BI Dorong Peningkatan Remitansi Sebagai Sumber Devisa

Advertorial, CNBC Indonesia
14 December 2018 00:00
Bank Indonesia terus mendorong penguatan inklusi keuangan syariah melalui peningkatan akses layanan keuangan.
Surabaya, CNBC Indonesia - Bank Indonesia terus mendorong penguatan inklusi keuangan syariah melalui peningkatan akses layanan keuangan dengan mengoptimalkan model bisnis dan layanan remitansi. Layanan remitansi yang berkolaborasi dengan badan usaha milik pesantren memiliki potensi yang sangat besar untuk tumbuh dan terus berkembang,

Demikian disampaikan Deputi Gubernur BI, Sugeng, dalam forum diskusi Indonesia Sharia Economic Festival (ISEF) 2018 yang mengangkat tema "Membuka Akses Layanan Keuangan melalui Optimalisasi Layanan Remitansi" pada hari ini (14/12) di Surabaya.

Sugeng mengatakan remitansi dari pekerja migran Indonesia menghasilkan pendapatan devisa US$ 8,8 miliar atau Rp 127,6 triliun (Rp 14.500). Ke depan, tuturnya, diperkirakan pertumbuhan devisa tersebut akan semakin meningkat seiring dengan tren peningkatan demand di negara-negara tujuan pekerja ,igran Indonesia.

"Namun demikian, di balik potensi besar tersebut, dalam implementasinya, diperkirakan masih terdapat sebesar 7% remitansi Pekerja Migran Indonesia yang dilakukan melalui jasa penitipan kepada orang yang dipercaya atau disebut praktik Hawala," ujar Sugeng.

Direktur Eksekutif Departemen Elektronifikasi dan Gerbang Pembayaran Nasional Bank Indonesia mengatakan remitansi sebesar US$ 8,8 miliar dalam setahun setara dengan 1% dari produk domestic bruto. Nilai remitansi tersebut jauh lebih rendah dibandingkan dengan negara tetangga seperti Filipina yang mencapai US$ 24 miliar.

"Saya rasa angkanya kalau kita mentatausahakan dengan baik itu maka lebih dari US$ 8,8 miliar," ujarnya.

Ke depan, tuturnya, BI mengusahakan pengiriman uang itu akan ada platform khusus untuk remitansi. Semuanya nanti akan tercatat di Gerbang Pembayaran Nasional. Salah satu tantangan remitansi, menurut Pungky adalah biaya yang terus naik dari tahun ke tahun.

Sugeng menambahkan permasalahan lain dari remitansi adalah meski 62% sistem remitansi telah berjalan secara nontunai, sebesar 30% dana remitansi masih tidak masuk ke rekening sehingga ditarik secara tunai seluruhnya. "Ini juga yg menjadi salah satu faktor rendahnya akses masyarakat Indonesia terhadap lembaga keuangan," ujarnya.

Tingkat akses keuangan atau inklusivitas keuangan masih berada di angka 49%, angka yang membuat Indonesia masih tertinggal dibandingkan beberapa negara tetangga seperti Thailand (82%), Malaysia (85%), atau Singapura (98%).

Dalam rangka menjawab permasalahan tersebut, Sugeng mengatakan perlu dilakukan optimalisasi model bisnis dan layanan remitansi yang memperkuat akses layanan keuangan. Dorongan BI terhadap penguatan remitansi juga sejalan dengan program Desa Migran Produktif (Desmigratif) yang diprakarsai Kementerian Ketenagakerjaan, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi.

"Melalui kolaborasi dan integrasi antara Koperasi Desmigratif dengan layanan remitansi yang mudah, cepat, dan terjangkau, diharapkan kesejahteraan Keluarga pekerja migran Indonesia dapat meningkat," ujarnya.

Menurutnya, pembahasan model bisnis dan layanan remitansi dalam forum diskusi diharapkan dapat menjadi wadah untuk edukasi dan memperkenalkan model bisnis remitansi yang mudah, cepat, dan terjangkau kepada elemen masyarakat yang lebih luas sebagai pengguna layanan remitansi.

BI juga senantiasa mengimbau entitas penyedia layanan remitansi agar selalu mengacu pada kaidah dan prinsip international best practice, antara lain prinsip remitansi yang dipublikasikan oleh Committee on Payment Market Infrastructure (CPMI) serta prinsip Anti Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme (APU PPT) yang dikeluarkan oleh Financial Action Task Force on Money Laundering and Terrorism Financing (FATF).
(adv/adv) Next Article Mantap! BJTM Berhasil Jadi BPD Terbesar dalam KUB

Most Popular