
Stiglitz: Negara Berkembang Harus Mampu Kelola Ekonomi
Advertorial, CNBC Indonesia
14 October 2018 00:00

Penerima Nobel Memorial Prize in Economic Science Joseph Stiglitz menyebutkan bahwa Indonesia dan negara berkembang lainnya harus mampu mengelola sistem keuangannya jika tak mau terkena dampak negatif yang diakibatkan oleh pengaruh global.
Dia menjelaskan, krisis pasar keuangan yang terjadi di sejumlah negara berkembang bukan disebabkan oleh kondisi dalam negeri, melainkan dari pengaruh negara berkembang.
"Paling penting dipahami adalah masalah ini berasal dari luar negara berkembang, negara bisa saja punya kebijakan ekonomi yang terbaik tapi akan tetap terdampak (efek global). Apalagi jika negara tersebut tidak melakukan apa-apa, maka akan lebih buruk lagi," kata Joseph dalam OJK - High Level Policy Dialogue di Hotel Ayana, Jimbaran, Jumat (12/10).
Sosok yang pernah mengisi jabatan chief economy dan vice president World Bank ini menyebutkan terdapat tiga hal yang perlu diperhatikan oleh banyak negara, tak hanya negara berkembang tapi juga negara maju dalam mengelola ekonomi negaranya.
Pertama, kenaikan suku bunga untuk tetap menjaga ekonomi tetap berjalan. Namun kenaikan suku bunga yang terus-terusan terjadi bisa menghancurkan ekonomi dan bisnis di negara tersebut. "Indonesia have been there enormously in 1997 and we all know what happened there," kata dia.
Kedua, membiarkan nilai tukar mata uang terus jatuh mungkin memang akan berdampak baik jika negaranya berbasis impor. Tapi sebaliknya, kondisi tersebut juga akan menjadi masalah ke depannya.
Ketiga, sebuah negara harus mampu mengelola nilai tukar dan kekuatan ekonominya. Tidak hanya dalam hal makro prudensial, pajak namun aliran dana masuk dan keluar (capital inflow and outflow) karena tingkat nilai tukar juga menjadi pertimbangan investor untuk mengatur portofolio investasi.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso menyampaikan bahwa Indonesia berkomitmen untuk menerapkan pembangunan berkelanjutan yang disampaikan langsung dari peraturan presiden.
Untuk mendukung pembangunan yang berkelanjutan ini, OJK sebagai regulator jasa keuangan menyerap aturan tersebut menjadi aturan-aturan yang mempermudah terbitnya instrumen keuangan yang akan dimanfaatkan untuk pembangunan infrastruktur.
"Untuk penerapan aturan tersebut, OJK memberikan insentif tertentu dengan bekerja sama dengan agency lain," imbuh dia.
Salah satu instrumen yang baru saja diterbitkan oleh pemerintah Indonesia adalah obligasi hijau (green bond) untuk membiayai proyek-proyek yang ramah lingkungan. Selain dengan instrumen keuangan, OJK juga menggandeng perbankan untuk membiayai proyek tersebut hingga bekerja dengan sektor swasta untuk memastikan program yang sudah ditetapkan pemerintah dapat berjalan ke depannya.
Pertemuan dua tokoh ekonomi ini dilakukan dalam OJK - High Level Policy Dialogue dengan tema The Future of Finance. Selain Wimboh dan Joseph, dialog ini juga dihadiri oleh Huw Van Steng yang merupakan Senior Advisor Bank of England dan Sean Kidney, CEO Climate Bonds Inittiative.
(adv/adv) Next Article Mantap! BJTM Berhasil Jadi BPD Terbesar dalam KUB
Dia menjelaskan, krisis pasar keuangan yang terjadi di sejumlah negara berkembang bukan disebabkan oleh kondisi dalam negeri, melainkan dari pengaruh negara berkembang.
"Paling penting dipahami adalah masalah ini berasal dari luar negara berkembang, negara bisa saja punya kebijakan ekonomi yang terbaik tapi akan tetap terdampak (efek global). Apalagi jika negara tersebut tidak melakukan apa-apa, maka akan lebih buruk lagi," kata Joseph dalam OJK - High Level Policy Dialogue di Hotel Ayana, Jimbaran, Jumat (12/10).
Pertama, kenaikan suku bunga untuk tetap menjaga ekonomi tetap berjalan. Namun kenaikan suku bunga yang terus-terusan terjadi bisa menghancurkan ekonomi dan bisnis di negara tersebut. "Indonesia have been there enormously in 1997 and we all know what happened there," kata dia.
Kedua, membiarkan nilai tukar mata uang terus jatuh mungkin memang akan berdampak baik jika negaranya berbasis impor. Tapi sebaliknya, kondisi tersebut juga akan menjadi masalah ke depannya.
Ketiga, sebuah negara harus mampu mengelola nilai tukar dan kekuatan ekonominya. Tidak hanya dalam hal makro prudensial, pajak namun aliran dana masuk dan keluar (capital inflow and outflow) karena tingkat nilai tukar juga menjadi pertimbangan investor untuk mengatur portofolio investasi.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso menyampaikan bahwa Indonesia berkomitmen untuk menerapkan pembangunan berkelanjutan yang disampaikan langsung dari peraturan presiden.
Untuk mendukung pembangunan yang berkelanjutan ini, OJK sebagai regulator jasa keuangan menyerap aturan tersebut menjadi aturan-aturan yang mempermudah terbitnya instrumen keuangan yang akan dimanfaatkan untuk pembangunan infrastruktur.
"Untuk penerapan aturan tersebut, OJK memberikan insentif tertentu dengan bekerja sama dengan agency lain," imbuh dia.
Salah satu instrumen yang baru saja diterbitkan oleh pemerintah Indonesia adalah obligasi hijau (green bond) untuk membiayai proyek-proyek yang ramah lingkungan. Selain dengan instrumen keuangan, OJK juga menggandeng perbankan untuk membiayai proyek tersebut hingga bekerja dengan sektor swasta untuk memastikan program yang sudah ditetapkan pemerintah dapat berjalan ke depannya.
Pertemuan dua tokoh ekonomi ini dilakukan dalam OJK - High Level Policy Dialogue dengan tema The Future of Finance. Selain Wimboh dan Joseph, dialog ini juga dihadiri oleh Huw Van Steng yang merupakan Senior Advisor Bank of England dan Sean Kidney, CEO Climate Bonds Inittiative.
(adv/adv) Next Article Mantap! BJTM Berhasil Jadi BPD Terbesar dalam KUB
Most Popular