
Ini Beda Jokowi dan SBY Soal Urusan Bensin Premium
Rivi Satrianegara, CNBC Indonesia
12 April 2018 13:52

Jakarta, CNBC Indonesia- Rencana Pemerintah untuk mewajibkan kembali premium di Jawa, Madura, dan Bali (Jamali) serta kewajiban pelaporan peningkatan harga BBM jenis umum oleh badan usaha dinilai sangat politis.
Hal itu disampaikan pakar energi Reforminer Institute Pri Agung Rakhmanto, menurut dia kebijakan tersebut pun lahir dari kebijakan politis lain yaitu tidak menaikkan harga BBM jenis premium. "Dari situ muncul masalah premium langka, lalu malah dikembalikan premium menjadi wajib di Jamali," kata Pri kepada CNBC Indonesia, Kamis (12/4/2018).
Dia menilai dalam hal ini Pemerintah mundur, salah satunya atas rencana ingin berpindah ke bensin lebih berkualitas dan tidak lagi memberikan subsidi.
Dalam hal ini, dia menyebut Pemerintahan Jokowi tidak lebih baik dibanding era Susilo Bambang Yudhoyono yang secara konsisten tidak menaikkan harga BBM, namun berani menyediakan subsidi dalam APBN.
"Pemerintah terlalu takut anggaran subsidi besar lalu merusak APBN, di sisi lain tak berani mengambil kebijakan tak populer dengan menaikkan harga premium," tutur Pri.
Dia menambahkan, tanpa harus ada kebijakan itu saja, keuangan Pertamina sudah sangat terganggu. Alasan menyokong Pertamina dengan pemberian blok migas bukanlah hal yang relevan.
"Itu tidak ada relevansinya, toh sampai sekarang [penugasan blok terminasi] belum kunjung diputuskan," ujar Pri.
Terkait pelaporan harga BBM jenis umum atau pertalite cs, dia nilai bukan sebagai hal yang baru. Sebenarnya, dalam UU Migas memang diatur seperti itu. Namun momen penetapan hal itu saat ini, menjadi alasan Pri yakin itu bagian dari kebijakan bersifat politis pula.
Dia pun memperingatkan pemerintah atas kemungkinan yang bisa terjadi ke depan sebagai imbas kebijakan tersebut. Bila badan usaha penyedia BBM umum tumbang, dalam penerapan aturan baru karena penyesuaian harga.
"Bila itu terjadi, penyediaan pasokan terganggu, kelangkaan bisa kembali terjadi," tutup Pri.
(gus/gus) Next Article Sri Mulyani Tolak Sebut Kebijakan BBM Jokowi Langkah Mundur
Hal itu disampaikan pakar energi Reforminer Institute Pri Agung Rakhmanto, menurut dia kebijakan tersebut pun lahir dari kebijakan politis lain yaitu tidak menaikkan harga BBM jenis premium. "Dari situ muncul masalah premium langka, lalu malah dikembalikan premium menjadi wajib di Jamali," kata Pri kepada CNBC Indonesia, Kamis (12/4/2018).
Dia menilai dalam hal ini Pemerintah mundur, salah satunya atas rencana ingin berpindah ke bensin lebih berkualitas dan tidak lagi memberikan subsidi.
"Pemerintah terlalu takut anggaran subsidi besar lalu merusak APBN, di sisi lain tak berani mengambil kebijakan tak populer dengan menaikkan harga premium," tutur Pri.
Dia menambahkan, tanpa harus ada kebijakan itu saja, keuangan Pertamina sudah sangat terganggu. Alasan menyokong Pertamina dengan pemberian blok migas bukanlah hal yang relevan.
"Itu tidak ada relevansinya, toh sampai sekarang [penugasan blok terminasi] belum kunjung diputuskan," ujar Pri.
Terkait pelaporan harga BBM jenis umum atau pertalite cs, dia nilai bukan sebagai hal yang baru. Sebenarnya, dalam UU Migas memang diatur seperti itu. Namun momen penetapan hal itu saat ini, menjadi alasan Pri yakin itu bagian dari kebijakan bersifat politis pula.
Dia pun memperingatkan pemerintah atas kemungkinan yang bisa terjadi ke depan sebagai imbas kebijakan tersebut. Bila badan usaha penyedia BBM umum tumbang, dalam penerapan aturan baru karena penyesuaian harga.
"Bila itu terjadi, penyediaan pasokan terganggu, kelangkaan bisa kembali terjadi," tutup Pri.
(gus/gus) Next Article Sri Mulyani Tolak Sebut Kebijakan BBM Jokowi Langkah Mundur
Most Popular