
Jokowi, Bebas Pajak Setengah Abad, dan Kendalanya
Raditya Hanung, CNBC Indonesia
27 July 2018 13:39

Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah nampaknya makin serius dalam menarik investasi datang ke Indonesia sekaligus memperkuat struktur industri nasional. Terbaru, Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta Kementerian Keuangan mengkaji fasilitas libur pajak (tax holiday) hingga setengah abad.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan perintah itu disampaikan dalam pertemuan antara Presiden dengan 40 pengusaha dan eksportir raksasa di Istana Bogor, Kamis (26/7/2018).
"Presiden meminta saya untuk mengkaji apabila tax holiday bisa diperpanjang sampai 50 tahun tapi limited time, sehingga betul-betul bisa mengundang investor dan menanamkan modalnya di Indonesia," ungkap Menteri yang akrab dipanggil SMI tersebut.
Seperti diketahui, saat ini aturan yang berlaku menetapkan fasilitas tax holiday paling lama adalah 20 tahun. Sehingga, dengan perpanjangan hingga setengah abad, investor semakin tertarik untuk menanamkan modalnya di tanah air.
Perlu dicatat bahwa ini bukan kali pertama pemerintah Indonesia berikhtiar untuk memberikan kejutan insentif bagi investor di tahun ini. Sebelumnya, melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 35 tahun 2018 tentang Pemberian Fasilitas Pengurangan Pajak Penghasilan Badan yang diterbitkan pada 4 April 2018, pemerintah memperluas cakupan industri pionir penerima fasilitas tax holiday, dari semula 8 industri menjadi 17 industri.
Besaran tax holiday pun berubah menjadi 100% untuk semua nilai investasi (hanya dibedakan jadi beberapa layer lama pemberian fasilitas), dari peraturan lama diberikan dalam rentang 10-100% tergantung seberapa besar nilai investasi.
Selain PMK yang sudah terbit tersebut, Kementerian Keuangan juga tengah menyiapkan pemberian tax holiday bagi nilai investasi di bawah Rp 500 miliar, atau sering disebut tax holiday mini. Kemudian, pemerintah juga meluncurkan sistem perizinan terpadu elektronik atau Online Single Submission (OSS).
Dengan sederet regulasi yang mampu membangkitkan gairah investasi tersebut, nampaknya aliran modal akan siap menyerbu Indonesia. Terlebih, apabila itu modal asing, maka akan membantu nilai tukar rupiah untuk menguat. Sebagai catatan, di sepanjang tahun ini (year-to-date/YTD), mata uang garuda sudah terdepresiasi di kisaran 6%, hingga menyentuh Rp14.500/US$.
Namun, apakah teorinya semudah itu? Meski sudah digalakkan sejak dimulainya era pemerintahan Jokowi-JK, sejauh ini tax holiday masih sepi peminat. Bahkan pada 2017, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan bahwa tak satupun perusahaan yang mengajukan diri untuk mendapatkan tax holiday.
Memang bukan berarti kebijakan ini sama sekali tidak menelurkan hasil. Tercatat pada 2015 setidaknya ada 11 perusahaan yang mengajukan diri untuk mendapatkan fasilitas tax holiday, di antaranya Unilever. Namun demikian, setelah periode tersebut tidak ada lagi pengembangan berarti.
Hal inipun tergambarkan pada realisasi investasi di Indonesia yang cenderung melambat pada tahun 2016 dan 2017. Tercatat pertumbuhan investasi di Indonesia pada tahun 2016 sebesar 12,48% secara tahunan (year-on-year/YoY), mengalami penurunan dari pertumbuhan 2015 sebesar 17,77% YoY.
Sedangkan, pertumbuhan investasi tahun 2017 memang mampu lebih baik dari tahun sebelumnya, yakni sebesar 13,05% YoY. Namun, lajunya belum sekencang di tahun 2015. Pada kuartal I-2018 pun, pertumbuhannya hanya sebesar 11,76% YoY.
Meski efek dari PMK No. 35 tahun 2018 mungkin baru tercatat dampaknya di realisasi investasi kuartal-II 2018 atau seterusnya, namun tim riset CNBC Indonesia menganalisis setidaknya ada beberapa faktor yang bisa menghambat keefektifan dari regulasi tax holiday.
Baru pada era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) regulasi tax holiday kembali diluncurkan dengan payung hukum PMK No. 130/2011. Pada era pemerintahan Jokowi-JK, peraturan ini diubah dengan PMK No. 159/2015, yang kemudian disempurnakan menjadi PMK No. 103/2016.
Ada perubahan mendasar yang mengindikasikan inkonsistensi pemerintah, yakni perubahan istilah "Pembebasan atau Pengurangan PPh badan” pada PMK No 130/2011 era SBY menjadi hanya “Pengurangan PPh Badan” pada PMK No. 103 tahun 2016 era Jokowi.
Pada PMK 130/2011, tidak ada ketentuan rentang besaran pengurangan PPh Badan atau 100% dibebaskan. Namun, pada PMK 159/2015 diatur bahwa pengurangan PPh Badan berada di rentang 10%-100% dari jumlah PPh Badan terutang. Inkosistensi ini nampaknya memicu kekhawatiran tersendiri bagi investor.
Memang, pada PMK No.35 Tahun 2018, ketentuannya sudah diganti menjadi pengurangan PPh Badan sebesar 100%, atau berarti bebas pajak. Namun, pandangan “ganti rezim = ganti peraturan” tentu saja masih menghantui investor.
Apalagi, tahun 2019 merupakan tahun politik. Tidak ada yang menjamin Presiden Jokowi akan memimpin untuk 2 periode berturut-turut. Alhasil, tidak ada pula yang bisa memastikan regulasi tax holiday akan berumur panjang.
Berdasarkan hasil survei pada sejumlah eksekutif perusahaan global yang disusun United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD), dan dipublikasikan pada World Investment Report 2017, ternyata faktor insentif pajak bukanlah merupakan faktor utama yang mempengaruhi aktivitas penanaman modal asing.
Berdasarkan kajian UNCTAD, faktor perubahan rezim pajak hanya dianggap penting untuk meningkatkan penanaman modal oleh 28% responden. Jumlah tersebut masih berada di bawah beberapa faktor makroekonomi, perusahaan, dan eksternal lainnya, seperti kondisi ekonomi negara Asia berkembang (82%), perubahan teknologi-termasuk ekonomi digital (70%), ketersediaan sumber daya manusia berkualitas (41%), ketahanan energi (39%), program quantitative easing (36%), harga komoditas (36%), dan perubahan pola konsumsi (32%).
Masih berdasarkan survei yang dilakukan UNCTAD, eksekutif perusahaan global paling berminat untuk berinvestasi di sektor agrikultur dan industri kimia. Sektor agrikultur dianggap menarik oleh 48% responden, sementara industri kimia diminati 35% responden.
Sayangnya pertumbuhan kedua sektor tersebut tidaklah menggembirakan dalam 4 tahun terakhir. Pertumbuhan sektor industri kimia sempat menanjak hingga mencapai 7,61% YoY pada tahun 2015, namun harus anjlok 2 tahun ke depan hingga hanya tumbuh 4,53% pada tahun 2017.
Sementara itu, performa sektor pertanian pun tidak kalah lesunya, di mana pada tahun 2017 hanya mencatatkan pertumbuhan sebesar 3,81% YoY, masih jauh di bawah pertumbuhan ekonomi nasional yang sebesar 5,07%. Capaian tersebut bahkan masih lebih rendah dari pertumbuhan tahun 2014 sebesar 4,24% YoY.
Penurunan harga pangan memang menyebabkan sektor ini tumbuh melambat. Harga minyak sawit mentah (CPO) turun 22,88% dalam setahun terakhir, sementara harga karet turun 40,9% dipicu ramainya penggunaan karet sintesis.
(dru) Next Article Yeay!! Jalan Tol RI Tambah Satu Lagi
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan perintah itu disampaikan dalam pertemuan antara Presiden dengan 40 pengusaha dan eksportir raksasa di Istana Bogor, Kamis (26/7/2018).
"Presiden meminta saya untuk mengkaji apabila tax holiday bisa diperpanjang sampai 50 tahun tapi limited time, sehingga betul-betul bisa mengundang investor dan menanamkan modalnya di Indonesia," ungkap Menteri yang akrab dipanggil SMI tersebut.
Perlu dicatat bahwa ini bukan kali pertama pemerintah Indonesia berikhtiar untuk memberikan kejutan insentif bagi investor di tahun ini. Sebelumnya, melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 35 tahun 2018 tentang Pemberian Fasilitas Pengurangan Pajak Penghasilan Badan yang diterbitkan pada 4 April 2018, pemerintah memperluas cakupan industri pionir penerima fasilitas tax holiday, dari semula 8 industri menjadi 17 industri.
Besaran tax holiday pun berubah menjadi 100% untuk semua nilai investasi (hanya dibedakan jadi beberapa layer lama pemberian fasilitas), dari peraturan lama diberikan dalam rentang 10-100% tergantung seberapa besar nilai investasi.
Selain PMK yang sudah terbit tersebut, Kementerian Keuangan juga tengah menyiapkan pemberian tax holiday bagi nilai investasi di bawah Rp 500 miliar, atau sering disebut tax holiday mini. Kemudian, pemerintah juga meluncurkan sistem perizinan terpadu elektronik atau Online Single Submission (OSS).
Dengan sederet regulasi yang mampu membangkitkan gairah investasi tersebut, nampaknya aliran modal akan siap menyerbu Indonesia. Terlebih, apabila itu modal asing, maka akan membantu nilai tukar rupiah untuk menguat. Sebagai catatan, di sepanjang tahun ini (year-to-date/YTD), mata uang garuda sudah terdepresiasi di kisaran 6%, hingga menyentuh Rp14.500/US$.
Namun, apakah teorinya semudah itu? Meski sudah digalakkan sejak dimulainya era pemerintahan Jokowi-JK, sejauh ini tax holiday masih sepi peminat. Bahkan pada 2017, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan bahwa tak satupun perusahaan yang mengajukan diri untuk mendapatkan tax holiday.
Memang bukan berarti kebijakan ini sama sekali tidak menelurkan hasil. Tercatat pada 2015 setidaknya ada 11 perusahaan yang mengajukan diri untuk mendapatkan fasilitas tax holiday, di antaranya Unilever. Namun demikian, setelah periode tersebut tidak ada lagi pengembangan berarti.
Hal inipun tergambarkan pada realisasi investasi di Indonesia yang cenderung melambat pada tahun 2016 dan 2017. Tercatat pertumbuhan investasi di Indonesia pada tahun 2016 sebesar 12,48% secara tahunan (year-on-year/YoY), mengalami penurunan dari pertumbuhan 2015 sebesar 17,77% YoY.
Sedangkan, pertumbuhan investasi tahun 2017 memang mampu lebih baik dari tahun sebelumnya, yakni sebesar 13,05% YoY. Namun, lajunya belum sekencang di tahun 2015. Pada kuartal I-2018 pun, pertumbuhannya hanya sebesar 11,76% YoY.
![]() |
Meski efek dari PMK No. 35 tahun 2018 mungkin baru tercatat dampaknya di realisasi investasi kuartal-II 2018 atau seterusnya, namun tim riset CNBC Indonesia menganalisis setidaknya ada beberapa faktor yang bisa menghambat keefektifan dari regulasi tax holiday.
(NEXT)
Regulasi tax holiday sebenarnya sudah ada sejak tahun 1967 melalui Undang-Undang (UU) No. 1/1967 tentang Penanaman Modal Asing. Namun, regulasi ini beberapa kali dihapuskan dan diterbitkan kembali. Baru pada era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) regulasi tax holiday kembali diluncurkan dengan payung hukum PMK No. 130/2011. Pada era pemerintahan Jokowi-JK, peraturan ini diubah dengan PMK No. 159/2015, yang kemudian disempurnakan menjadi PMK No. 103/2016.
Ada perubahan mendasar yang mengindikasikan inkonsistensi pemerintah, yakni perubahan istilah "Pembebasan atau Pengurangan PPh badan” pada PMK No 130/2011 era SBY menjadi hanya “Pengurangan PPh Badan” pada PMK No. 103 tahun 2016 era Jokowi.
Pada PMK 130/2011, tidak ada ketentuan rentang besaran pengurangan PPh Badan atau 100% dibebaskan. Namun, pada PMK 159/2015 diatur bahwa pengurangan PPh Badan berada di rentang 10%-100% dari jumlah PPh Badan terutang. Inkosistensi ini nampaknya memicu kekhawatiran tersendiri bagi investor.
Memang, pada PMK No.35 Tahun 2018, ketentuannya sudah diganti menjadi pengurangan PPh Badan sebesar 100%, atau berarti bebas pajak. Namun, pandangan “ganti rezim = ganti peraturan” tentu saja masih menghantui investor.
Apalagi, tahun 2019 merupakan tahun politik. Tidak ada yang menjamin Presiden Jokowi akan memimpin untuk 2 periode berturut-turut. Alhasil, tidak ada pula yang bisa memastikan regulasi tax holiday akan berumur panjang.
Berdasarkan hasil survei pada sejumlah eksekutif perusahaan global yang disusun United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD), dan dipublikasikan pada World Investment Report 2017, ternyata faktor insentif pajak bukanlah merupakan faktor utama yang mempengaruhi aktivitas penanaman modal asing.
![]() |
Berdasarkan kajian UNCTAD, faktor perubahan rezim pajak hanya dianggap penting untuk meningkatkan penanaman modal oleh 28% responden. Jumlah tersebut masih berada di bawah beberapa faktor makroekonomi, perusahaan, dan eksternal lainnya, seperti kondisi ekonomi negara Asia berkembang (82%), perubahan teknologi-termasuk ekonomi digital (70%), ketersediaan sumber daya manusia berkualitas (41%), ketahanan energi (39%), program quantitative easing (36%), harga komoditas (36%), dan perubahan pola konsumsi (32%).
Masih berdasarkan survei yang dilakukan UNCTAD, eksekutif perusahaan global paling berminat untuk berinvestasi di sektor agrikultur dan industri kimia. Sektor agrikultur dianggap menarik oleh 48% responden, sementara industri kimia diminati 35% responden.
Sayangnya pertumbuhan kedua sektor tersebut tidaklah menggembirakan dalam 4 tahun terakhir. Pertumbuhan sektor industri kimia sempat menanjak hingga mencapai 7,61% YoY pada tahun 2015, namun harus anjlok 2 tahun ke depan hingga hanya tumbuh 4,53% pada tahun 2017.
![]() |
Sementara itu, performa sektor pertanian pun tidak kalah lesunya, di mana pada tahun 2017 hanya mencatatkan pertumbuhan sebesar 3,81% YoY, masih jauh di bawah pertumbuhan ekonomi nasional yang sebesar 5,07%. Capaian tersebut bahkan masih lebih rendah dari pertumbuhan tahun 2014 sebesar 4,24% YoY.
Penurunan harga pangan memang menyebabkan sektor ini tumbuh melambat. Harga minyak sawit mentah (CPO) turun 22,88% dalam setahun terakhir, sementara harga karet turun 40,9% dipicu ramainya penggunaan karet sintesis.
(dru) Next Article Yeay!! Jalan Tol RI Tambah Satu Lagi
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular