
AS Paling Banyak Batasi Masuknya Produk RI
Raditya Hanung, CNBC Indonesia
19 March 2018 17:30

Jakarta, CNBC Indonesia - Isu perang dagang sedang menjadi topik yang hangat beberapa waktu terakhir, sejak Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menerapkan tarif impor baja dan aluminium. Baru-baru ini AS bahkan berencana untuk menerapkan tarif untuk barang-barang impor dari Negeri Tirai Bambu yang nilainya dikabarkan mencapai US$ 60 miliar.
Kebijakan Negeri Paman Sam tersebut lantas memancing kegusaran dari sejumlah negara mitra dagang AS, termasuk Indonesia. Tidak hanya itu, Indonesia juga saat ini tengah mempersiapkan tim lobi untuk berangkat ke Eropa untuk membahas rencana kebijakan pelarangan penggunaan minyak sawit mentah (CPO) sebagai bahan baku biofuel mulai 2021.
Pada 17 Januari 2018, Parlemen Eropa menyetujui revisi dokumen Renewable Energy Directive (RED) di mana mulai 2021 kontribusi biofuel yang dihasilkan dari minyak sawit menjadi nihil (0%) dalam perhitungan konsumsi energi bruto dari sumber energi terbarukan di negara-negara anggota Uni Eropa (EU). Hal itu jelas menjadi ancaman tersendiri bagi industri CPO Indonesia, karena Indonesia mengekspor ke 19 negara anggota EU dengan nilai US$ 2,89 miliar sepanjang 2017.
Lalu, selain CPO, baja, aluminium, pembatasan dagang (trade barrier) apa saja yang dihadapi oleh Indonesia? Berdasarkan kajian Tim RIset CNBC Indonesia, sejak 1999 setidaknya ada 20 negara yang menerapkan kebijakan Non-Tariff Measures (NTM) yang berdampak langsung kepada Indonesia sebagai mitra dagangnya. Ada pun kebijakan-kebijakan NTM itu terbagi menjadi 4 jenis instrumen, yakni Anti-Dumping, Countervailing, Sanitary and Phytosanitary Reguler, dan Sanitary and Phytosanitary Darurat/Penting.
Kebijakan NTM sendiri pada umumnya diterapkan negara untuk memproteksi perdagangan produk domestik agar tetap kompetitif baik di dalam dan luar negeri. Instrumen Anti-Dumping misalnya diimplementasikan melalui penerapan tarif impor terhadap produk impor tertentu yang diyakini pemerintah harganya jauh di bawah nilai pasar yang wajar.
Sementara itu, instrumen Countervailing, atau dikenal juga dengan bea anti subsidi, merupakan tarif yang dikenakan untuk menetralkan efek negatif dari subsidi yang dikenakan negara asing bagi ekspor produknya.
Kebijakan Negeri Paman Sam tersebut lantas memancing kegusaran dari sejumlah negara mitra dagang AS, termasuk Indonesia. Tidak hanya itu, Indonesia juga saat ini tengah mempersiapkan tim lobi untuk berangkat ke Eropa untuk membahas rencana kebijakan pelarangan penggunaan minyak sawit mentah (CPO) sebagai bahan baku biofuel mulai 2021.
Pada 17 Januari 2018, Parlemen Eropa menyetujui revisi dokumen Renewable Energy Directive (RED) di mana mulai 2021 kontribusi biofuel yang dihasilkan dari minyak sawit menjadi nihil (0%) dalam perhitungan konsumsi energi bruto dari sumber energi terbarukan di negara-negara anggota Uni Eropa (EU). Hal itu jelas menjadi ancaman tersendiri bagi industri CPO Indonesia, karena Indonesia mengekspor ke 19 negara anggota EU dengan nilai US$ 2,89 miliar sepanjang 2017.
Kebijakan NTM sendiri pada umumnya diterapkan negara untuk memproteksi perdagangan produk domestik agar tetap kompetitif baik di dalam dan luar negeri. Instrumen Anti-Dumping misalnya diimplementasikan melalui penerapan tarif impor terhadap produk impor tertentu yang diyakini pemerintah harganya jauh di bawah nilai pasar yang wajar.
Sementara itu, instrumen Countervailing, atau dikenal juga dengan bea anti subsidi, merupakan tarif yang dikenakan untuk menetralkan efek negatif dari subsidi yang dikenakan negara asing bagi ekspor produknya.
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular