Sabar, Wajar Jokowi Bimbang Naikkan Harga BBM

Raditya Hanung, CNBC Indonesia
10 October 2018 20:42
Sabar, Wajar Jokowi Bimbang Naikkan Harga BBM
Foto: Infografis/Harga Premium/Edward Ricardo
Jakarta, CNBC IndonesiaEntah apa yang ada di pikiran pemerintah, dalam jeda satu jam kebijakan sepenting menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) berubah-ubah. Dari yang semula ingin dinaikkan, kini diumumkan dibatalkan.

Pengumuman batal naiknya harga BBM Premium diumumkan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

"Sesuai arahan bapak Presiden rencana kenaikan harga premium di Jamali menjadi Rp 7.000 dan di luar Jamali menjadi Rp 6.900, secepatnya pukul 18.00 hari ini, agar ditunda dan dibahas ulang sambil menunggu kesiapan PT Pertamina," ujar Menteri ESDM Ignasius Jonan dalam keterangan tertulisnya, Kamis (10/10/2018).

Sebelumnya, di lobi hotel Sofitel Bali Menteri Jonan mengumumkan rencana menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Premium, dari Rp 6.550 per liter jadi Rp 7.000 per liter.

Meski demikian, sebenarnya wajar saja pemerintah cenderung bimbang untuk menaikkan harga BBM. Pasalnya, kenaikan harga BBM bisa dipandang dari dua sisi. Bisa dipandang sebagai racun, juga bisa dipandang sebagai obat penawar. Mengapa begitu? Berikut ulasan

Tim Riset CNBC Indonesia.
Apabila berkaca pada sejarah, setelah masa krisis dan pemulihan ekonomi dilewati, inflasi cenderung berfluktuasi di kisaran rata-rata 6,5% -7%, dengan mengalami tiga kali puncak pada tahun 2005 (17,11%), 2008 (11,06%), dan 2013 (8,38%).

Uniknya, ketiga puncak itu tercapai mengikuti momen penyesuaian harga yang diatur oleh pemerintah berupa kenaikan rata-rata harga BBM sebesar 155% di 2005, 28,7% di 2008, dan 41,9% di 2013. Artinya, relasi kenaikan harga BBM amatlah erat dengan pergerakan inflasi.

Di tahun 2005, SBY menaikkan harga BBM jenis premium dinaikkan sebanyak 2 kali. Tahap pertama dari Rp 1.810 ke Rp 2.400/liter, kemudian tahap kedua dari Rp 2.400 ke Rp 4.500/liter. Apa hasilnya? Pada tahun 2005 itu, pemerintahan SBY harus rela menerima inflasi sebesar 17,11%. Capaian itu melonjak drastis dari 6,4% di tahun 2004.

Kemudian, pada tahun 2008, SBY menaikkan harga BBM jenis premium sekali lagi, dari Rp 4.500/liter ke Rp 6.000/liter. Memang setelah itu, ketua umum Partai Demokrat itu menurunkan harganya ke Rp 5.000/liter menjelang akhir tahun.

Sabar, Wajar Jokowi Bimbang Naikkan Harga BBMFoto: Infografis/BBM_naik/Aristya Rahadian Krisabella


Namun, inflasi tahun 2008 akhirnya tak kuasa dibendung, hingga kembali menyentuh angka dua digit di level 11,06%. Naik dari 6,59% di 2007. Lebih lanjut, kenaikan harga BBM (yang berujung pada kenaikan inflasi) dapat dengan mudah mendorong kelompok masyarakat yang tipis berdiri di atas garis kemiskinan, terjerembab ke dalam jurang kemiskinan.

Paling sederhana, harga bahan makanan yang menjadi kebutuhan pokok masyarakat akan dengan mudah terkerek naik, mengikuti kenaikan biaya distribusi setelah harga BBM naik.

Hal ini juga tercermin dari data historis. Setahun setelah inflasi menyentuh angka 17,11% di 2005, jumlah penduduk miskin bertambah 4,2 juta orang.

Karena begitu sensitifnya inflasi dan kemiskinan terhadap kenaikan harga BBM, wajar jika pemerintah perlu berpikir ribuan kali sebelum menempuh kebijakan penyesuaian harga BBM.

Pemerintah harus siap dengan kebijakan lain yang bisa mengompensasi kebijakan kenaikan harga BBM. Jika berkaca pada pemerintahan SBY, pemerintah memang langsung menyediakan kebijakan yang dinamakan Bantuan Langsung Tunai (BLT), atau pemberian bantuan uang tunai bagi masyarakat miskin. 

Pada tahun 2005, saat pertama kalinya program BLT dikenalkan, keberlangsungannya bisa dibilang belum terlalu efektif dan efisien. Buktinya, jumlah penduduk miskin masih melonjak.

Namun, pada tahun 2008, saat kedua kalinya program BLT dieksekusi, pemerintahan SBY nampaknya cukup sukses. Setahun setelah inflasi menembus angka 11,06% di 2008, jumlah penduduk miskin malah turun 2,43 juta orang.

Oleh karena itu, bisa jadi saat ini pemerintah masih bimbang karena sedang meramu kebijakan yang paling pas untuk menetralisir “racun” kenaikan harga BBM.

(NEXT) Meski mengandung racun, kenaikan harga BBM sebenarnya menjadi “obat yang mujarab” untuk menyelamatkan kondisi perekonomian RI saat ini.

Penyesuaian harga BBM sejatinya memang dibutuhkan karena harga harga minyak mentah dunia yang terus merangkak naik, di mana saat ini sudah menembus US$ 80/barel.

Terlebih, nilai tukar rupiah juga melemah makin dalam. Sepanjang tahun ini, mata uang tanah air sudah terdepresiasi di kisaran 11% terhadap dolar AS. Bahkan, beberapa waktu terakhir, 1 US$ sempat dibanderol Rp 15.225 di pasar spot, atau merupakan yang terendah sejak krisis 1998. Akibatnya, beban importase si emas hitam pun makin tinggi.

Sebagai informasi, defisit perdagangan migas untuk periode Januari-Agustus 2018 sudah mencapai US$ 8,35 miliar (Rp 125 triliun).

Nilai itu bahkan jauh lebih besar dari defisit neraca perdagangan secara total sebesar US$ 4,11 miliar (Rp 62 triliun). Artinya, buruknya performa perdagangan migas menjadi biang kerok utama anjloknya defisit neraca perdagangan di tahun ini.

Apabila dibandingkan dengan capaian Januari-Agustus 2017 sebesar US$5,4 miliar, defisit migas di tahun ini sudah meningkat sekitar 55%.
  Efek samping dari jebolnya defisit perdagangan migas adalah melebarnya defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD). Pada kuartal II-2018, CAD melebar menjadi 3,04% dari Produk Domestik Bruto (PDB), merupakan yang terparah sejak tahun 2014.

Hal ini membuat rupiah kekurangan modal untuk menguat. Sebab devisa dari portofolio di pasar keuangan juga minim karena hot money terkonsentrasi ke Amerika Serikat (AS) akibat kenaikan suku bunga acuan. Hasilnya adalah rupiah melemah 10,9% di hadapan dolar AS sejak awal tahun.   

Dengan kenaikan harga premium, maka diharapkan konsumsi premium bisa turun karena masyarakat berhemat. Saat konsumsi turun, maka impor bisa ditekan sehingga transaksi berjalan pun tidak terlalu berdarah-darah. Rupiah pun bisa lebih stabil.

Pada akhirnya, kenaikan harga BBM menjadi "obat penawar" bagi penyakit yang bernama pelemahan rupiah dan memburuknya CAD.

(TIM RISET CNBC INDONESIA)
Pages

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular