Defisit Dagang RI dengan China Semakin Melebar, Apa Sebabnya?

Raditya Hanung, CNBC Indonesia
18 September 2018 10:38
Defisit perdagangan non-migas Indonesia dengan China melebar makin parah, menjadi US$12,18 miliar pada periode Januari-Agustus 2018.
Foto: Ilustrasi aktivitas bongkar muat di Jakarta International Container Terminal (JICT), Tanjung Priok, Jakarta Utara. (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC IndonesiaBadan Pusat Statistik (BPS) merilis nilai ekspor dan impor pada Agustus 2018. Pada periode tersebut, ekspor Indonesia mencapai US$15,82 miliar atau tumbuh 4,15% secara tahunan (year-on-year/YoY).

Bersamaan dengan itu, impor melambung 24,65% YoY menjadi US$16,84 miliar, sehingga defisit neraca perdagangan pada Agustus mencapai US$1,02 miliar.

Defisit itu jauh lebih besar daripada konsensus CNBC Indonesia yang meramal defisit sebesar US$645 juta. Berdasarkan survei CNBC Indonesia kepada sejumlah ekonom, impor diprediksikan tumbuh sebesar 25% YoY, sementara ekspor diperkirakan naik lebih kencang sebesar 10,1% YoY.

Satu catatan yang menarik, defisit perdagangan non-migas Indonesia dengan China melebar makin parah, dari US$9,17 miliar (Rp136,44 triliun) pada Januari-Agustus 2017 menjadi US$12,18 miliar (Rp181,23 triliun) pada Januari-Agustus 2018.



Secara historis, defisit perdagangan non-migas dengan China pada periode Januari-Agustus 2018 ini bisa dibilang sudah cukup parah. Nilai sebesar US$12,18 miliar itu sedikit lagi menyamai defisit perdagangan sebesar US$12,68 miliar (Rp188,67 triliun) di sepanjang tahun 2017. Padahal data tahun ini baru terkumpul selama 8 bulan.

Berdasarkan data dari BPS periode Januari-Juni 2018, produk non-migas Made in China yang paling rajin dikirim ke tanah air adalah Perlengkapan Telekomunikasi dan Suku Cadangnya (Kode SITC 764). Nilai impor produk ini mencapai US$2,36 miliar (Rp35,11 triliun), atau naik lebih dari 25% dari periode yang sama tahun lalu.

Adapun sub-produk yang mendominasi impor kelompok Kode SITC 764 adalah suku cadang perlengkapan telekomunikasi (Kode SITC 76418), di mana nilai impornya nyaris mencapai 80% dari total nilai impor kelompok Perlengkapan Telekomunikasi dan Suku Cadangnya pada tahun 2017.



Satu peringkat di bawah, produk yang paling banyak diimpor dari China di semester I-2018 adalah Mesin Pemroses Data Otomatis dan Bagiannya (Kode SITC 752), dengan nilai impor mencapai US$773,35 juta (Rp11,5 triliun). Dibandingkan dengan semester I-2017, nilai impor kelompok ini melonjak 35%.

Berbeda dengan impor kelompok Perlengkapan Telekomunikasi yang didominasi oleh barang modal (suku cadang), impor kelompok Kode SITC 752 justru didominasi oleh barang konsumsi.

Adalah sub-produk mesin pemroses data otomatis portabel (dengan berat (Kode SITC 7522) yang berkontribusi nyaris 70% dari total nilai impor kelompok Mesin Pemroses Data Otomatis pada tahun 2017. Barang-barang seperti laptop atau notebook masuk ke dalam kategori sub-produk tersebut.

Selain dua produk di atas, produk lainnya yang menyumbang cukup signifikan bagi pelebaran defisit RI-China adalah Mesin Listrik dan Peralatannya (Kode SITC 778), dengan nilai impor mencapai US$536,27 juta (Rp7,98 triliun) pada semester I-2018. Nilai sebesar itu meningkat sekitar 41% dari periode yang sama tahun 2017.

Peningkatan impor 3 komoditas utama di atas lantas membuat defisit perdagangan non migas RI-China makin parah. Jika hal ini terus berlangsung, bukan tidak mungkin pemerintahan Jokowi mengulangi "blunder" pada tahun 2015, saat defisit perdagangan non migas RI-China melebar parah hingga mencapai US$14,36 miliar (Rp214 triliun). Catatan hitam bagi sang presiden ke-7 RI.

(RHG/ray) Next Article Tembus US$ 15,82 M, Ini Daftar 10 Komoditas Andalan Ekspor RI

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular