Ketika Rupiah Disebut di Atas Rp 14.000/US$ Hingga Akhir 2018

Chandra Gian Asmara, CNBC Indonesia
18 July 2018 09:45
Menteri Keuangan Sri Mulyani memperkirakan nilai tukar rupiah akan terus berada di atas level Rp 14.000/US$.
Foto: Muhammad Luthfi Rahman
Jakarta, CNBC Indonesia - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan Bank Indonesia (BI) sepakat memproyeksikan pergerakan nilai tukar rupiah masih akan terus berada di atas level Rp 14.000/US$ hingga akhir tahun 2018.

Bendahara negara memperkirakan titik terendah nilai tukar rupiah sepanjang Semester II-2018 bisa mencapai Rp 14.200/US$, sementara bank sentral memperkirakan pergerakan mata uang Garuda hingga akhir tahun berada di range Rp 13.700/US$ - Rp 14.000/US$.

Sepanjang Semester I-2018, nilai tukar rupiah telah terdepresiasi sebesar 5,72%. Penjaga fiskal dan stabilitas perekonomian itu pun sepakat, pelemahan terhadap rupiah yang terjadi dalam beberapa bulan terakhir murni faktor ketidakpastian global.

"Penguatan mata uang AS adalah fenomena global. [...] Dengan normalisasi moneter kebijakan negara maju dan kenaikan suku bunga Fed, maka terjadi capital outflow di negara dunia," kata Sri Mulyani.

"Kenaikan bunga acuan AS yang lebih agresif, ketidakpastian global yang tinggi, dan kebijakan bank sentral Eropa, serta dampak lanjutan adalah hubungan dagang AS dan Tiongkok. Ini memicu penguatan dolar AS," kata Deputi Gubernur Senior BI MIrza Adityaswara.


Dengan proyeksi tersebut, maka sejatinya peluang rupiah menguat masih terbuka lebar. Apalagi, saat ini pergerakan nilai tukar masih berada di kisaran Rp 14.300, atau berada di atas proyeksi pemerintah maupun BI.

BI pun tak memungkiri, rupiah dalam satu minggu terakhir mulai stabil, seiring dengan aliran modal asing yang masuk di pasar obligasi negara. Peluang bagi rupiah menguat, sambung dia, sejatinya masih terbuka lebar.

"Sekarang mulai inflow, artinya dia comfortable dengan yield surat utang. Ada ekspektasi rupiah ke depan bisa lebih kuat," kata Mirza.

Meski demikian, proyeksi dolar di atas Rp 14.000/US$ bagi pemerintah justu berbanding terbalik dengan angka yang dipatok dalam asumsi makro Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018 sebesar Rp 13.400/US$.

Lantas, bagaimana para analis mengomentari hal ini?

Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede menilai, tekanan terhadap rupiah pada semester kedua tahun ini tidak akan seagresif di semester pertama. Namun, harus diakui pergerakan rupiah masih dipengaruhi tekanan perang dagang AS vs China.

"Rupiah masih berada di kisaran Rp 14.000/US$. Kalau di bawah Rp 14.000/US$ masih sulit. Forecast kami masih di range Rp 14.000/US$ - Rp 14.300/US$," kata Josua.

Hal senada turut dikemukakan Kepala Ekonom Bank Central Asia David Sumual. Meskipun rupiah masih berpeluang untuk menguat, namun pergerakan rupiah dalam 6 bulan ke depan masih akan dihantui sejumlah ketidakpastian.

"Semester II, range kami Rp 14.100/US$ - Rp 14.200/US$," kata David.

Adapun Kepala Ekonom Bank UOB Indonesia Enrico Tanuwidjaja menilai, penguatan rupiah baru akan terjadi menjelang akhir tahun. Mata uang Garuda, sebelumya akan kembali mengalami overshoot sebelum menguat.

"Karena FFR masih akan naik dua kali, dan ada mid term election di AS. Kemungkinan akan overshoot, dan menguat menjelang akhir tahun," ungkap Enrico
(ray) Next Article Bos BI: Rupiah Stabil, Bergerak di Rp 14.050-Rp 14.060/US$

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular