
Pukulan Telak Bagi Industri CPO Indonesia
Raditya Hanung, CNBC Indonesia
07 March 2018 18:59

Jakarta, CNBC Indonesia - Memasuki bulan Maret, harga Crude Palm Oil (CPO) di pasar global tertekan cukup dalam, dimana hingga perdagangan hari Rabu (7/3/2018) pukul 16.27 WIB komoditas itu diperdagangkan di level MYR 2.449 (Rp 8,63 juta) setiap tonnya.
Harga tersebut melemah 1,17% dibandingkan dengan bulan sebelumnya, dan nyaris menyamai rekor terendah tahun ini yaitu MYR 2.448/ton pada 19 Januari 2018.
Dinamika harga kelapa sawit tersebut telah mendorong indeks saham sektor agrikultur melemah sebesar 2,03% pada penutupan perdagangan hari ini.
Saham-saham sub-sektor kelapa sawit seperti PT PP London Sumatera Indonesia Tbk (LSIP) dan PT Astra Agro Lestari Tbk (AALI), secara kompak ditutup melemah, masing-masing sebesar 2,82% dan 2,88%.
Mengutip Monex Investindo Futures pada Indonesia Investments, setidaknya terdapat tiga faktor yang menjadi sentimen negatif bagi harga CPO.
Pertama, ekspor CPO menurun 11% secara month to month (MtM) menjadi 1,35 juta ton pada Februari 2018. Penurunan tersebut diakibatkan anjloknya permintaan CPO dari China, diiringi dengan tingginya pasokan minyak kedelai dan jenis vegetable oil lainnya.
Kedua, India, yang menjadi salah satu negara pengimpor CPO terbesar, menaikkan tarif impor dari semula 30% menjadi 44%. Sebagai tambahan, India juga menaikkan tarif impor produk minyak sawit dari semula 40% menjadi 54%.
Ketiga, berkembangnya kekhawatiran pelaku pasar akibat European Parliament yang setuju untuk melakukan pemungutan suara terkait revisi dokumen Renewable Energy Directive (RED) yang akan melarang penggunaan CPO untuk memproduksi biodiesel.
Kebijakan tersebut akan diimplementasikan dalam rancangan regulasi Post-2020 EU RED II.
Alasan dari Uni Eropa (EU) sederhana saja, bahwa penggunaan biodiesel ternyata menyumbang gas rumah kaca dalam jumlah yang lebih besar, dibandingkan penggunaan diesel konvensional.
Hal tersebut terjadi karena dampak perambahan hutan akibat perubahan lahan ke perkebunan kelapa sawit yang cukup masif di negara-negara produsen CPO, termasuk Indonesia.
Hal ini jelas menjadi pukulan telak bagi Indonesia dan Malaysia, dua negara produsen kelapa sawit. Berbagai macam protes dilancarkan, bahkan Malaysia telah melabeli kebijakan proteksionisme perdagangan EU tersebut sebagai "crop apartheid".
Satu hal yang diprotes keras adalah dokumen RED yang tetap membiarkan penggunaan vegetable oils jenis lainnya, seperti minyak kedelai. Hanya CPO saja yang dihalangi.
Indonesia sendiri telah membentuk tim lobi RI dengan misi meminta Uni Eropa membatalkan larangan penggunaan CPO sebagai bahan baku utama biofuel pada 2012, dengan diketuai Menko Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan.
Lantas, sebenarnya seberapa besar ekspor CPO Indonesia ke negara Uni Eropa? Berdasarkan data BPS, Indonesia mengekspor minyak kelapa sawit ke 19 negara EU, dengan total nilai ekspor sebesar US$ 2,89 miliar.
Nilai tersebut merepresentasikan sekitar 14,21% dari total nilai ekspor RI tahun 2017 sebesar US$ 20,34 miliar. Nilai sebesar itu pula berpotensi hangus apabila rancangan regulasi Post-2020 EU RED II diteken.
Kemudian, bagaimana solusi yang bisa diambil Indonesia, apabila kebijakan EU benar-benar terjadi? Negara tujuan ekspor potensial lainnya perlu dijajaki dan dimaksimalkan.
Direktur Eksekutif Gapki Danang Girindrawardana mengatakan negara-negara yang bisa menjadi tujuan ekspor utama menggantikan Eropa adalah Pakistan, India, China dan Rusia. Ke-empat negara itu bisa menjadi penyelamat ekspor RI apabila nantinya ternyata Eropa tidak hanya melarang impor biofuel berbasis sawit namun juga seluruh produk CPO.
Adapun nilai ekspor minyak kelapa sawit Indonesia ke India pada tahun 2017 saja (US$ 4.901,19 juta) nyaris dua kali lipat dari nilai ekspor ke EU.
Namun demikian, solusi ini mempunyai tantangan sendiri, dimana seperti diulas sebelumnya bahwa permintaan dari Negeri Tirai Bambu sudah dikurangi, sementara tarif impor yang naik di India jelas akan menekan permintaan minyak kelapa sawit dari negara asal Bollywood itu.
(ray/ray) Next Article Berlumur Minyak CPO, Potret Pekerja Penguras Kapal di Priok
Harga tersebut melemah 1,17% dibandingkan dengan bulan sebelumnya, dan nyaris menyamai rekor terendah tahun ini yaitu MYR 2.448/ton pada 19 Januari 2018.
![]() |
Saham-saham sub-sektor kelapa sawit seperti PT PP London Sumatera Indonesia Tbk (LSIP) dan PT Astra Agro Lestari Tbk (AALI), secara kompak ditutup melemah, masing-masing sebesar 2,82% dan 2,88%.
![]() |
Mengutip Monex Investindo Futures pada Indonesia Investments, setidaknya terdapat tiga faktor yang menjadi sentimen negatif bagi harga CPO.
Pertama, ekspor CPO menurun 11% secara month to month (MtM) menjadi 1,35 juta ton pada Februari 2018. Penurunan tersebut diakibatkan anjloknya permintaan CPO dari China, diiringi dengan tingginya pasokan minyak kedelai dan jenis vegetable oil lainnya.
Kedua, India, yang menjadi salah satu negara pengimpor CPO terbesar, menaikkan tarif impor dari semula 30% menjadi 44%. Sebagai tambahan, India juga menaikkan tarif impor produk minyak sawit dari semula 40% menjadi 54%.
Ketiga, berkembangnya kekhawatiran pelaku pasar akibat European Parliament yang setuju untuk melakukan pemungutan suara terkait revisi dokumen Renewable Energy Directive (RED) yang akan melarang penggunaan CPO untuk memproduksi biodiesel.
Kebijakan tersebut akan diimplementasikan dalam rancangan regulasi Post-2020 EU RED II.
Alasan dari Uni Eropa (EU) sederhana saja, bahwa penggunaan biodiesel ternyata menyumbang gas rumah kaca dalam jumlah yang lebih besar, dibandingkan penggunaan diesel konvensional.
Hal tersebut terjadi karena dampak perambahan hutan akibat perubahan lahan ke perkebunan kelapa sawit yang cukup masif di negara-negara produsen CPO, termasuk Indonesia.
Hal ini jelas menjadi pukulan telak bagi Indonesia dan Malaysia, dua negara produsen kelapa sawit. Berbagai macam protes dilancarkan, bahkan Malaysia telah melabeli kebijakan proteksionisme perdagangan EU tersebut sebagai "crop apartheid".
Satu hal yang diprotes keras adalah dokumen RED yang tetap membiarkan penggunaan vegetable oils jenis lainnya, seperti minyak kedelai. Hanya CPO saja yang dihalangi.
Indonesia sendiri telah membentuk tim lobi RI dengan misi meminta Uni Eropa membatalkan larangan penggunaan CPO sebagai bahan baku utama biofuel pada 2012, dengan diketuai Menko Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan.
Lantas, sebenarnya seberapa besar ekspor CPO Indonesia ke negara Uni Eropa? Berdasarkan data BPS, Indonesia mengekspor minyak kelapa sawit ke 19 negara EU, dengan total nilai ekspor sebesar US$ 2,89 miliar.
Nilai tersebut merepresentasikan sekitar 14,21% dari total nilai ekspor RI tahun 2017 sebesar US$ 20,34 miliar. Nilai sebesar itu pula berpotensi hangus apabila rancangan regulasi Post-2020 EU RED II diteken.
![]() |
Kemudian, bagaimana solusi yang bisa diambil Indonesia, apabila kebijakan EU benar-benar terjadi? Negara tujuan ekspor potensial lainnya perlu dijajaki dan dimaksimalkan.
Direktur Eksekutif Gapki Danang Girindrawardana mengatakan negara-negara yang bisa menjadi tujuan ekspor utama menggantikan Eropa adalah Pakistan, India, China dan Rusia. Ke-empat negara itu bisa menjadi penyelamat ekspor RI apabila nantinya ternyata Eropa tidak hanya melarang impor biofuel berbasis sawit namun juga seluruh produk CPO.
Adapun nilai ekspor minyak kelapa sawit Indonesia ke India pada tahun 2017 saja (US$ 4.901,19 juta) nyaris dua kali lipat dari nilai ekspor ke EU.
![]() |
(ray/ray) Next Article Berlumur Minyak CPO, Potret Pekerja Penguras Kapal di Priok
Most Popular