google Cs memang menjadi sorotan komunitas global.
Semua mata tertuju kepada perusahaan berbasis teknologi setelah lahirnya istilah Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) yang kali pertama didengungkan oleh Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD).
BEPS bisa diartikan sebagai aktivitas yang menggerus basis pajak dengan mengalihkan keuntungan operasional ke negara lain yang merupakan surga pajak (tax haven).
Aktivitas ini masih terjadi sampai sekarang, dan tetap dipraktikkan oleh perusahaan teknologi berbasis internet. Mengutip Reuters, Google memindahkan EUR 19,9 miliar laba mereka pada 2017 dari operasional di Belanda ke sebuah perusahaan cangkang (shell company) di Bermuda. Jumlah ini bertambah sekitar EUR 4 miliar ketimbang tahun sebelumnya.
Di era pemerintahan Jokowi pendekatan kepada Google dkk dimulai ketika Bambang Brodjonegoro menjadi Menteri Keuangan. Pada awal 2016, Bambang yang kini menjabat sebagai Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional, menegaskan bahwa perusahaan berbasis internet harus membentuk perusahaan di Indonesia agar perlakuan pajaknya setara dengan sektor-sektor lain.
"Semua harus membentuk permanent establishment, Badan Usaha Tetap, seperti kontraktor di sektor migas. Jadi mereka bisa dipajaki," kata Bambang dalam wawancara dengan Reuters pada Februari 2016.
Pada April 2016, Bambang mulai tegas dengan menyebut merek. Dalam konferensi pers pada sebuah malam pada 6 April 2016, kira-kira 3 tahun lalu, eks Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia itu menyebut empat nama yaitu Yahoo, Twitter, Facebook, dan Google.
Bambang menyoroti pendapatan iklan mereka yang tidak dinikmati oleh Indonesia. Harusnya pendapatan iklan dari aktivitas mereka di Indonesia menjadi sumber penerimaan pajak.
"Pendapatan dari iklan semestinya menjadi bagian yang bisa dipajaki. Kami akan melakukan review, Intinya adalah kami akan serius dalam urusan pajak ekonomi digital," tegasnya, mengutip Reuters.
Menurut data Kementerian Komunikasi dan Informatika, pendapatan iklan digital di Indonesia pada 2016 mencapai US$ 800 juta. Seluruhnya tidak dipajaki.
Dengan terbitnya PMK tersebut, tak ada lagi ruang penghindaran kewajiban perpajakan bagi perusahaan internasional yang beroperasi di Indonesia seperti Google, Facebook, maupun Twitter.
Kini mereka harus mematuhi peraturan perpajakan yang berlaku, sesuai dengan terbitnya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 35/2019 tentang Penentuan Bentuk Usaha Tetap (BUT).
Selama ini dasar hukum untuk memajaki BUT hanya mengacu pada Undang-Undang (UU) 36/2008 tentang Pajak Penghasilan (PPh). Kini dengan aturan baru, kewajiban perpajakan BUT makin jelas.
Jurus Sri Mulyani Bidik Pajak Google Cs
[Gambas:Video CNBC]
(hps/hps) Next Article G20 Mantap Siapkan Aturan Pajaki Google Cs, AS Gelisah
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular