
Mengapa Sektor Jasa Indonesia Sulit Berkembang?
Samuel Pablo, CNBC Indonesia
17 January 2019 11:08

Jakarta, CNBC Indonesia - Ketiadaan satu data sebagai basis pengambilan kebijakan dinilai menjadi kendala sektor jasa RI belum mampu dioptimalkan, baik investasi di bidang jasa di dalam negeri maupun ekspor produk jasa.
Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Iman Pambagyo mengungkapkan, salah satu concern pihaknya adalah ketiadaan data yang lengkap dalam perdagangan dan investasi di sektor jasa, sehingga pemerintah sulit menentukan mana saja sektor jasa yang menjadi prioritas untuk didorong.
"Sebetulnya kita potensinya besar sekali. Sekarang sedang berkembang pengembangan aplikasi, animasi yang bahkan bisa dilakukan perorangan di Indonesia dan dijual ke beberapa vendor terkemuka. Tapi kita belum punya datanya. Saya dalam proses perundingan intinya adalah membuka kesempatan di masa depan," kata Iman usai seminar di Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Rabu (16/1/2019).
Iman menjelaskan, salah satu hambatan yang sedang berusaha diselesaikan adalah menyamakan klasifikasi data jasa yang dirilis Bank Indonesia (BI) dengan pihaknya gunakan dalam perundingan perjanjian dagang.
Menurut Iman, data jasa yang dirilis BI sulit sekali dipakai dalam melakukan perundingan di sektor jasa dengan negara lain yang sudah menggunakan sistem CFC, semacam kode HS untuk jasa.
"Terus terang kita perlu data yang terbaru dan menggunakan klasifikasi internasional. Ini tidak hanya untuk mengetahui situasi kita seperti apa sehingga kita bisa mengeluarkan kebijakan yang tepat, tapi dalam konteks perundingan internasional, kita tahu dan bisa diadu heads-on dengan negara lain," jelasnya.
Dia menambahkan, Kemendag bersama dengan BI dan Badan Pusat Statistik (BPS) dan dibantu oleh CSIS dan perguruan tinggi saat ini sedang berupaya melakukan kajian untuk menggabungkan dan membuat sistem klasifikasi data jasa yang mengacu kepada standar internasional. "Hari ini harusnya seminar terakhir dan rencananya akan dirumuskan setelah ini," pungkasnya.
Kebijakan investasi yang restriktif di sektor jasa dinilai menghambat potensi ekspor jasa. Demikian disampaikan mantan menteri perdagangan sekaligus peneliti senior Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Mari Elka Pangestu di Auditorium CSIS, Rabu (16/1/2019).
Mari mengungkapkan, saat ini produktivitas sektor jasa RI relatif lebih rendah dibandingkan negara lainnya di ASEAN, di mana Indonesia masih berkutat di sektor jasa tradisional seperti konstruksi dan perdagangan. Pengurangan restriksi secara bertahap akan membuat sektor jasa RI lebih kompetitif.
Data Services Trade Restrictiveness Index OECD 2017 menunjukkan, sektor jasa di Indonesia relatif lebih tertutup dan kurang produktif. Sebagai contoh, perdagangan jasa di bidang hukum di Tanah Air termasuk yang paling restriktif bagi investasi asing, dengan indeks 0,9 dibanding rata-rata negara anggota OECD sebesar 0,4.
Setelahnya, jasa distribusi di RI memiliki indeks restriksi 0,6, jauh lebih tinggi dari negara-negara anggota OECD sebesar 0,2. Selanjutnya ada sektor jasa asuransi, perbankan komersial, serta transportasi maritim dan udara, di mana RI memiliki indeks restriksi 0,5, di atas rata-rata negara anggota OECD sebesar 0,2.
"Mengapa orang Indonesia banyak menyekolahkan anaknya ke Malaysia? Karena Malaysia punya kebijakan membuka sektor pendidikannya dengan mengundang universitas dari luar negeri membuka kampus bersama di negaranya. Di sektor kesehatan juga sama," jelas Mari.
Padahal, lanjut dia, tenaga kerja Indonesia sendiri menyumbang devisa sekitar US$ 8,8 miliar di tahun 2017. Jumlah TKI ini tidak hanya pembantu rumah tangga (PRT) dan buruh yang bekerja di perkebunan sawit, namun jumlah pekerja profesional juga terus meningkat.
"Jadi potensi ekspor jasa kita luar biasa besar, tapi belum bisa dimanfaatkan karena kebijakan kita sendiri restriktif untuk investasi di sektor jasa. Kita masih di bawah India, Bangladesh, apalagi Filipina dalam hal ekspor tenaga kerja," tegasnya.
(miq/miq) Next Article Jadi Direktur Bank Dunia, Ini kata Mari Pangestu
Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Iman Pambagyo mengungkapkan, salah satu concern pihaknya adalah ketiadaan data yang lengkap dalam perdagangan dan investasi di sektor jasa, sehingga pemerintah sulit menentukan mana saja sektor jasa yang menjadi prioritas untuk didorong.
"Sebetulnya kita potensinya besar sekali. Sekarang sedang berkembang pengembangan aplikasi, animasi yang bahkan bisa dilakukan perorangan di Indonesia dan dijual ke beberapa vendor terkemuka. Tapi kita belum punya datanya. Saya dalam proses perundingan intinya adalah membuka kesempatan di masa depan," kata Iman usai seminar di Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Rabu (16/1/2019).
Iman menjelaskan, salah satu hambatan yang sedang berusaha diselesaikan adalah menyamakan klasifikasi data jasa yang dirilis Bank Indonesia (BI) dengan pihaknya gunakan dalam perundingan perjanjian dagang.
Menurut Iman, data jasa yang dirilis BI sulit sekali dipakai dalam melakukan perundingan di sektor jasa dengan negara lain yang sudah menggunakan sistem CFC, semacam kode HS untuk jasa.
"Terus terang kita perlu data yang terbaru dan menggunakan klasifikasi internasional. Ini tidak hanya untuk mengetahui situasi kita seperti apa sehingga kita bisa mengeluarkan kebijakan yang tepat, tapi dalam konteks perundingan internasional, kita tahu dan bisa diadu heads-on dengan negara lain," jelasnya.
Dia menambahkan, Kemendag bersama dengan BI dan Badan Pusat Statistik (BPS) dan dibantu oleh CSIS dan perguruan tinggi saat ini sedang berupaya melakukan kajian untuk menggabungkan dan membuat sistem klasifikasi data jasa yang mengacu kepada standar internasional. "Hari ini harusnya seminar terakhir dan rencananya akan dirumuskan setelah ini," pungkasnya.
Kebijakan investasi yang restriktif di sektor jasa dinilai menghambat potensi ekspor jasa. Demikian disampaikan mantan menteri perdagangan sekaligus peneliti senior Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Mari Elka Pangestu di Auditorium CSIS, Rabu (16/1/2019).
Mari mengungkapkan, saat ini produktivitas sektor jasa RI relatif lebih rendah dibandingkan negara lainnya di ASEAN, di mana Indonesia masih berkutat di sektor jasa tradisional seperti konstruksi dan perdagangan. Pengurangan restriksi secara bertahap akan membuat sektor jasa RI lebih kompetitif.
Data Services Trade Restrictiveness Index OECD 2017 menunjukkan, sektor jasa di Indonesia relatif lebih tertutup dan kurang produktif. Sebagai contoh, perdagangan jasa di bidang hukum di Tanah Air termasuk yang paling restriktif bagi investasi asing, dengan indeks 0,9 dibanding rata-rata negara anggota OECD sebesar 0,4.
Setelahnya, jasa distribusi di RI memiliki indeks restriksi 0,6, jauh lebih tinggi dari negara-negara anggota OECD sebesar 0,2. Selanjutnya ada sektor jasa asuransi, perbankan komersial, serta transportasi maritim dan udara, di mana RI memiliki indeks restriksi 0,5, di atas rata-rata negara anggota OECD sebesar 0,2.
"Mengapa orang Indonesia banyak menyekolahkan anaknya ke Malaysia? Karena Malaysia punya kebijakan membuka sektor pendidikannya dengan mengundang universitas dari luar negeri membuka kampus bersama di negaranya. Di sektor kesehatan juga sama," jelas Mari.
Padahal, lanjut dia, tenaga kerja Indonesia sendiri menyumbang devisa sekitar US$ 8,8 miliar di tahun 2017. Jumlah TKI ini tidak hanya pembantu rumah tangga (PRT) dan buruh yang bekerja di perkebunan sawit, namun jumlah pekerja profesional juga terus meningkat.
"Jadi potensi ekspor jasa kita luar biasa besar, tapi belum bisa dimanfaatkan karena kebijakan kita sendiri restriktif untuk investasi di sektor jasa. Kita masih di bawah India, Bangladesh, apalagi Filipina dalam hal ekspor tenaga kerja," tegasnya.
![]() |
(miq/miq) Next Article Jadi Direktur Bank Dunia, Ini kata Mari Pangestu
Most Popular