
Ini Kekuatan Industri Rokok RI yang Sulit Dikalahkan
Arif Gunawan, CNBC Indonesia
04 November 2018 20:09

Jakarta, CNBC Indonesia - Industri rokok Indonesia tahun ini kembali membuktikan kedigdayannya mengubah orientasi kebijakan cukai pemerintah, dari "mengendalikan tembakau" menjadi "membantu pertumbuhan industri tembakau."
Sebagaimana diberitakan Jumat lalu, industri rokok lolos dari disinsentif yang hendak diterapkan pemerintah, menyusul pengumuman Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati yang menyatakan tidak akan menaikkan cukai produk tembakau.
"Pemerintah dan Presiden mempertimbangkan aspek ke ekonomi kita dan kegiatan bisnis dan investasi. Tentunya banyak faktor yang diperhatikan," ujar Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Askolani di tayangan "Closing Bell" CNBC Indonesia TV, pada Jumat (2/11/2018).
Tarif cukai hasil tembakau sebelumnya ditargetkan rata-rata sebesar 10,04%, sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 146/PMK.010/2017 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau. Perlu dicatat angka cukai yang hendak diberlakukan pada 2018 ini lebih kecil dari yang diterapkan pada 2017 sebesar 10,5%.
Bagi Indonesia, kebijakan cukai adalah satu-satunya instrumen pengendalian tembakau, setelah Presiden Joko Widodo mengekor pendahulunya yakni Susilo Bambang Yudhoyono dengan menjadikan Indonesia sebagai 1 dari 15 negara dunia yang tak meratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC).
FCTC adalah perjanjian untuk melindungi masyarakat dari dampak negatif konsumsi dan paparan rokok. Indonesia menjadi satu-satunya negara di Asia yang menolak meratifikasi perjanjian itu, sebarisan dengan beberapa negara lainnya termasuk "negara gagal" seperti Somalia dan Sudan Selatan.
Dengan memilih menjauh dari pergaulan dunia di FCTC, Indonesia dinisbatkan oleh Badan Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) menjadi negara dengan jumlah perokok terbesar ketiga dunia setelah China dan India, dengan jumlah perokok sebesar 36,3% dari populasi atau 94 juta orang.
Artinya, satu dari tiga orang Indonesia adalah perokok, menjadi pasar besar bagi industri rokok. Tidak heran, pembatalan kenaikan cukai rokok disambut lonjakan harga saham tiga emiten rokok yakni PT HM Sampoerna Tbk (sebesar 4,1%), PT Gudang Garam Tbk (6,6%), dan PT Wismilak Inti Makmur Tbk (2,7%).
Kenaikan harga saham produsen rokok tersebut menunjukkan sinyal bahwa investor di bursa saham optimistis keuntungan emiten rokok bakal melesat dengan tidak adanya kenaikan tarif cukai tahun ini.
Maklum saja, kontribusi industri tembakau sejauh ini menyumbang lebih dari 96% dari total penerimaan negara dari pos cukai, menjadi satu-satunya pos industri dengan sumbangan dominan terhadap negara. Karenanya, "keberanian" pemerintah tidak menaikkan tarif cukai menjadi kabar positif.
NEXT
Sebagaimana diberitakan Jumat lalu, industri rokok lolos dari disinsentif yang hendak diterapkan pemerintah, menyusul pengumuman Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati yang menyatakan tidak akan menaikkan cukai produk tembakau.
"Pemerintah dan Presiden mempertimbangkan aspek ke ekonomi kita dan kegiatan bisnis dan investasi. Tentunya banyak faktor yang diperhatikan," ujar Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Askolani di tayangan "Closing Bell" CNBC Indonesia TV, pada Jumat (2/11/2018).
Bagi Indonesia, kebijakan cukai adalah satu-satunya instrumen pengendalian tembakau, setelah Presiden Joko Widodo mengekor pendahulunya yakni Susilo Bambang Yudhoyono dengan menjadikan Indonesia sebagai 1 dari 15 negara dunia yang tak meratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC).
FCTC adalah perjanjian untuk melindungi masyarakat dari dampak negatif konsumsi dan paparan rokok. Indonesia menjadi satu-satunya negara di Asia yang menolak meratifikasi perjanjian itu, sebarisan dengan beberapa negara lainnya termasuk "negara gagal" seperti Somalia dan Sudan Selatan.
Dengan memilih menjauh dari pergaulan dunia di FCTC, Indonesia dinisbatkan oleh Badan Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) menjadi negara dengan jumlah perokok terbesar ketiga dunia setelah China dan India, dengan jumlah perokok sebesar 36,3% dari populasi atau 94 juta orang.
Artinya, satu dari tiga orang Indonesia adalah perokok, menjadi pasar besar bagi industri rokok. Tidak heran, pembatalan kenaikan cukai rokok disambut lonjakan harga saham tiga emiten rokok yakni PT HM Sampoerna Tbk (sebesar 4,1%), PT Gudang Garam Tbk (6,6%), dan PT Wismilak Inti Makmur Tbk (2,7%).
Kenaikan harga saham produsen rokok tersebut menunjukkan sinyal bahwa investor di bursa saham optimistis keuntungan emiten rokok bakal melesat dengan tidak adanya kenaikan tarif cukai tahun ini.
Maklum saja, kontribusi industri tembakau sejauh ini menyumbang lebih dari 96% dari total penerimaan negara dari pos cukai, menjadi satu-satunya pos industri dengan sumbangan dominan terhadap negara. Karenanya, "keberanian" pemerintah tidak menaikkan tarif cukai menjadi kabar positif.
NEXT
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular