
Internasional
Utang Terus Menanjak, Warga Thailand Berjuang Bayar Cicilan
Ester Christine Natalia, CNBC Indonesia
30 August 2018 18:42

Bangkok, CNBC Indonesia - Pimpa Panlao, 31 tahun, berjuang untuk membayar pinjaman bank sebesar 80.000 baht (Rp 36 juta) dan menggunakan sepertiga pendapatan dari berjualan aksesoris perempuan di pasar Bangkok untuk membayar cicilan.
(roy) Next Article Deteksi Corona, Jokowi: Jangan Sampai Indonesia Diragukan
"Bisnis buruk dan [kondisinya] sangat sulit ketika Anda memiliki utang," kata Pimpa, yang menggunakan sebagian besar pinjaman untuk membiayai bisnisnya, kepada Reuters.
Pimpa tidak sendirian.
Dengan tumpukan utang 12,17 triliun baht di akhir bulan Maret atau setara 77,6% terhadap produk domestik bruto (PDB), rumah tangga Thailand ada diantara para peminjam terbesar di Asia. Mereka merasa semakin kesusahan untuk melakukan pembayaran utangnya.
Sebagai tambahan, masalah utang mereka bisa meningkat karena bank sentral Thailand mengeluarkan sinyal akan mengikuti jejak bank sentral lain di seluruh dunia dan menaikkan suku bunga dari posisi yang mendekati level terendah.
Kredit kepemilikan rumah (KPR/mortgage) macet, yaitu kredit yang belum dibayar selama lebih dari tiga bulan, adalah sebesar 3,39% dari total KPR di akhir kuartal kedua. Level itu adalah yang tertinggi sejak akhir krisis keuangan global di tahun 2009.
Pinjaman otomotif yang menunggak selama satu sampai tiga bulan naik menjadi 7,25% di akhir bulan Juni. Posisi itu merupakan yang tertinggi sejak September tahun lalu, serta mengalami kenaikan dari 6,97% di akhir bulan Maret.
Konsumsi swasta adalah elemen penting yang mendorong perekonomian Thailand, yang menyumbang setengah dari PDB sebesar US$490 miliar (Rp 7.217 triliun).
Laju pinjaman konsumen terus meningkat di kuartal kedua, ketika keseluruhan utang konsumen naik 8% dari setahun sebelumnya. Peningkatan tersebut termasuk kenaikan 6,2% di bidang KPR dan 12,4% di bidang pinjaman mobil.
Namun, yang menjadi risiko adalah peningkatan beban utang tersebut akan memperlambat pertumbuhan negara dengan perekonomian terbesar kedua di Asia Tenggara itu.
Jumlah PDB terkini di kuartal kedua menunjukkan pertumbuhan ekonomi melambat dari kuartal pertama. Meskipun begitu, Dewan Ekonomi dan Pembangunan Sosial Nasional (National Economic and Social Development Board) tidak merubah proyeksi pertumbuhan 2018 yang tetap di kisaran 4,2% sampai 4,7%.
Namun, para ekonom berkata pertumbuhan akan masih sangat bergantung pada ekspor karena tingginya utang rumah tangga membebani konsumen. Hal tersebut digarisbawahi oleh indeks bank sentral yang menunjukkan konsumsi swasta tidak tumbuh di bulan Juni dari Mei.
Mengalami tekanan
JMT Network Services, yang merupakan penagih utang konsumen tanpa jaminan di Thailand, memprediksi utang konsumen akan mengalami kenaikan lebih tinggi tahun ini dengan KPR yang menyumbang setengah dari total utang.
"Seraya pinjaman konsumen meningkat, kredit macet juga akan naik. Sekarang kami juga melihat semakin banyak pinjaman dengan jaminan, khususnya KPR, yang macet. Kami membeli itu dengan lebih banyak juga," kata Sutthirak Traichira-aporn selaku Direktur Eksekutif JMT. Dia membeli kredit macet dan memberi layanan penagihan utang di Thailand.
JMT memprediksi kenaikan laba 30% di tahun 2018 yang melampaui rekor laba tahun lalu, kata Sutthirak. Perusahaan itu mengelola 3,2 juta rekening utang bermasalah senilai 128 miliar baht dan ingin menghimpun lebih banyak lagi tahun ini.
"Kami bisa membeli segala kredit macet yang kami inginkan di pasaran. Itu sangat besar, jauh lebih besar dibanding kami," katanya.
Rosukon Chakkrapongwan, seorang debitur yang juga susah payah membayar utang, khawatir dia akan kehilangan rumahnya di saat berjuang membayar cicilan KPR 4 juta baht yang dia ambil tiga tahun lalu.
"Itu tidak menjadi masalah dua tahun lalu. Namun, tahun ini bisnis sangat buruk dan masyarakat tidak ingin berbelanja," kata pedagang berusia 44 tahun yang memperoleh 30.000 baht dengan menjual kosmetik. Lebih dari setengah penghasilan itu langsung digunakan untuk membayar utang.
"Saya gagal membayar cicilan utang selama tiga bulan sekarang."
Dia juga mengkhawatirkan kemungkinan terburuk jika bank sentral menaikkan suku bunga.
"Ini akan membuat hidup semakin susah. Saya tidak tahu apakah bisa mempertahankan rumah saya," katanya.
Pimpa tidak sendirian.
Kredit kepemilikan rumah (KPR/mortgage) macet, yaitu kredit yang belum dibayar selama lebih dari tiga bulan, adalah sebesar 3,39% dari total KPR di akhir kuartal kedua. Level itu adalah yang tertinggi sejak akhir krisis keuangan global di tahun 2009.
Pinjaman otomotif yang menunggak selama satu sampai tiga bulan naik menjadi 7,25% di akhir bulan Juni. Posisi itu merupakan yang tertinggi sejak September tahun lalu, serta mengalami kenaikan dari 6,97% di akhir bulan Maret.
Konsumsi swasta adalah elemen penting yang mendorong perekonomian Thailand, yang menyumbang setengah dari PDB sebesar US$490 miliar (Rp 7.217 triliun).
Laju pinjaman konsumen terus meningkat di kuartal kedua, ketika keseluruhan utang konsumen naik 8% dari setahun sebelumnya. Peningkatan tersebut termasuk kenaikan 6,2% di bidang KPR dan 12,4% di bidang pinjaman mobil.
Namun, yang menjadi risiko adalah peningkatan beban utang tersebut akan memperlambat pertumbuhan negara dengan perekonomian terbesar kedua di Asia Tenggara itu.
Jumlah PDB terkini di kuartal kedua menunjukkan pertumbuhan ekonomi melambat dari kuartal pertama. Meskipun begitu, Dewan Ekonomi dan Pembangunan Sosial Nasional (National Economic and Social Development Board) tidak merubah proyeksi pertumbuhan 2018 yang tetap di kisaran 4,2% sampai 4,7%.
Namun, para ekonom berkata pertumbuhan akan masih sangat bergantung pada ekspor karena tingginya utang rumah tangga membebani konsumen. Hal tersebut digarisbawahi oleh indeks bank sentral yang menunjukkan konsumsi swasta tidak tumbuh di bulan Juni dari Mei.
Mengalami tekanan
JMT Network Services, yang merupakan penagih utang konsumen tanpa jaminan di Thailand, memprediksi utang konsumen akan mengalami kenaikan lebih tinggi tahun ini dengan KPR yang menyumbang setengah dari total utang.
"Seraya pinjaman konsumen meningkat, kredit macet juga akan naik. Sekarang kami juga melihat semakin banyak pinjaman dengan jaminan, khususnya KPR, yang macet. Kami membeli itu dengan lebih banyak juga," kata Sutthirak Traichira-aporn selaku Direktur Eksekutif JMT. Dia membeli kredit macet dan memberi layanan penagihan utang di Thailand.
JMT memprediksi kenaikan laba 30% di tahun 2018 yang melampaui rekor laba tahun lalu, kata Sutthirak. Perusahaan itu mengelola 3,2 juta rekening utang bermasalah senilai 128 miliar baht dan ingin menghimpun lebih banyak lagi tahun ini.
"Kami bisa membeli segala kredit macet yang kami inginkan di pasaran. Itu sangat besar, jauh lebih besar dibanding kami," katanya.
Rosukon Chakkrapongwan, seorang debitur yang juga susah payah membayar utang, khawatir dia akan kehilangan rumahnya di saat berjuang membayar cicilan KPR 4 juta baht yang dia ambil tiga tahun lalu.
"Itu tidak menjadi masalah dua tahun lalu. Namun, tahun ini bisnis sangat buruk dan masyarakat tidak ingin berbelanja," kata pedagang berusia 44 tahun yang memperoleh 30.000 baht dengan menjual kosmetik. Lebih dari setengah penghasilan itu langsung digunakan untuk membayar utang.
"Saya gagal membayar cicilan utang selama tiga bulan sekarang."
Dia juga mengkhawatirkan kemungkinan terburuk jika bank sentral menaikkan suku bunga.
"Ini akan membuat hidup semakin susah. Saya tidak tahu apakah bisa mempertahankan rumah saya," katanya.
(roy) Next Article Deteksi Corona, Jokowi: Jangan Sampai Indonesia Diragukan
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular