
CNBC Indonesia Outlook 2019
Ingat Pesan JK, Ini Dampaknya Jika Abaikan Sektor Riil!
Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
28 February 2019 14:05

Jakarta, CNBC Indonesia - Saat ini Indonesia memang tengah menyongsong revolusi Industri 4.0. Bahkan Presiden Joko 'Jokowi' Widodo terang-terangan menyatakan dukungannya terhadap industri yang berkaitan erat dengan perkembangan teknologi digital dan internet tersebut.
"Dalam revolusi industri 4,0 ini kita tahu ada proses industri dengan kecepatan yang sangat tinggi, artificial intelligence, big data, advance robotic semuanya. Saya meyakini dengan persiapan pembangunan SDM [Sumber Daya Manusia] kita akan bisa persiapkan bangsa kita menuju revolusi industri 4.0," ujar Jokowi saat debat calon presiden beberapa waktu lalu.
Selain itu, munculnya sejumlah perusahaan teknologi startup yang sudah mampu menyandang gelar 'unicorn', menjadi bukti berkembang pesatnya pemanfaatan teknologi informasi untuk kegiatan usaha di Indonesia.
Namun, Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) kembali memperingatkan kita untuk tidak melupakan usaha di sektor riil.
"Tetap ekonomi riil menjadi dasar daripada semua ekonomi," ujar JK pada acara CNBC Indonesia Economic Outlook 2019 hari ini (28/2/2019). "Tanpa investasi fisik, tanpa ekonomi riil, ini [startup digital] juga akan mati."
Nampaknya pernyataan JK tersebut memang punya dasar yang cukup kuat. Pasalnya, daya saing produk-produk ekspor RI masih terbilang rendah, dan memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap harga bahan baku. Alhasil perdagangan luar negeri (ekspor-impor) yang berpotensi mengalirkan devisa ke dalam negeri menjadi sangat rentan terhadap gejolak eksternal.
Buktinya, saat harga-harga komoditas ekspor utama RI anjlok pada tahun 2018, neraca perdagangan barang mengalami defisit yang sangat besar, yaitu mencapai US$ 8,5 miliar. Bahkan terparah sepanjang sejarah.
Sebagai informasi, pada tahun 2018, harga rata-rata tahunan minyak kelapa sawit mentah (CPO) turun 9,1%, sedangkan karet amblas 20,1%. Masih untung batu bara harganya bisa naik 18,5%. Jika tidak, maka kondisinya akan lebih parah.
Hal tersebut tidak terlepas dari pertumbuhan sektor manufaktur yang agaknya semakin ditinggalkan. Terbukti dari andil sektor manufaktur terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) yang semakin tergerus. Bahkan di tahun 2018, sumbangsih sektor manufaktur terhadap PDB hanya sebesar 19,86%. Setidaknya sejak tahun 2000, baru pertama kali ini angkanya di bawah 20%.
Dampaknya bukan hanya pada nilai ekspor, tapi juga menyebabkan Indonesia kebanjiran barang-barang impor. Bahkan nilai impor barang konsumsi pada tahun 2018 tumbuh 22,03%. Lebih parahnya lagi, porsi barang konsumsi terhadap total impor juga meningkat menjadi 9,11% pada tahun 2018, dibanding 8,97%.
Gampangnya, industri 3.0 saja belum lulus, sudah lompat ke 4.0.
Bila fenomena ini terus berlanjut, maka efisiensi yang menjadi salah satu nilai yang dibawa oleh usaha-usaha berbasis teknologi informasi, hanya akan membuat ketergantungan terhadap produk impor meningkat.
Selayaknya, pemerintah juga harus memberi dorongan bagi pertumbuhan industri manufaktur. Apalagi yang masih menyandang status Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM).
TIM RISET CNBC INDONESIA
(taa/gus) Next Article Ada Corona, Cerita Pusingnya Pengusaha Impor dari China
"Dalam revolusi industri 4,0 ini kita tahu ada proses industri dengan kecepatan yang sangat tinggi, artificial intelligence, big data, advance robotic semuanya. Saya meyakini dengan persiapan pembangunan SDM [Sumber Daya Manusia] kita akan bisa persiapkan bangsa kita menuju revolusi industri 4.0," ujar Jokowi saat debat calon presiden beberapa waktu lalu.
Selain itu, munculnya sejumlah perusahaan teknologi startup yang sudah mampu menyandang gelar 'unicorn', menjadi bukti berkembang pesatnya pemanfaatan teknologi informasi untuk kegiatan usaha di Indonesia.
"Tetap ekonomi riil menjadi dasar daripada semua ekonomi," ujar JK pada acara CNBC Indonesia Economic Outlook 2019 hari ini (28/2/2019). "Tanpa investasi fisik, tanpa ekonomi riil, ini [startup digital] juga akan mati."
Nampaknya pernyataan JK tersebut memang punya dasar yang cukup kuat. Pasalnya, daya saing produk-produk ekspor RI masih terbilang rendah, dan memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap harga bahan baku. Alhasil perdagangan luar negeri (ekspor-impor) yang berpotensi mengalirkan devisa ke dalam negeri menjadi sangat rentan terhadap gejolak eksternal.
Buktinya, saat harga-harga komoditas ekspor utama RI anjlok pada tahun 2018, neraca perdagangan barang mengalami defisit yang sangat besar, yaitu mencapai US$ 8,5 miliar. Bahkan terparah sepanjang sejarah.
Sebagai informasi, pada tahun 2018, harga rata-rata tahunan minyak kelapa sawit mentah (CPO) turun 9,1%, sedangkan karet amblas 20,1%. Masih untung batu bara harganya bisa naik 18,5%. Jika tidak, maka kondisinya akan lebih parah.
Hal tersebut tidak terlepas dari pertumbuhan sektor manufaktur yang agaknya semakin ditinggalkan. Terbukti dari andil sektor manufaktur terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) yang semakin tergerus. Bahkan di tahun 2018, sumbangsih sektor manufaktur terhadap PDB hanya sebesar 19,86%. Setidaknya sejak tahun 2000, baru pertama kali ini angkanya di bawah 20%.
Dampaknya bukan hanya pada nilai ekspor, tapi juga menyebabkan Indonesia kebanjiran barang-barang impor. Bahkan nilai impor barang konsumsi pada tahun 2018 tumbuh 22,03%. Lebih parahnya lagi, porsi barang konsumsi terhadap total impor juga meningkat menjadi 9,11% pada tahun 2018, dibanding 8,97%.
![]() |
Gampangnya, industri 3.0 saja belum lulus, sudah lompat ke 4.0.
Bila fenomena ini terus berlanjut, maka efisiensi yang menjadi salah satu nilai yang dibawa oleh usaha-usaha berbasis teknologi informasi, hanya akan membuat ketergantungan terhadap produk impor meningkat.
Selayaknya, pemerintah juga harus memberi dorongan bagi pertumbuhan industri manufaktur. Apalagi yang masih menyandang status Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM).
TIM RISET CNBC INDONESIA
(taa/gus) Next Article Ada Corona, Cerita Pusingnya Pengusaha Impor dari China
Most Popular