Kondisi BPJS Kesehatan: Dari Utang sampai Biang Kerok Defisit

Chandra Gian Asmara, CNBC Indonesia
30 October 2018 08:34
Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kembali menggelar rapat kerja bersama pemerintah untuk membahas upaya pengendalian defisit BPJS Kesehatan.
Foto: CNBC Indonesia/ Andrean Kristianto
Jakarta, CNBC Indonesia - Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kembali menggelar rapat kerja bersama pemerintah untuk membahas upaya pengendalian defisit Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.
Dalam rapat yang berlangsung selama kurang lebih tujuh jam itu, parlemen betul-betul ingin mengetahui apakah kas keuangan BPJS Kesehatan pada tahun depan setidaknya tak lagi mengalami defisit.


Berdasarkan prognosis BPJS Kesehatan, defisit arus kas perusahaan hingga akhir tahun ini bisa mencapai Rp 16,5 triliun, termasuk akumulasi defisit tahun lalu sebesar Rp 4,4 triliun.
Kementerian Keuangan memang sebelumnya telah mengucurkan dana talangan untuk menutup defisit BPJS Kesehatan sebesar Rp 4,9 triliun. Namun, potensi defisit masih menganga cukup lebar.
Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo mengemukakan pemerintah saat ini memang memiliki berbagai bauran kebijakan yang bisa meminimalisir potensi defisit BPJS Kesehatan makin bengkak.
Setidaknya, ada enam kebijakan seperti pemotongan Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Bagi Hasil (DBH), sampai dengan potongan pajak rokok. Ini belum ditambah dengan pengendalian yang dilakukan BPJS Kesehatan.
Namun, bauran kebijakan tersebut hanya bisa mengurangi sebesar Rp 2,9 triliun atau lebih. Pada tahun depan, pemerintah bahkan meyakini arus kas BPJS Kesehatan masih mengalami defisit.
"Secara teori, tidak bisa kita nol-kan defisit. Tidak mungkin kita layani Desember, lalu kita bayar Desember. Secara teori, tidak akan nol. Pasti akan carry over," kata Mardiasmo.

Kondisi BPJS Kesehatan: Dari Utang sampai Biang Kerok DefisitFoto: infografis/8Penyakit Kronis Orang RI yang Jadi Beban BPJS Kesehatan/Aristya Rahadian Krisabella
Salah satu yang menjadi penyumbang defisit paling besar BPJS Kesehatan adalah dari peserta bukan penerima upah (PBPU/pekerja informal. Antara iuran dan beban, justru tak seimbang.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan di September 2018, segmen tersebut hanya mengumpulkan iuran Rp 6,51 triliun, sementara beban peserta justru membengkak Rp 20,34 triliun. Artinya, ada selisih Rp 13,83 triliun.
Sementara itu, segmen peserta bukan pekerja juga memiliki selisih Rp 4,39 triliun karena iuran yang berhasil dikumpulkan hanya Rp 1,25 triliun, sementara beban dari segmen tersebut bisa mencapai Rp 5,65 triliun.
"BPJS Kesehatan tidak terlalu punya gigi untuk memaksa mereka [segmen tersebut] bayar," kata Mardiasmo di depan anggota parlemen.
Mengatasi defisit hanya satu soal. BPJS Kesehatan pun juga membutuhkan suntikan dana untuk membayar utang jatuh tempo yang secara total mencapai Rp 7,2 triliun dalam beberapa hari ke depan.
"Utang jatuh tempo Rp 5,9 triliun per tadi pagi. Yang akan jatuh tempo lima hari ke depan Rp 1,3 triliun. Ke depan, kita butuh cash Rp 7,2 triliun," kata Direktur Utama BPJS Kesehatan Fahmi Idris.
BPJS saat ini betul-betul perlu diselamatkan. Apalagi, dana bailout yang sebelumnya dicairkan pemerintah pada September lalu sebesar Rp 4,9 triliun sudah habis seluruhnya.


Meski begitu, pemerintah masih akan menunggu hasil kajian Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) terkait dengan hasil review terhadap kondisi keuangan dana sosial jaminan kesehatan.
"Kami akan tunggu hasil audit BPKP [sebelum membantu mengatasi defisit BPJS Kesehatan]. Karena kami tidak akan membayar prognosa, karena itu akan melanggar aturan," kata Mardiasmo.

(prm) Next Article Operasi Penyelamatan BPJS Kesehatan Berlanjut, Ini Rinciannya

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular