Refleksi

CEPA RI-Australia Diteken, Siapa yang Bakal Menang Banyak?

Arif Gunawan, CNBC Indonesia
05 March 2019 21:29
Setelah sembilan tahun negosiasi, Comprehensive Economic Partnership Agreement (CEPA) Indonesia-Australia pun diteken. Ini PR yang menanti.
Foto: Menteri Perdagangan, Pariwisata dan Investasi Australia Simon Birmingham, kiri, dan Menteri Perdagangan Indonesia Enggartiasto Lukita, kanan, berjabat tangan selama upacara penandatanganan dan forum bisnis Cepa Indonesia-Australia di Jakarta, Indonesia, Senin, 4 Maret 2019. (AP Foto / Achmad Ibrahim)
Jakarta, CNCB Indonesia - Setelah sembilan tahun negosiasi, kerja-sama ekonomi komprehensif (Comprehensive Economic Partnership Agreement/CEPA) Indonesia dan Australia pun diteken. Sejauh mana Indonesia memenangkan kepentingan dagangnya lewat perjanjian ini?

Dalam pernyataan bersama, Menteri Perdagangan Indonesia Enggartiasto Lukita dan Menteri Perdagangan, Pariwisata, dan Investasi Australia Simon Birmingham menyatakan optimisme mereka bahwa kerja sama itu akan meningkatkan nilai perdagangan dan investasi kedua negara.

Intinya, kedua belah pihak sepakat untuk menghapus tarif impor yang selama ini dikenakan terhadap produk-produk andalan kedua negara. Selain itu, kedua belah pihak juga sepakat untuk "mengurangi hambatan" yang bersifat non-tarif.

"IA-CEPA memberikan kemudahan akses pasar di Australia dengan komitmen pembebasan tarif bea masuknya menjadi 0% untuk seluruh pos tarif komoditas, pengurangan hambatan non-tarif, fasilitas perdagangan, serta berbagai kemudahan untuk mengakses pasar jasa dan investasi di berbagai sektor," demikian tertulis dalam pernyataan bersama.

Sekilas terdengar sebagai happy ending, bukan? Apalagi jika melihat bahwa Australia menghapus bea masuk untuk 100% produk Indonesia yang selama ini diekspor ke Negeri Kanguru. Sebaliknya Indonesia hanya menghapus 94% dari produk Australia yang selama ini masuk ke Nusantara.

Namun, jangan salah. Dari sisi jumlah pos tarif yang dibebaskan, Indonesia memberikan lebih banyak kelonggaran terhadap produk Australia, ketimbang sebaliknya. Jumlah produk Indonesia yang bea masuknya di-nol-persen-kan Australia hanya 6.474 pos, sedangkan Indonesia membebaskan 10.813 pos barang impor dari Australia.

Mengingat selisih barang yang dibebaskan bea masuknya mencapai 4.339 produk, maka rasionya adalah 1:1,7. Dengan kata lain, Indonesia harus membebaskan tiga produk Australia dari bea masuk, untuk setiap dua produk nasional kita yang dibebaskan oleh Negeri Kanguru.

Itu dari sisi nominal produk. Bagaimana dengan nilai? Sayangnya Indonesia sejauh ini kalah banyak.

Dalam empat tahun terakhir, Indonesia mencatatkan defisit neraca perdagangan terhadap Australia. Dengan lebih banyak produk Australia yang dibebaskan bea masuk, makin besar peluang produk mereka diserap pasar Indonesia.



PR Yang Harus Dikerjakan Agar Menang di CEPA
Ke depan, IA CEPA bisa saja tak berujung pada kenaikan ekspor produk Indonesia secara signifikan jika pekerjaan-pekerjaan rumah (PR) selanjutnya tidak dikerjakan, yakni upaya untuk membuat produk Indonesia bisa melewati hambatan non tarif yang "telah dikurangi oleh Australia". 

Percuma tarif nol persen jika hambatan non-tarif tak bisa dilewati. Untuk mengetahui sejauh mana pengurangan yang dilakukan, mari kita cek detail klausul IA CEPA. Menurut salinan dokumen yang diperoleh Tim Riset CNBC Indonesia, bagian mengenai non-tarif diatur dalam Bab 8.

Benarkah hambatan non tarif di Australia di-nolkan seperti tarif impor? Ternyata tidak. Yang terjadi adalah adanya kesepakatan bersama untuk "memastikan bahwa standar, peraturan teknis, dan prosedur pengecekan kepatuhan tidak menciptakan hambatan berlebihan dalam perdagangan."

Caranya? Dengan mempromosikan "kesepemahaman mengenai standard masing-masing pihak, regulasi teknis, dan prosedur asesmen kepatuhan", lalu "memperkuat pertukaran informasi serta kerja sama terkait dengan persiapan, adopsi, dan penerapan standar, dan peraturan teknis."

Tidak cukup dengan itu, Indonesia dan Australia sepakat untuk memperkuat kerja-sama antara pihak-pihak yang terkait dengan lembaga internasional guna menciptakan standardisasi untuk mengecek kepatuhan pihak lain.

Artinya, tidak ada hambatan non-tarif yang dihapuskan atau dinolkan dari Australia. Yang ada hanyalah kesiapan dan komitmen mereka untuk membantu eksportir Indonesia memenuhi standar-standar yang mereka buat.

Apakah pemerintah dan pengusaha Indonesia siap untuk menggenjot kemampuan pemenuhan standar-standar yang ada? Ini adalah PR yang telah, dan sedang dikerjakan, oleh berbagai pihak sampai dengan saat ini.

Namun, perlu juga dicatat bahwa "bayi yang dikandung" selama sembilan tahun ini tidak hanya berbicara tentang isu perdagangan, melainkan juga isu lain yang lebih luas seperti investasi, ketenagakerjaan, kerja-sama ekonomi hingga alih teknologi.

Inilah yang-mengutip ekonom Universitas Indonesia (UI) Fihtra Faisal Hastiadi-perlu dioptimalkan oleh pemerintah Indonesia. Ada manfaat lanjutan yang bisa dioptimalkan guna meningkatkan daya saing dan nilai tambah perekonomian nasional lewat CEPA ini.

"Ketika bicara perjanjian ini, ini bukan CEPA biasa, tapi juga bicara soal investasi. Kemudian kita bisa memanfaatkan knowledge spillover, yang pada akhirnya bisa membuat kita mengejar ketertinggalan," tuturnya dalam wawancara dengan CNBC Indonesia TV pada Selasa (5/3/2019).

Salah satu teknologi yang bisa ditransfer ke Indonesia adalah Blue Scope, yang biasa digunakan untuk memperbanyak pembuatan logam lapis di industri besi dan baja. Indonesia bakal memerlukan ini, terutama ketika ingin membangun proyek infrastruktur dengan komponen lokal.

Ke depan, jika kerja-sama dan PR yang menunggu digarap itu segera diselesaikan oleh pemerintah dan pengusaha, bukan tidak mungkin CEPA berujung pada mengecilnya defisit perdagangan kita terhadap Australia, dan bahkan terbuka peluang bagi Indonesia untuk mengekspor ke pihak ketiga.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(ags/ags) Next Article Adu Kekuatan Dagang RI-Australia

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular