Rupiah Terpukul Dolar AS Karena Masalah Klasik

Chandra Gian Asmara, CNBC Indonesia
03 April 2018 08:19
Banjir impor dan tekanan di pasar saham membuat nilai tukar rupiah
Foto: Aristya Rahadian Krisabella
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah sepanjang kuartal I-2018 terkoreksi hingga 1,41% terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Kombinasi sentimen perang dagang dan kebijakan The Fed di bawah komando Jerome Powell menjadi penyebab rupiah terpuruk. 

Para analis memandang Bank Indonesia (BI) memang memiliki cara bervariasi dalam upaya menstabilisasi nilai tukar sesuai dengan mandat dalam Undang-Undang.

Namun, perangkat yang dimiliki bank sentral memang hanya mengandalkan cadangan devisa.
 Kepala Ekonom CIMB Niaga Adrian Panggabean menilai pada dasarnya bank sentral bisa melakukan intervensi di berbagai instrumen di pasar uang.

Namun pada kenyataannya, BI pun memiliki keterbatasan dalam mengintervensi.
 

"Yang terjadi sekarang adalah tekanan di equity market (saham). Kepemilikan non residen masih besar. Ini yang membuat rupiah mengalami tekanan. BI tidak bisa melakukan intervensi di equity market," kata Adrian saat berbincang dengan CNBC Indonesia, Selasa (3/4/2018). 

Masalahnya, sambung Adrian, Indonesia saat ini masih mengalami defisit transaksi berjalan. Ketergantungan terhadap aliran modal asing harus diakui membawa volatilitas yang cukup tinggi bagi pergerakan mata uang Garuda. 

"Kita ini masih rentan terhadap impor. Ini masalah struktural. Sekarang kita mau impor pakaian saja dari Thailand, tekstil dari China, mainan juga dari China. Jadi ini sebenarnya masalah supply dan demand," ungkapnya. 

Kepala Ekonom Bank Central Asia David Sumual tak memungkiri, ketika terjadi volatilitas, maka perangkat BI untuk melakukan intervensi cukup terbatas.

Namun, ada beberapa opsi yang bisa dilakukan, agar Indonesia tidak lagi ketergantungan dolar AS.
 Salah satunya, dengan memperluas bilateral currency swap agreement (BCSA) dengan negara-negara seperti Brazil maupun Meksiko dalam jangka menengah panjang.

Hal ini bisa menjadi opsi, ditengah transaksi berjalan Indonesia yang masih mengalami defisit.
 

"Karena repatriasi tidak bisa menutup. Dana hasil ekspor memang masuk tapi tidak besar, sekitar US$ 5 miliar. Satu-satunya cara dalam jangka menengah panjang, memperluas BCSA dengan negara-negara yang punya dolar banyak," jelasnya. 

Berdasarkan analisa tim riset CNBC Indonesia, pada kuartal I-2018 US$ 1 dihargai Rp 13.760, yang mengindikasikan depresiasi sebesar 1,41% terhadap mata uang nasional. Data ini berbanding terbalik dengan periode sama tahun lalu, di mana rupiah berhasil menguat 1,15%.
(ray/ray) Next Article Bank Indonesia Beberkan Pemicu Rupiah K.O.

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular