Kata Faisal Basri Rupiah Anjlok Sebab Industri Lemah, Benar?

Raditya Hanung, CNBC Indonesia
23 July 2018 19:05
Indonesia harus menghapus hambatan investasi untuk mendorong ekspor industri.
Foto: REUTERS/Vincent Kessler
Jakarta, CNBC Indonesia - Pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) terus terjadi bahkan menembus Rp 14.500/US$.

Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Faisal Basri menilai pelemahan ini disebabkan juga karena industri RI yang lemah.

"Kenapa bisa seperti ini? Karena peranan industrinya turun, negara lain ekspor industri manufakturnya itu lebih besar, kita cuma 40-an%," pungkas Faisal Basri, pada hari Minggu (22/07/2018).

Pelemahan industri ini, lanjutnya, disebabkan oleh perusahaan asing yang tidak lagi masuk ke industri manufaktur berbasis ekspor, sehingga menyebabkan repatriasi profit perusahaan asing sangat besar.


"Repatriasi profit perusahaan asing luar biasa besar berdasarkan data BI. Current account deficit kita US$17 miliar, barang masih surplus US$27 miliar, tapi defisit repatriasi dan bayar bunga itu US$33 miliar karena asing yang di Indonesia itu tidak lagi di industri manufaktur yang berorientasi ekspor. Jadi melemahnya rupiah ya karena industrinya semakin melemah," jelasnya.

Benarkah kata Faisal Basri bahwa sektor industri pengolahan kita mengalami penurunan?

Mari simak data-data berikut?

Harus diakui bahwa sebenarnya sektor industri manufaktur mulai kehilangan momentumnya dalam beberapa tahun terakhir. Hal ini terlihat jelas dari kontribusi industri manufaktur terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada tahun 2017 hanya berada di angka 20,16%, turun jauh dari kontribusi tahun 2008 sebesar 27,81%.



Pada kuartal I-2018, kontribusi industri pengolahan juga hanya sebesar 21,38%, malah lebih turun dari capaian kuartal I-2017 yang sebesar 21,49%. Data ini jelas mengindikasikan bahwa Indonesia mengalami deindustrialisasi.

Salah satu penyebabnya, bisa jadi sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Faisal Basri, bahwa perusahaan asing kini tidak lagi berminat untuk berinvestasi pada sektor industri pengolahan di tanah air yang berbasis ekspor.

Pernyataan ini sebenarnya didukung oleh data dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Tercatat Penanaman Modal Asing (PMA) untuk sektor sekunder/industri pengolahan memang mengalami tren penurunan dalam beberapa tahun terakhir.

Dalam kurun waktu 4 tahun terakhir (2013-2017), PMA di sektor ini sudah membukukan penurunan sebesar 17,09% atau dari US$15,86 miliar pada 2013 turun menjadi US$13,15 miliar (Rp 184,10 triliun) pada 2017.

Memang nilainya sempat melambung ke US$16,69 miliar pada 2016, namun keperkasaan itu tak berlangsung lama. Pada 2017 PMA di sektor manufaktur kembali jeblok.

Bahkan, penurunan PMA berpotensi berlanjut di tahun ini. Pasalnya, investasi di sektor industri pengolahan di kuartal I-2018 hanya tercatat sebesar US$3,09 miliar (Rp 43,23 triliun). Jumlah itu berkurang 4,53% dari capaian kuartal I-2017 yang sebesar US$ 3,23 miliar (Rp45,28 triliun).


Penurunan di kuartal I-2018 dibandingkan dengan periode yang sama 2017 banyak disumbang oleh menurunnya investasi asing, yakni di sektor:

1. Industri makanan (-52,6%)
2. Industri tekstil (-11,9%)
3. Industri kulit dan alas kaki (-44,7%)
4. Industri karet dan plastik (-51,8%)
5. Industri kendaraan bermotor (-55,9%)

Di sisi lain, sektor industri yang masih mampu mencatatkan penguatan PMA:

1. Industri kayu (+21,6%)
2. Industri kertas dan percetakan (+49%)
3. Industri mesin, elektronik, dan logam (+73,3%).

Kurang bergairahnya investasi di sektor sekunder tersebut lantas mendorong tergerusnya ekspor produk manufaktur tanah air dalam beberapa tahun terakhir.

Berdasarkan data dari UN Comtrade Database yang dikompilasi oleh Tim Riset CNBC Indonesia, Indonesia mencetak ekspor barang produk manufaktur (SITC kode 6) hanya sebesar US$20,1 miliar (Rp281,4 triliun), pada tahun 2016.

Jumlah ini masih kalah dari nilai ekspor Thailand di sektor ini yang mencapai US$26,31 miliar (Rp368,34 triliun).

Faisal

Selain itu, dengan pertumbuhan ekspor Vietnam di sektor ini yang terus menunjukkan tren positif, bukan tidak mungkin Indonesia akan disalip oleh Vietnam dalam waktu dekat.

Sebagai catatan, saat ekspor Indonesia pada pos hasil pabrik/manufaktur melambat 11,38% pada medio 2014-2016, ekspor Vietnam pada pos yang sama malah melaju 8,96%.

Kesimpulannya, jika pemerintah ingin berkompetisi dengan negara tetangga di sektor manufaktur, maka hambatan investasi harus dipangkas secepatnya.

Selain itu, peran BUMN rekayasa seperti PT Rekayasa Industri (Rekin) harus direvitalisasi, untuk menjembatani inovasi dan penelitian lembaga-lembaga rekayasa teknologi dengan kebutuhan pasar domestik (maupun internasional).

Selama ini, inovasi yang dihasilkan lembaga-lembaga seperti Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) belum bisa berkembang ke dalam skala produksi komersial.

Karena, jangan lupa, perkembangan industri manufaktur dalam negeri tidak hanya akan menambah nilai tambah untuk produk ekspor, tapi juga akan menyediakan bahan baku/barang modal yang dapat digunakan oleh industri dalam negeri.

Seperti diketahui, di setiap ekonomi RI akan lepas landas, impor pun selalu naik tajam, seperti pernah terjadi pada tahun 2015. Alhasil, beban bagi rupiah pun semakin besar, akibat aliran valas justru mengalir keluar.

Jika industri manufaktur dalam negeri bisa menyuplai bahan baku/barang modal untuk mendukung aktivitas ekonomi dalam negeri, dipastikan kewajiban impor pun akan berkurang. Alhasil, mata uang garuda pun bisa bernafas lega.
(ray/ray) Next Article Nilai Wajar Rupiah di Level Rp13.800

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular