Sering Jadi Polemik, Ini 3 Faedah Jika Harga BBM Naik
Gustidha Budiartie & Raditya Hanung, CNBC Indonesia
17 October 2018 21:10

Jakarta, CNBC Indonesia - Kuota subsidi BBM dan LPG dalam APBN 2018 jebol. Berdasar data Kementerian Keuangan, per 30 September 2018 realisasi subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) capai Rp 54,3 triliun atau 115,9% dari target.
Dengan realisasi saat ini, subsidi BBM dan LPG naik 96,7% dibanding realisasi di periode serupa tahun lalu yang hanya Rp 27,6 triliun. Prediksinya di akhir tahun subsidi BBM akan meroket jika tak dikendalikan, apalagi jika harga minyak dunia terus melesat.
Tidak hanya menjadi beban bagi anggaran pemerintah, sektor migas juga jadi biang kerok "hancurnya" neraca perdagangan di tahun ini.
Sebagai informasi, defisit perdagangan migas saja untuk periode Januari-September 2018 sudah mencapai US$ 9,37 miliar (Rp 142 triliun). Nilai itu jauh lebih besar dari defisit neraca perdagangan secara total sebesar US$ 3,81 miliar (Rp 58 triliun).
Kondisi ini lantas menimbulkan desakan bahwa sudah tiba saatnya RI melakukan reformasi di sektor migas. Presiden Joko Widodo (Joko Widodo) perlu konsisten pada semangat awal untuk menaikkan level negara ini dari bangsa yang "kecanduan" BBM.
Di saat pemerintah nampaknya masih ragu-ragu untuk menaikkan harga BBM bersubsidi (termasuk Premium), Tim Riset CNBC Indonesia menguraikan faedah apa saja yang bisa diperoleh negara ini jika pemerintah "bernyali" untuk melakukan reformasi BBM.
(NEXT)
Penyesuaian harga BBM sejatinya memang dibutuhkan karena harga harga minyak mentah dunia yang terus merangkak naik, di mana saat ini sudah menembus US$ 80/barel.
Terlebih, nilai tukar rupiah juga melemah makin dalam. Sepanjang tahun ini, mata uang tanah air sudah terdepresiasi di kisaran 11% terhadap dolar AS. Bahkan, beberapa waktu terakhir, 1 US$ sempat dibanderol Rp 15.250 di pasar spot, atau merupakan yang terlemah sepanjang sejarah. Akibatnya, beban importase si emas hitam pun makin tinggi.
Efek samping dari jebolnya defisit perdagangan migas adalah melebarnya defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD). Pada kuartal II-2018, CAD melebar menjadi 3,04% dari Produk Domestik Bruto (PDB), merupakan yang terparah sejak tahun 2014.
Hal ini membuat rupiah kekurangan modal untuk menguat. Sebab devisa dari portofolio di pasar keuangan juga minim karena hot money terkonsentrasi ke Amerika Serikat (AS) akibat kenaikan suku bunga acuan. Hasilnya adalah rupiah melemah di kisaran 10% di hadapan dolar AS sejak awal tahun.
Dengan kenaikan harga premium, maka diharapkan konsumsi premium bisa turun karena masyarakat berhemat. Saat konsumsi turun, maka impor bisa ditekan sehingga transaksi berjalan pun tidak terlalu berdarah-darah. Rupiah pun bisa lebih stabil.
Apabila diperhatikan secara historis, kenaikan harga BBM Premium di tahun 2013 memang tidak serta-merta menyebabkan impor migas menurun. Pasalnya, saat itu BBM Premium menjadi satu-satunya jenis BBM yang terjangkau oleh masyarakat. Artinya sifatnya cenderung inelastis. Walaupun harganya naik, masyarakat akan tetap membelinya, mirip seperti komoditas beras.
Namun, sejak 2015 pemerintah sudah menyediakan barang substitusi bernama BBM jenis Pertalite yang harganya kini dibanderol sebesar Rp 7.800/liter. Selisihnya sekitar Rp 1.250/liter dengan BBM jenis premium.
Disparitas itu sebenarnya relatif kecil, apabila dibandingkan selisih harga BBM jenis Premium-Pertamax yang saat ini nyaris mencapai Rp4.000/liter. Artinya, sifat inelastis BBM Premium berkurang. Saat harga BBM Premium dinaikkan, maka pengurangan konsumsi akan lebih signifikan dibandingkan dengan tahun 2013.
Utamanya adalah konsumsi BBM Premium, yang impornya pun menyusahkan. Sudah langka negara yang bisa produksi RON 88 ini, dengan konsumsi yang tinggi dan kilang yang tak mampu produksi. Bensin satu ini harus diimpor langsung dalam bentuk BBM, harganya lebih mahal ketimbang beli crude/minyak mentah. Bahkan, dikabarkan harga bensin Premium ini bisa setara dengan Pertamax jika dihitung ongkos mengolahnya.
Tapi, jika pemerintah tetap ngotot mengguyur BBM Premium yang murah, apalagi ke Jawa-Madura-Bali, derasnya laju konsumsi BBM (dan impor migas) akan semakin tidak tertahan. Cita-cita menyelamatkan rupiah mungkin hanya tinggal impian.
Sementara, dari sisi APBN, pengamat ekonomi dari Universitas Indonesia (UI), Fithra Faisal Hastiadi, menuturkan pemangkasan subsidi BBM juga akan menjadi solusi yang efektif, khususnya BBM bersubsidi seperti solar.
"Solusi inilah (pemangkasan subsidi BBM) yang bisa menekan defisit neraca migas yang pada gilirannya bisa meredakan tekanan pada neraca semasa, berikut rupiah yang bisa lebih panjang nafasnya," ujar Fithra.
Ia pun melakukan simulasi perhitungan jika dilakukan pemangkasan subsidi BBM. Kontraksi output, dengan skenario pengurangan subsidi BBM sebesar 10%, maksimal hanya akan menyentuh 0,042% atau setara dengan Rp 11 triliun. Sementara itu, pendapatan masyarakat hanya akan berkurang 0,05% atau setara Rp1 triliun.
Untuk inflasi pun, memang akan meningkat, tetapi tidak terlalu besar peningkatannya. Berdasarkan beberapa hitungan, apabila subsidi dipotong 10% berarti ada kenaikan harga 10%, inflasinya kurang lebih bisa meningkat 0,4%. Memang, kalau dibandingkan dengan year-to-date akan signifikan kenaikannya, tetapi masih ada dalam rentang skenario inflasi pemerintah.
"Melihat dampaknya yang minimal dan tingkat efektivitasnya yang tinggi, maka usaha ini harus dilakukan," tandas Fithra.
(NEXT)
Lembaga pemeringkat Fitch Ratings menilai kebijakan pemerintah yang menunda kenaikan harga BBM Premium hanya semakin menekan kondisi keuangan PT Pertamina (Persero).
"Penundaan pemerintah menaikkan harga bahan bakar (Premium) akan menekan laba Pertamina hingga 12 bulan ke depan, akibat makin meruginya perusahaan di sektor penjualan BBM," ujar Direktur Fitch Ratings Shahim Zubair, dalam keterangan tertulisnya, Selasa (16/10/2018).
Mengapa demikian?
Pertama, pemerintah sebenarnya sudah menaikkan subsidi solar hingga Rp 2.000/liter pada tahun ini, dari sebelumnya Rp 500/liter. Akan tetapi, Fitch mengestimasikan bahwa kompensasi yang diterima Pertamina saat ini untuk BBM bersubsidi, hanya berkisar antara 60% - 75% dari harga pasar.
Alhasil, selisih harga yang ditanggung Pertamina (under-recoveries) khusus untuk BBM yang diregulasi (BBM Premium dan bersubsidi) akan jauh lebih tinggi pada tahun ini, dibandingkan dengan US$ 2 miliar (Rp 30,36 triliun) di tahun 2017.
Fitch memperkirakan under-recoveries yang akan ditanggung pertamina berada di kisaran US$ 1,2 miliar pada semester I-2018, dan akan menanjak lebih jauh di semester II-2018 seiring naiknya harga minyak mentah global.
Kedua, Pertamina memang sudah menetapkan harga Pertamax di wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya menjadi Rp 10.400/liter, Pertamax Turbo Rp 12.250/ liter, Pertamina Dex Rp 11.850/liter, Dexlite Rp 10.500/liter, dan Biosolar Non PSO Rp 9.800/liter.
Kenaikan tersebut merupakan yang terbesar pada tahun ini, sekaligus menjadi kenaikan ke-empat pada tahun 2018.
Meski demikian, disparitas yang substansial antara harga BBM Premium/bersubsidi dan BBM Perta Series dapat mengakibatkan permintaan BBM Perta Series tertekan secara signifikan. Alhasil, kerugian di sektor hilir justru akan membengkak.
Ketiga, kenaikan harga minyak dunia memang akan membuat bisnis hulu Pertamina jadi lebih menguntungkan. Namun, Fitch berpendapat bahwa hal ini hanya akan mengompensasi sebagian saja dari kerugian sektor hilir yang lebih besar, secara jangka pendek.
Fitch mengekspektasikan divisi hilir Pertamina akan mengalami kerugian EBITDA di sepanjang 2018, apabila dibandingkan dengan profit sebesar US$ 2,1 miliar (Rp 31,88 triliun) di 2017. Hal ini terjadi bahkan dengan kondisi subsidi solar yang sudah dinaikkan oleh pemerintah.
Oleh karena itu, Fitch mengestimasikan EBITDA Pertamina secara keseluruhan (mengecualikan dampak konsolidasi PT Perusahaan Gas Negara/PGN) akan jatuh di bawah US$ 6 miliar (Rp 91,08 triliun) di sepanjang 2018. Menurun drastis dari US$ 6,9 miliar (Rp 104,74 triliun) di 2017.
Berdasarkan riset Fitch tersebut, Tim Riset CNBC Indonesia mengambil kesimpulan bahwa dalam jangka pendek hingga menengah, berdarahnya keuangan Pertamina tentu tidak dapat dibiarkan begitu saja. Bagaimanapun juga Pertamina adalah badan usaha yang dimiliki oleh negara.
Artinya, menurunnya kinerja keuangan Pertamina akan menimbulkan kerugian bagi RI sendiri. Pendapatan negara dari sisi dividen, pajak, dan sebagainya, sudah dipastikan akan mengalami tekanan. Terlebih, jika pendarahannya semakin parah, mau tidak mau pemerintah akan dipaksa menyuntikkan modal bagi Pertamina.
Di luar sisi finansial, tertekannya keuangan Pertamina akan mengakibatkan perusahaan pelat merah tersebut sulit melakukan investasi. Padahal, Pertamina kini sedang diberi tanggung jawab mengelola blok-blok strategis di tanah air. Belum lagi menghitung sejumlah proyek kilang minyak strategis yang saat ini sedang berproses.
Ujung-ujungnya produksi minyak Pertamina akan mentok di situ-situ saja, bahkan bukan tidak mungkin akan mengalami penurunan. Padahal, peningkatan produksi minyak dalam negeri merupakan syarat mutlak untuk lepas dari ketergantungan impor minyak yang masif dalam jangka panjang.
(NEXT) Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) telah mengeluarkan Peraturan Menteri (Permen) LHK Nomor 20 Tahun 2017 tentang Baku Mutu Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor Tipe Baru Kategori M,N, dan O, yang mengatur pemberlakukan standar emisi Euro 4 di Indonesia.
Peraturan itu ditetapkan berlaku untuk kendaraan berbahan bakar bensin pada September 2018, dan khusus untuk kendaraan berbahan bakar diesel diberlakukan pada awal 2021. Ketentuan tersebut berlaku baik bagi kendaraan angkutan ringan/kendaraan penumpang kecil (light duty vehicle) dan kendaraan angkutan berat/kendaraan besar (heavy duty vehicle).
Seperti diketahui, selama ini Indonesia masih mengadopsi standar Euro 2 sejak tahun 2005 lalu, yang berarti sudah sekitar 13 tahun Indonesia "setia"menggunakan standar yang rendah untuk emisi. Sebagai perbandingan, negara-negara maju di dunia saat ini sudah mengadopsi standar yang jauh lebih tinggi, bahkan dibandingkan dengan Euro 4 sekalipun.
Seperti contoh, negara-negara Uni Eropa saat ini telah mengadopsi standar Euro 6 yang berlaku untuk penjualan mobil baru dan mobil ringan komersial sejak September 2015.
Sebagai informasi, Euro adalah penamaan standarisasi emisi gas buang kendaraan yang digunakan untuk mengurangi polusi udara dari gas hasil pembuangan mesin kendaraan. Semakin tinggi standar Euro, maka semakin kecil kadar bahan pencemar atau polusi udara yang dihasilkan oleh kendaraan bermotor.
Di Asia, Jepang telah menerapkan "Post New Long-Term Emission Standards" sejak 2010, yang berlaku bagi seluruh kendaraan angkutan ringan. Standar tersebut setara dengan batasan yang ditetapkan pada Euro 6.
Serupa dengan Negeri Sakura, Korea Selatan juga telah mengadopsi standar California's Non-Methane Organic Gases (NMOG) yang setara dengan Euro 6 untuk kendaraan berbahan bakar bensin, sejak 2009.
Dari benua Amerika, Amerika Serikat (AS) saat ini mulai mengadopsi standar US Tier 3 dari 2017-2025, yang berlaku untuk kendaraan hingga 14.000 lbs gross vehicle weight, atau untuk jenis kendaraan angkutan ringan. Sebagai catatan, standar US Tier 3 bahkan memiliki batasan yang lebih ketat dibandingkan Euro 6.
Bagaimana dengan negara Asia berkembang, termasuk negara-negara di Asia Tenggara? Saat ini China mengadopsi standar China 5, atau setara dengan Euro 5, dimana berlaku bagi kendaraan baru berbahan bakar bensin sejak Januari 2017. Sedangkan, untuk diesel baru efektif per Januari 2018.
Sebagai tambahan, Negeri Tirai Bambu akan mengadopsi standar baru bernama China 6 per Juli 2020. Standar baru tersebut akan menggabungkan komponen Euro 6 dan regulasi US Tier 2.
Dari Asia Selatan, India juga menerapkan standar Bharat IV (setara dengan Euro 4), yang berlaku untuk seluruh kendaraan angkutan ringan baru per April 2017. Seperti China, India juga menargetkan penerapan standar Bharat VI (setara dengan Euro IV) pada seluruh jenis kendaraaan baru pada April 2020.
Negara-negara tetangga pun ternyata sudah meninggalkan Indonesia. Vietnam telah lebih dulu mengadopsi Euro 4 sejak 1 Januari 2017 untuk kendaraan angkutan ringannya. Senada dengan Vietnam, Thailand juga menerapkan Euro 4 untuk kendaraan angkutan ringan, sementara untuk kendaraan angkutan beratnya masih mengunakan standar Euro 3.
Singapura, yang menjadi negara paling maju di kawasan ASEAN, bahkan telah mengadopsi Euro 6 sejak September 2017.
Melihat ulasan di atas, dapat dilihat bahwa Indonesia memang sudah cukup jauh tertinggal dari penerapan regulasi emisi kendaraan bermotor dunia. Standar Euro 4 yang akan diterapkan minimal akan membuat RI sejajar dengan negara-negara tetangga, sekaligus akan mengurangi intensitas polusi udara.
Sayangnya, sejauh ini Pertamina belum memiliki BBM yang memenuhi kapasitas Euro IV yang ditetapkan Kementerian LHK, bahkan untuk sekelas Pertamax. Jenis BBM itu memang memiliki Research Octane Number (RON) minimal 92 (sesuai yang disyaratkan KLHK), namun kandungan sulfurnya masih di atas 300 part per million (ppm). Padahal, standar KLHK maksimal hanya 50 ppm.
Nah, jika BBM sekelas Pertamax saja belum memenuhi standar Euro IV, lalu apa kabar Premium? Dengan kualitas RON 88, dan dengan kandungan sulfur bisa mencapai 500 ppm, Premium memang sudah amat tidak layak pakai. Konon ada yang mengatakan bahwa standar Euro 1 saja sebenarnya tidak bisa dipenuhi oleh Premium.
Pertamina sebagai pemasok utama BBM dikabarkan telah mempersiapkan kilang-kilangnya untuk bisa menghasilkan BBM dengan standar Euro IV. Salah satunya pengembangan Refinery Unit V Balikpapan dengan investasi Rp 7 triliun. Selain itu, akhir tahun ini Kilang Cilacap juga ditarget selesai dikembangkan dan dapat menghasilkan BBM berstandar Euro 4 dengan kapasitas sekitar 300 ribu barel/hari.
Jika kilang-kilang di tanah air sudah siap memasok BBM yang memenuhi standar Euro IV, nampaknya sudah tidak ada alasan lagi menggunakan BBM Premium. Maka, kenaikan harga setinggi-tingginya untuk pengurangan konsumsi, atau bahkan penghapusan sama sekali, akan menjadi takdir yang pantas diterima oleh BBM Premium.
Sebagai tambahan, tidak hanya memberikan insentif untuk beralih ke bahan bakar yang mendukung Euro IV, reformasi sektor BBM juga mendorong penggunaan Energi Baru dan Terbarukan (EBT) yang lebih masif.
Selama BBM murah masih tersedia secara luas, tidak ada urgensi dari sektor rumah tangga maupun industri untuk beralih mengembangkan EBT. Bahkan, subsidi BBM yang sudah jor-joran di tahun ini sebenarnya dapat dialokasikan ke subsidi atau insentif bagi pembangunan sektor EBT.
Karena, sejatinya dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 79 tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN), telah diatur bahwa target bauran energi yang optimal dalam pencapaian sasaran KEN adalah porsi EBT yang paling sedikit 23% pada tahun 2025, dan paling sedikit 31% pada tahun 2030. Sebaliknya peran minyak bumi juga dibatasi paling banyak 25% pada tahun 2025, dan paling banyak 20% pada tahun 2050. Selama masih “memanjakan” masyarakat dengan BBM murah, nampaknya target ini akan mustahil dicapai. (TIM RISET CNBC INDONESIA)
(RHG/gus) Next Article Inilah Daftar Tarif BBM yang Diturunkan Pertamina
Dengan realisasi saat ini, subsidi BBM dan LPG naik 96,7% dibanding realisasi di periode serupa tahun lalu yang hanya Rp 27,6 triliun. Prediksinya di akhir tahun subsidi BBM akan meroket jika tak dikendalikan, apalagi jika harga minyak dunia terus melesat.
Tidak hanya menjadi beban bagi anggaran pemerintah, sektor migas juga jadi biang kerok "hancurnya" neraca perdagangan di tahun ini.
Kondisi ini lantas menimbulkan desakan bahwa sudah tiba saatnya RI melakukan reformasi di sektor migas. Presiden Joko Widodo (Joko Widodo) perlu konsisten pada semangat awal untuk menaikkan level negara ini dari bangsa yang "kecanduan" BBM.
Di saat pemerintah nampaknya masih ragu-ragu untuk menaikkan harga BBM bersubsidi (termasuk Premium), Tim Riset CNBC Indonesia menguraikan faedah apa saja yang bisa diperoleh negara ini jika pemerintah "bernyali" untuk melakukan reformasi BBM.
(NEXT)
Penyesuaian harga BBM sejatinya memang dibutuhkan karena harga harga minyak mentah dunia yang terus merangkak naik, di mana saat ini sudah menembus US$ 80/barel.
Terlebih, nilai tukar rupiah juga melemah makin dalam. Sepanjang tahun ini, mata uang tanah air sudah terdepresiasi di kisaran 11% terhadap dolar AS. Bahkan, beberapa waktu terakhir, 1 US$ sempat dibanderol Rp 15.250 di pasar spot, atau merupakan yang terlemah sepanjang sejarah. Akibatnya, beban importase si emas hitam pun makin tinggi.
Efek samping dari jebolnya defisit perdagangan migas adalah melebarnya defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD). Pada kuartal II-2018, CAD melebar menjadi 3,04% dari Produk Domestik Bruto (PDB), merupakan yang terparah sejak tahun 2014.
Hal ini membuat rupiah kekurangan modal untuk menguat. Sebab devisa dari portofolio di pasar keuangan juga minim karena hot money terkonsentrasi ke Amerika Serikat (AS) akibat kenaikan suku bunga acuan. Hasilnya adalah rupiah melemah di kisaran 10% di hadapan dolar AS sejak awal tahun.
Dengan kenaikan harga premium, maka diharapkan konsumsi premium bisa turun karena masyarakat berhemat. Saat konsumsi turun, maka impor bisa ditekan sehingga transaksi berjalan pun tidak terlalu berdarah-darah. Rupiah pun bisa lebih stabil.
Apabila diperhatikan secara historis, kenaikan harga BBM Premium di tahun 2013 memang tidak serta-merta menyebabkan impor migas menurun. Pasalnya, saat itu BBM Premium menjadi satu-satunya jenis BBM yang terjangkau oleh masyarakat. Artinya sifatnya cenderung inelastis. Walaupun harganya naik, masyarakat akan tetap membelinya, mirip seperti komoditas beras.
Namun, sejak 2015 pemerintah sudah menyediakan barang substitusi bernama BBM jenis Pertalite yang harganya kini dibanderol sebesar Rp 7.800/liter. Selisihnya sekitar Rp 1.250/liter dengan BBM jenis premium.
Disparitas itu sebenarnya relatif kecil, apabila dibandingkan selisih harga BBM jenis Premium-Pertamax yang saat ini nyaris mencapai Rp4.000/liter. Artinya, sifat inelastis BBM Premium berkurang. Saat harga BBM Premium dinaikkan, maka pengurangan konsumsi akan lebih signifikan dibandingkan dengan tahun 2013.
Utamanya adalah konsumsi BBM Premium, yang impornya pun menyusahkan. Sudah langka negara yang bisa produksi RON 88 ini, dengan konsumsi yang tinggi dan kilang yang tak mampu produksi. Bensin satu ini harus diimpor langsung dalam bentuk BBM, harganya lebih mahal ketimbang beli crude/minyak mentah. Bahkan, dikabarkan harga bensin Premium ini bisa setara dengan Pertamax jika dihitung ongkos mengolahnya.
Tapi, jika pemerintah tetap ngotot mengguyur BBM Premium yang murah, apalagi ke Jawa-Madura-Bali, derasnya laju konsumsi BBM (dan impor migas) akan semakin tidak tertahan. Cita-cita menyelamatkan rupiah mungkin hanya tinggal impian.
Sementara, dari sisi APBN, pengamat ekonomi dari Universitas Indonesia (UI), Fithra Faisal Hastiadi, menuturkan pemangkasan subsidi BBM juga akan menjadi solusi yang efektif, khususnya BBM bersubsidi seperti solar.
"Solusi inilah (pemangkasan subsidi BBM) yang bisa menekan defisit neraca migas yang pada gilirannya bisa meredakan tekanan pada neraca semasa, berikut rupiah yang bisa lebih panjang nafasnya," ujar Fithra.
Ia pun melakukan simulasi perhitungan jika dilakukan pemangkasan subsidi BBM. Kontraksi output, dengan skenario pengurangan subsidi BBM sebesar 10%, maksimal hanya akan menyentuh 0,042% atau setara dengan Rp 11 triliun. Sementara itu, pendapatan masyarakat hanya akan berkurang 0,05% atau setara Rp1 triliun.
Untuk inflasi pun, memang akan meningkat, tetapi tidak terlalu besar peningkatannya. Berdasarkan beberapa hitungan, apabila subsidi dipotong 10% berarti ada kenaikan harga 10%, inflasinya kurang lebih bisa meningkat 0,4%. Memang, kalau dibandingkan dengan year-to-date akan signifikan kenaikannya, tetapi masih ada dalam rentang skenario inflasi pemerintah.
"Melihat dampaknya yang minimal dan tingkat efektivitasnya yang tinggi, maka usaha ini harus dilakukan," tandas Fithra.
(NEXT)
Lembaga pemeringkat Fitch Ratings menilai kebijakan pemerintah yang menunda kenaikan harga BBM Premium hanya semakin menekan kondisi keuangan PT Pertamina (Persero).
"Penundaan pemerintah menaikkan harga bahan bakar (Premium) akan menekan laba Pertamina hingga 12 bulan ke depan, akibat makin meruginya perusahaan di sektor penjualan BBM," ujar Direktur Fitch Ratings Shahim Zubair, dalam keterangan tertulisnya, Selasa (16/10/2018).
Mengapa demikian?
Pertama, pemerintah sebenarnya sudah menaikkan subsidi solar hingga Rp 2.000/liter pada tahun ini, dari sebelumnya Rp 500/liter. Akan tetapi, Fitch mengestimasikan bahwa kompensasi yang diterima Pertamina saat ini untuk BBM bersubsidi, hanya berkisar antara 60% - 75% dari harga pasar.
Alhasil, selisih harga yang ditanggung Pertamina (under-recoveries) khusus untuk BBM yang diregulasi (BBM Premium dan bersubsidi) akan jauh lebih tinggi pada tahun ini, dibandingkan dengan US$ 2 miliar (Rp 30,36 triliun) di tahun 2017.
Fitch memperkirakan under-recoveries yang akan ditanggung pertamina berada di kisaran US$ 1,2 miliar pada semester I-2018, dan akan menanjak lebih jauh di semester II-2018 seiring naiknya harga minyak mentah global.
Kedua, Pertamina memang sudah menetapkan harga Pertamax di wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya menjadi Rp 10.400/liter, Pertamax Turbo Rp 12.250/ liter, Pertamina Dex Rp 11.850/liter, Dexlite Rp 10.500/liter, dan Biosolar Non PSO Rp 9.800/liter.
Kenaikan tersebut merupakan yang terbesar pada tahun ini, sekaligus menjadi kenaikan ke-empat pada tahun 2018.
Meski demikian, disparitas yang substansial antara harga BBM Premium/bersubsidi dan BBM Perta Series dapat mengakibatkan permintaan BBM Perta Series tertekan secara signifikan. Alhasil, kerugian di sektor hilir justru akan membengkak.
Ketiga, kenaikan harga minyak dunia memang akan membuat bisnis hulu Pertamina jadi lebih menguntungkan. Namun, Fitch berpendapat bahwa hal ini hanya akan mengompensasi sebagian saja dari kerugian sektor hilir yang lebih besar, secara jangka pendek.
Fitch mengekspektasikan divisi hilir Pertamina akan mengalami kerugian EBITDA di sepanjang 2018, apabila dibandingkan dengan profit sebesar US$ 2,1 miliar (Rp 31,88 triliun) di 2017. Hal ini terjadi bahkan dengan kondisi subsidi solar yang sudah dinaikkan oleh pemerintah.
Oleh karena itu, Fitch mengestimasikan EBITDA Pertamina secara keseluruhan (mengecualikan dampak konsolidasi PT Perusahaan Gas Negara/PGN) akan jatuh di bawah US$ 6 miliar (Rp 91,08 triliun) di sepanjang 2018. Menurun drastis dari US$ 6,9 miliar (Rp 104,74 triliun) di 2017.
Berdasarkan riset Fitch tersebut, Tim Riset CNBC Indonesia mengambil kesimpulan bahwa dalam jangka pendek hingga menengah, berdarahnya keuangan Pertamina tentu tidak dapat dibiarkan begitu saja. Bagaimanapun juga Pertamina adalah badan usaha yang dimiliki oleh negara.
Artinya, menurunnya kinerja keuangan Pertamina akan menimbulkan kerugian bagi RI sendiri. Pendapatan negara dari sisi dividen, pajak, dan sebagainya, sudah dipastikan akan mengalami tekanan. Terlebih, jika pendarahannya semakin parah, mau tidak mau pemerintah akan dipaksa menyuntikkan modal bagi Pertamina.
Di luar sisi finansial, tertekannya keuangan Pertamina akan mengakibatkan perusahaan pelat merah tersebut sulit melakukan investasi. Padahal, Pertamina kini sedang diberi tanggung jawab mengelola blok-blok strategis di tanah air. Belum lagi menghitung sejumlah proyek kilang minyak strategis yang saat ini sedang berproses.
Ujung-ujungnya produksi minyak Pertamina akan mentok di situ-situ saja, bahkan bukan tidak mungkin akan mengalami penurunan. Padahal, peningkatan produksi minyak dalam negeri merupakan syarat mutlak untuk lepas dari ketergantungan impor minyak yang masif dalam jangka panjang.
(NEXT) Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) telah mengeluarkan Peraturan Menteri (Permen) LHK Nomor 20 Tahun 2017 tentang Baku Mutu Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor Tipe Baru Kategori M,N, dan O, yang mengatur pemberlakukan standar emisi Euro 4 di Indonesia.
Peraturan itu ditetapkan berlaku untuk kendaraan berbahan bakar bensin pada September 2018, dan khusus untuk kendaraan berbahan bakar diesel diberlakukan pada awal 2021. Ketentuan tersebut berlaku baik bagi kendaraan angkutan ringan/kendaraan penumpang kecil (light duty vehicle) dan kendaraan angkutan berat/kendaraan besar (heavy duty vehicle).
Seperti diketahui, selama ini Indonesia masih mengadopsi standar Euro 2 sejak tahun 2005 lalu, yang berarti sudah sekitar 13 tahun Indonesia "setia"menggunakan standar yang rendah untuk emisi. Sebagai perbandingan, negara-negara maju di dunia saat ini sudah mengadopsi standar yang jauh lebih tinggi, bahkan dibandingkan dengan Euro 4 sekalipun.
Seperti contoh, negara-negara Uni Eropa saat ini telah mengadopsi standar Euro 6 yang berlaku untuk penjualan mobil baru dan mobil ringan komersial sejak September 2015.
Sebagai informasi, Euro adalah penamaan standarisasi emisi gas buang kendaraan yang digunakan untuk mengurangi polusi udara dari gas hasil pembuangan mesin kendaraan. Semakin tinggi standar Euro, maka semakin kecil kadar bahan pencemar atau polusi udara yang dihasilkan oleh kendaraan bermotor.
Di Asia, Jepang telah menerapkan "Post New Long-Term Emission Standards" sejak 2010, yang berlaku bagi seluruh kendaraan angkutan ringan. Standar tersebut setara dengan batasan yang ditetapkan pada Euro 6.
Serupa dengan Negeri Sakura, Korea Selatan juga telah mengadopsi standar California's Non-Methane Organic Gases (NMOG) yang setara dengan Euro 6 untuk kendaraan berbahan bakar bensin, sejak 2009.
Dari benua Amerika, Amerika Serikat (AS) saat ini mulai mengadopsi standar US Tier 3 dari 2017-2025, yang berlaku untuk kendaraan hingga 14.000 lbs gross vehicle weight, atau untuk jenis kendaraan angkutan ringan. Sebagai catatan, standar US Tier 3 bahkan memiliki batasan yang lebih ketat dibandingkan Euro 6.
Bagaimana dengan negara Asia berkembang, termasuk negara-negara di Asia Tenggara? Saat ini China mengadopsi standar China 5, atau setara dengan Euro 5, dimana berlaku bagi kendaraan baru berbahan bakar bensin sejak Januari 2017. Sedangkan, untuk diesel baru efektif per Januari 2018.
Sebagai tambahan, Negeri Tirai Bambu akan mengadopsi standar baru bernama China 6 per Juli 2020. Standar baru tersebut akan menggabungkan komponen Euro 6 dan regulasi US Tier 2.
Dari Asia Selatan, India juga menerapkan standar Bharat IV (setara dengan Euro 4), yang berlaku untuk seluruh kendaraan angkutan ringan baru per April 2017. Seperti China, India juga menargetkan penerapan standar Bharat VI (setara dengan Euro IV) pada seluruh jenis kendaraaan baru pada April 2020.
Negara-negara tetangga pun ternyata sudah meninggalkan Indonesia. Vietnam telah lebih dulu mengadopsi Euro 4 sejak 1 Januari 2017 untuk kendaraan angkutan ringannya. Senada dengan Vietnam, Thailand juga menerapkan Euro 4 untuk kendaraan angkutan ringan, sementara untuk kendaraan angkutan beratnya masih mengunakan standar Euro 3.
Singapura, yang menjadi negara paling maju di kawasan ASEAN, bahkan telah mengadopsi Euro 6 sejak September 2017.
Melihat ulasan di atas, dapat dilihat bahwa Indonesia memang sudah cukup jauh tertinggal dari penerapan regulasi emisi kendaraan bermotor dunia. Standar Euro 4 yang akan diterapkan minimal akan membuat RI sejajar dengan negara-negara tetangga, sekaligus akan mengurangi intensitas polusi udara.
Sayangnya, sejauh ini Pertamina belum memiliki BBM yang memenuhi kapasitas Euro IV yang ditetapkan Kementerian LHK, bahkan untuk sekelas Pertamax. Jenis BBM itu memang memiliki Research Octane Number (RON) minimal 92 (sesuai yang disyaratkan KLHK), namun kandungan sulfurnya masih di atas 300 part per million (ppm). Padahal, standar KLHK maksimal hanya 50 ppm.
Nah, jika BBM sekelas Pertamax saja belum memenuhi standar Euro IV, lalu apa kabar Premium? Dengan kualitas RON 88, dan dengan kandungan sulfur bisa mencapai 500 ppm, Premium memang sudah amat tidak layak pakai. Konon ada yang mengatakan bahwa standar Euro 1 saja sebenarnya tidak bisa dipenuhi oleh Premium.
Pertamina sebagai pemasok utama BBM dikabarkan telah mempersiapkan kilang-kilangnya untuk bisa menghasilkan BBM dengan standar Euro IV. Salah satunya pengembangan Refinery Unit V Balikpapan dengan investasi Rp 7 triliun. Selain itu, akhir tahun ini Kilang Cilacap juga ditarget selesai dikembangkan dan dapat menghasilkan BBM berstandar Euro 4 dengan kapasitas sekitar 300 ribu barel/hari.
Jika kilang-kilang di tanah air sudah siap memasok BBM yang memenuhi standar Euro IV, nampaknya sudah tidak ada alasan lagi menggunakan BBM Premium. Maka, kenaikan harga setinggi-tingginya untuk pengurangan konsumsi, atau bahkan penghapusan sama sekali, akan menjadi takdir yang pantas diterima oleh BBM Premium.
Sebagai tambahan, tidak hanya memberikan insentif untuk beralih ke bahan bakar yang mendukung Euro IV, reformasi sektor BBM juga mendorong penggunaan Energi Baru dan Terbarukan (EBT) yang lebih masif.
Selama BBM murah masih tersedia secara luas, tidak ada urgensi dari sektor rumah tangga maupun industri untuk beralih mengembangkan EBT. Bahkan, subsidi BBM yang sudah jor-joran di tahun ini sebenarnya dapat dialokasikan ke subsidi atau insentif bagi pembangunan sektor EBT.
Karena, sejatinya dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 79 tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN), telah diatur bahwa target bauran energi yang optimal dalam pencapaian sasaran KEN adalah porsi EBT yang paling sedikit 23% pada tahun 2025, dan paling sedikit 31% pada tahun 2030. Sebaliknya peran minyak bumi juga dibatasi paling banyak 25% pada tahun 2025, dan paling banyak 20% pada tahun 2050. Selama masih “memanjakan” masyarakat dengan BBM murah, nampaknya target ini akan mustahil dicapai. (TIM RISET CNBC INDONESIA)
(RHG/gus) Next Article Inilah Daftar Tarif BBM yang Diturunkan Pertamina
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular