Unilever Tak Mau Kerja Sama dengan Pembeli Follower

Ester Christine Natalia, CNBC Indonesia
18 June 2018 18:44
Keputusan itu diumumkan perusahaan pada hari Senin (18/6/2018), dilansir dari CNBC International.
Foto: unilever.co.id
Jakarta, CNBC Indonesia - Perusahaan barang konsumsi Unilever tidak akan bekerja dengan bintang media sosial atau lazim dikenal dengan sebutan "influencer" yang membeli follower atau pengikut pada berbagai media sosial seperti Twitter dan Facebook. Keputusan itu diumumkan perusahaan pada hari Senin (18/6/2018), dilansir dari CNBC International.

Chief Marketing Officer Keith Weed mengatakan perusahaan akan meneliti cara kerjanya para influencer dan mendesak merek-merek lain melihat cara mereka menghindari penipuan di media sosial. Perusahaan itu secara keseluruhan memiliki anggaran pemasaran senilai lebih dari 7 miliar euro (Rp 114,5 triliun).

Pemasaran influencer semakin penting bagi merek-merek yang ingin menggunakan wajah-wajah terkenal dan terpercaya untuk memasarkan produknya di media sosial. Misalnya saja, seseorang dengan 100.000 follower kemungkinan akan memperoleh uang sebesar US$2.000 (Rp 28 juta) untuk satu cuitan promosi. Semakin banyak follower yang mereka miliki, semakin banyak juga bayaran yang diterima.

Maka dari itu, kemungkinan sejumlah influencer mencoba membeli follower yang bisa jadi adalah akun robot. Artinya, konten promosi tidak selalu dilihat oleh orang sungguhan.

Pada bulan Januari, sebuah pemberitaan di The New York Times menyebutkan perusahaan bernama Devumi menjual "follower" untuk berbagai orang, termasuk bintang televisi dan atlet terkenal. Para follower itu kemungkinan besar robot dan dijual hanya beberapa sen satuannya. Devumi menampik tuduhan itu November lalu.

"Kunci untuk memperbaiki situasi adalah tiga kali lipat: membersihkan ekosistem influencer dengan menghapuskan interaksi menyesatkan, membuat merek dan influencer lebih sadar dengan penggunaan praktik tidak jujur, dan memperbaiki transparansi dari platform sosial untuk bantu merek mengukur dampaknya,"kata Weed dalam sebuah pernyataan yang dikirimkan lewat surel ke CNBC International.

"Kami perlu mengambil tindakan segera sekarang untuk kembali membangun kepercayaan sebelum sirna selamanya," tambahnya.

Kepercayaan di media sosial sedang mengalami masa "krisis" menurut Carol Potter, Presiden dan CEO agen PR Edelman, yang berbicara ke CNBC International pada acara Forum Ekonomi Dunia (World Economic Forum/WEF) di Davos bulan Januari.

Jon Moeller selaku CFO Procter and Gamble berbicara tentang "menghapus iklan yang tidak ditonton" juga menjadi lebih presisi lagi dengan penempatan iklan digital, dalam laporan keuangan perusahaan.

Komisi Perdagangan Federal AS telah menekan para influencer yang tidak mengungkapkan dengan jelas ketika postingan mereka sudah dibayar oleh pengiklan.
(hps/hps) Next Article Unilever, Main Sabun di Indonesia Sejak Zaman Belanda

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular