
Di depan Aktivis Eropa, RI Sebut Sawit Vital Atasi Kemiskinan
Samuel Pablo, CNBC Indonesia
19 November 2018 13:51

Jakarta, CNBC Indonesia - Kementerian Luar Negeri dan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS) mengadakan Regular Oil Palm Course 2018.
Direktur Utama BPDP-KS Dono Boestami menjelaskan, program ini bertujuan untuk menyamakan persepsi serta mengurangi gap kesalahpahaman tentang industri minyak sawit RI di mata para akademisi serta aktivis lingkungan asing.
Dono memaparkan, minyak sawit adalah minyak nabati yang paling banyak diperdagangkan karena banyak produk turunannya, mulai dari sabun, pasta gigi hingga produk makanan.
Produktivitas lahan sawit dibandingkan minyak nabati lainnya mencapai 4 ton per hektar, paling efisien jika dibandingkan dengan rapeseed oil sebesar 0,7 ton per hektar, sunflower oil 0,6 ton per hektar dan soybean oil 0,4 ton per hektar.
"Indonesia saat ini menerapkan moratorium. Jadi kita tidak melakukan penambahan lahan tapi lebih mengintensifkan produktivitas, melalui replanting," kata Dono dalam paparannya di Kementerian Luar Negeri, Senin (19/11/2018).
Dia menyebutkan bahwa industri minyak sawit adalah industri yang padat karya, dengan sekitar 20 juta pekerja menggantungkan hidupnya dari industri ini. Secara tidak langsung, hampir 20% dari total populasi Indonesia di lebih dari 20 provinsi berkaitan dengan industri sawit.
"Sejak tahun 2000, industri sawit mendorong setidaknya 10 juta orang keluar dari garis kemiskinan, dan 1,3 juta di antaranya hidup di pedesaan. Kontribusi ekspor sawit bagi ekonomi RI tahun lalu mencapai Rp 240 triliun, jauh lebih tinggi dari migas dan pariwisata," lanjutnya.
Dono juga menyebutkan peran sawit bagi energi ramah lingkungan RI melalui program B20, di mana serapan FAME sebagai bahan baku biodiesel pada tahun ini akan mencapai 4 juta kL dan ditargetkan naik menjadi 6-7 juta kL per tahun mulai 2019.
"Lebih dari 50% pemain di industri sawit Tanah Air adalah smallholders [petani rakyat], umumnya berpendapatan kecil-menengah dengan luas lahan maksimum 4 hektar, terdiri dari masyarakat lokal dan transmigran. Nanti anda akan temui di Jambi, serta tersebar di Riau, Sumatera Utara dan Sumatera Selatan," jelasnya.
Untuk itu, pemerintah saat ini sedang mengintensifkan program replanting untuk membantu para smallholders, dengan total area 2,4 dari 4,6 juta hektar di 20 provinsi.
Dia juga menegaskan, industri sawit RI saat ini telah menerapkan seluruh standar industri berkelanjutan internasional, termasuk Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO).
Sebagai informasi, Regular Oil Palm Course 2018 berlangsung mulai hari ini hingga 26 November 2018, di mana peserta akan mendapatkan practical workshop di Institut Pertanian Bogor selama 3 hari dan dilanjutkan tur lapangan ke perkebunan dan Pabrik Kelapa Sawit (PKS) di Jambi selama 6 hari.
Terdapat sekitar 15 peserta meliputi konsultan, peneliti, aktivis lingkungan, dan akademisi yang berasal dari Australia, Belanda, Ceko, Hongaria, Inggris, Italia, Perancis, Polandia, Rusia, Slovakia dan Spanyol
(ray/ray) Next Article Menko Darmin Protes Aturan Diskriminatif Sawit Uni Eropa
Direktur Utama BPDP-KS Dono Boestami menjelaskan, program ini bertujuan untuk menyamakan persepsi serta mengurangi gap kesalahpahaman tentang industri minyak sawit RI di mata para akademisi serta aktivis lingkungan asing.
Dono memaparkan, minyak sawit adalah minyak nabati yang paling banyak diperdagangkan karena banyak produk turunannya, mulai dari sabun, pasta gigi hingga produk makanan.
Produktivitas lahan sawit dibandingkan minyak nabati lainnya mencapai 4 ton per hektar, paling efisien jika dibandingkan dengan rapeseed oil sebesar 0,7 ton per hektar, sunflower oil 0,6 ton per hektar dan soybean oil 0,4 ton per hektar.
"Indonesia saat ini menerapkan moratorium. Jadi kita tidak melakukan penambahan lahan tapi lebih mengintensifkan produktivitas, melalui replanting," kata Dono dalam paparannya di Kementerian Luar Negeri, Senin (19/11/2018).
Dia menyebutkan bahwa industri minyak sawit adalah industri yang padat karya, dengan sekitar 20 juta pekerja menggantungkan hidupnya dari industri ini. Secara tidak langsung, hampir 20% dari total populasi Indonesia di lebih dari 20 provinsi berkaitan dengan industri sawit.
"Sejak tahun 2000, industri sawit mendorong setidaknya 10 juta orang keluar dari garis kemiskinan, dan 1,3 juta di antaranya hidup di pedesaan. Kontribusi ekspor sawit bagi ekonomi RI tahun lalu mencapai Rp 240 triliun, jauh lebih tinggi dari migas dan pariwisata," lanjutnya.
Dono juga menyebutkan peran sawit bagi energi ramah lingkungan RI melalui program B20, di mana serapan FAME sebagai bahan baku biodiesel pada tahun ini akan mencapai 4 juta kL dan ditargetkan naik menjadi 6-7 juta kL per tahun mulai 2019.
"Lebih dari 50% pemain di industri sawit Tanah Air adalah smallholders [petani rakyat], umumnya berpendapatan kecil-menengah dengan luas lahan maksimum 4 hektar, terdiri dari masyarakat lokal dan transmigran. Nanti anda akan temui di Jambi, serta tersebar di Riau, Sumatera Utara dan Sumatera Selatan," jelasnya.
Untuk itu, pemerintah saat ini sedang mengintensifkan program replanting untuk membantu para smallholders, dengan total area 2,4 dari 4,6 juta hektar di 20 provinsi.
Dia juga menegaskan, industri sawit RI saat ini telah menerapkan seluruh standar industri berkelanjutan internasional, termasuk Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO).
Sebagai informasi, Regular Oil Palm Course 2018 berlangsung mulai hari ini hingga 26 November 2018, di mana peserta akan mendapatkan practical workshop di Institut Pertanian Bogor selama 3 hari dan dilanjutkan tur lapangan ke perkebunan dan Pabrik Kelapa Sawit (PKS) di Jambi selama 6 hari.
Terdapat sekitar 15 peserta meliputi konsultan, peneliti, aktivis lingkungan, dan akademisi yang berasal dari Australia, Belanda, Ceko, Hongaria, Inggris, Italia, Perancis, Polandia, Rusia, Slovakia dan Spanyol
(ray/ray) Next Article Menko Darmin Protes Aturan Diskriminatif Sawit Uni Eropa
Most Popular